Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Obligasi dan Suku Bunga AS Naik, Rupiah Melemah

Obligasi dan Suku Bunga AS Naik, Rupiah Melemah Petugas menghitung uang pecahan Rupiah di Valuta Inti Prima (VIP), Jakarta, Selasa (19/9). Data Bank Indonesia tentang Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir Juli 2017 berdasarkan kelompok peminjam, pertumbuhan tahunan ULN sektor swasta menurun, sedangkan ULN sektor publik mengalami peningkatan. ULN sektor swasta tercatat USD165,5 miliar (48,7% dari total ULN) atau turun 1,2% (yoy), lebih dalam dibandingkan dengan penurunan pada Juni 2017 yang sebesar 0,7% (yoy). Sementara itu, posisi ULN sektor publik pada Juli 2017 tercatat sebesar USD174,3 miliar (51,3% dari total ULN) atau tumbuh 9,2% (yoy), lebih tinggi dari 7,3% (yoy) pada bulan sebelumnya. | Kredit Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Warta Ekonomi, Jakarta -

Bank Indonesia (BI) menilai merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dipengaruhi karena meningkatnya imbal hasil obligasi dan suku bunga AS. Kedua hal ini berdampak pada menguatnya mata uang dolar AS terhadap semua mata uang dunia, termasuk rupiah. Data JISDOR (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate) BI menyebutkan, nilai tukar rupiah berada di level Rp13.900 per dolar AS.

"Sama seperti yang terjadi di hari Jumat (20/4/2018), penguatan USD di hari ini masih dipicu oleh meningkatnya yield US treasury bills mendekati level psikologis 3,0% dan munculnya kembali ekspektasi kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) sebanyak lebih dari 3 kali selama 2018," kata Gubernur BI Agus Martowardojo dalam keterangan resminya di Jakarta, Selasa (24/4/2018).

Dia menjelaskan, kenaikan yield dan suku bunga di AS itu sendiri dipicu oleh meningkatnya optimisme investor terhadap prospek ekonomi AS seiring berbagai data ekonomi AS yang terus membaik dan tensi perang dagang antara AS dan China yang berlangsung selama tahun 2018 ini.

"Sejalan dengan itu, pada Senin (23/4/2018) semua mata uang negara maju kembali melemah terhadap USD, antara lain JPY -0,25%, CHF -0,27%, SGD -0,35%, dan EUR -0,31%. Dalam periode yang sama, mayoritas mata uang negara emerging market, termasuk Indonesia, juga melemah," kata Agus.

Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah (IDR) sesuai fundamentalnya, BI telah melakukan intervensi, baik di pasar valas maupun pasar SBN dalam jumlah cukup besar. Dengan upaya tersebut, IDR yang pada Jumat (20/4/2018) sempat terdepresiasi sebesar -0,70%, pada Senin (23/4/2018) hanya melemah -0,12%, lebih rendah daripada depresiasi yang terjadi pada mata uang negara-negara emerging market dan Asia lainnya, seperti PHP -0,32%, India INR -0,56%, Thai THB -0,57%, MXN -0,89%, dan Afrika Selatan ZAR -1,06%. 

Gambaran serupa juga tampak dalam periode waktu yang lebih panjang. Dengan dukungan upaya stabilisasi oleh BI, sejak awal April (mtd), IDR melemah -0,91%, lebih kecil daripada pelemahan mata uang beberapa negara emerging market lain, seperti THB -1,04%, INR -1,96%, MXN -2,76%, ZAR -3,30%. Demikian pula, sejak awal 2018 (ytd) IDR melemah -2,35%, juga lebih kecil daripada pelemahan mata uang beberapa negara emerging market lain seperti BRL -3,06%, INR -3,92%, PHP -4,46%, dan TRY -7,17%.

"BI akan terus memonitor dan mewaspadai risiko berlanjutnya tren pelemahan nilai tukar rupiah, baik yang dipicu oleh gejolak global (dampak kenaikan suku bunga AS, perang dagang AS-China, kenaikan harga minyak, dan eskalasi tensi geopolitik terhadap berlanjutnya arus keluar asing dari pasar SBN dan saham Indonesia) maupun yang bersumber dari kenaikan permintaan valas oleh korporasi domestik (terkait kebutuhan pembayaran impor, ULN, dan dividen) yang biasanya cenderung meningkat pada triwulan II. Untuk itu, Bank Indonesia akan tetap berada di pasar untuk menjaga stabilitas rupiah sesuai fundamentalnya," tuturnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fauziah Nurul Hidayah

Bagikan Artikel: