Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Revitalisasi Hukum dan Penyelesaian Sengketa Harus Dilakukan Guna Perbaikan Iklim Usaha

Revitalisasi Hukum dan Penyelesaian Sengketa Harus Dilakukan Guna Perbaikan Iklim Usaha Kredit Foto: Annisa Nurfitriyani
Warta Ekonomi, Jakarta -

Penerapan hukum perdata dalam sistem peradilan di Indonesia dirasa jauh dari sempurna. Hal tersebut menjadi penyebab timbulnya ekonomi biaya tinggi yang harus ditanggung baik oleh pihak yang kalah dalam sengketa bisnis maupun yang menang. Karena itu, perlu adanya terobosan dan revitalisasi hukum ekonomi dan mekanisme penyelesaian sengketa bisnis guna perbaikan iklim usaha di Indonesia.

Hal tersebut mengemuka dalam acara "AHP Business Law Forum 2018: Revitalisasi Hukum Ekonomi & Mekanisme Penyelesaian Sengketa Bisnis di Indonesia" yang berlangsung di Hotel Four Seasons, Jakarta, Selasa (24/4/2018). 

Acara ini diisi oleh diskusi panel dengan menghadirkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution sebagai pembicara kunci serta sejumlah pembicara lainnya yakni Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial M. Syarifuddin, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Chandra M. Hamzah, Senior Partner Assegaf Hamzah & Partners (AHP) Ahmad Fikri Assegaf, dan CEO General Electric Indonesia Handry Santiago.

Menurut Chandra M. Hamzah yang juga merupakan Senior Partner AHP, sistem peradilan perdata Indonesia (enforcement of contract) berdasarkan penilaian Bank Dunia di 2018 berada di urutan 145 dari 190 negara. Disebutkan bahwa rata-rata waktu penyelesaian perkara perdata di Indonesia adalah 390 hari (lebih dari 1 tahun). Sementara biaya proses perkara mencapai 74% dari nilai sengketa. 

"Ini artinya orang harus mengeluarkan biaya hampir setara dengan nilai ekonomi yang akan didapat jika memenangi sengketa bisnis. Angka di 2018 sebenarnya sudah membaik dibandingkan biaya proses perkara pada 2017 yang mencapai 118%, tetapi tetap saja tinggi jika dibandingkan negara-negara lain," ujarnya.

Chandra mengungkapkan, di kalangan komunitas hukum Indonesia, sistem peradilan perdata kerap dikritisi. Banyak proses yang kurang esensial dan dipertahankan karena tradisi, di samping fokusnya yang terlalu berat pada kebenaran formal seolah-olah fakta dan pembuktian bukan hal utama. Hingga akhirnya, pada 2015 Mahkamah Agung (MA) melakukan terobosan. Berbagai hambatan yang menyebabkan berlarutnya penyelesaian sengketa perdata dihapus melalui Perma tentang Gugatan Sederhana meski hanya untuk perkara yang nilainya di bawah Rp200 juta.

Penyelesaian sengketa alternatif melalui arbitrase dan mediasi juga banyak dirundung masalah, terutama soal eksekusi yang juga merupakan masalah laten di Pengadilan Perdata. Masalah lain adalah sikap pengadilan terhadap putusan arbitrase, khususnya mengenai proses pembatalannya. Sementara di mediasi, kecenderungan mekanisme tersebut dilakukan sebagai proforma masih sulit dihindari. 

"Mediasi sering tidak efektif karena orientasi advokat masih terfokus pada litigasi yang umumnya panjang dan melelahkan. Belum banyak advokat yang mau dan mampu mengupayakan renegosiasi pasca-timbulnya sengketa yang sebenarnya bisa berbuah perjanjian perdamaian (settlement agreement)," papar Chandra

Perkara perdata juga kerap beririsan dengan pidana. Berdasarkan Laporan Tahunan MA, setiap tahun hampir separuh perkara pidana yang dikasasi ke MA berawal dari sengketa perdata. Bahkan, penipuan/perbuatan curang dan penggelapan selalu menjadi tindak pidana umum di urutan teratas. Pada 2015, kasasi perkara pidana umum yang masuk ke MA terdiri atas penipuan (19,89%), penggelapan (10,63%), dan pemalsuan surat (10,17%). Tidak jauh berbeda, pada 2016 kasasi perkara pidana umum yang masuk ke MA terdri atas perbuatan curang (19,27%), penggelapan (12,27%), dan pemalsuan (8,8%). 

"Karena sistem peradilan perdata belum bisa memberi dampak konkret bagi penyelesaian sengketa, terutama soal eksekusi, maka sistem peradilan pidana juga dipakai sebagai saluran. Harapannya, ancaman pidana bisa menekan pihak lawan untuk memenuhi kewajibannya. Kecenderungan kriminalisasi harus diakui semakin hari semakin menguat. Banyak gugatan perdata yang diikuti dengan laporan polisi. Di sebagian besar kasus, laporan tersebut dilayani oleh pihak Kepolisian sehingga kerap berjalan berbarengan dan menghantui proses perdatanya," jelas Chandra.

Ahmad Fikri Assegaf menambahkan, masalah lain yang harus dibenahi adalah soal perizinan, mulai dari izin pendirian usaha hingga izin melakukan kegiatan usaha tertentu. Fikri mengacu Survei Bank Dunia yang mengindikasikan Indonesia masih tertinggal dalam urusan menjamin kemudahan pembentukan badan usaha. Di awal saja, pengusaha di Indonesia sudah harus mempertimbangkan hampir 20 peraturan yang berbeda di tingkat pusat dan daerah. 

Di bidang usaha sektoral, berbagai masalah lebih banyak ditemukan. Mulai dari proses yang seringkali melebihi batas waktu normatif, dokumen persyaratan yang diminta berulang-ulang, banyaknya perizinan berjenjang, kebijakan yang kerap berubah dan berbeda antarwilayah, hingga sumber daya manusia yang sering terlalu terpaku pada syarat-syarat tertulis tanpa memahami pokok permasalahan atau kebutuhan riil di balik itu. 

"Semua ini membutuhkan paradigma baru dalam pengaturan mengenai perizinan yang seharusnya bisa dikembangkan menjadi paradigma baru dalam melakukan regulasi di bidang ekonomi dan bisnis secara keseluruhan," tandas Fikri. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Fauziah Nurul Hidayah

Bagikan Artikel: