Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Astra Tol: Bisnis Jalan Tol Butuh Napas Panjang

Oleh: Wiwiek D Santoso, Direktur PT Astra Tol Nusantara

Astra Tol: Bisnis Jalan Tol Butuh Napas Panjang Wiwiek D. Santoso, Direktur PT Astra Tol Nusantara | Kredit Foto: Warta Ekonomi
Warta Ekonomi, Jakarta -

PT Astra International Tbk selaku salah satu dari grup usaha di dalam negeri, berupaya berpartisipasi aktif dalam pembangunan di Indonesia, khususnya di sektor infrastruktur seperti jalan tol. Perusahaan percaya bahwa infrastruktur merupakan fondasi bagi perkembangan dan kemajuan sebuah negara. Untuk menjadi negara maju, Indonesia mesti membenahi infrastrukturnya.

Astra mulai masuk ke bisnis infrastruktur sejak tahun 1992 ketika menggarap bisnis telekomunikasi melalui PT Astratel Nusantara, yang tahun ini telah berganti nama menjadi PT Astra Tol Nusantara. Selain itu, Astra Infra juga sempat masuk ke bisnis pengolahan air bersih. Kedua bisnis tersebut, satu per satu coba dilepas dan Astra mulai melirik ke bisnis pengelolaan jalan tol pada 2005. Ketika itu, Astra membeli 30% saham PT Marga Mandala Sakti (MMS), pengelola jalan tol Tangerang—Merak.

Ketika itu, di bisnis jalan tol sedang terjadi perubahan besar dengan disahkannya Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 15 tahun 2005 tentang Jalan Tol. Dengan regulasi tersebut, PT Jasa Marga (Persero) Tbk—yang sebelumnya bertindak pengelola jalan tol dan regulator—hanya menjadi pengelola jalan tol saja. Sementara untuk fungsi regulator, dibentuklah Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT).

Masa peralihan ini sudah barang tentu juga berpengaruh terhadap bisnis jalan tol yang dikelola PT MMS. Seiring dengan perjalanan waktu, Astra mulai ikut sebagai pengelola jalan tol pada tahun 2008 dan menjadi pemegang saham mayoritas sebanyak 79% pada tahun 2010. Ketika Astra mengawali berbisnis jalan tol, kinerja PT MMS sedang kurang baik, hampir di semua aspek rapornya ‘merah’. Satu demi satu persoalan coba ditangani secara profesional, dan rapor merah tadi mulai membiru. 

Inilah cikal bakal Astra masuk ke bisnis jalan tol. Seandainya, PT MMS (Astra Tol Tangerang—Merak) tidak sukses saat itu, mungkin Astra tidak akan sampai memiliki enam ruas jalan tol dan memiliki holding company sendiri yang mengelola jalan tol ini. Namanya, PT Astra Tol Nusantara (Astra Tol).

Dalam mengembangkan bisnis jalan tol, Astra Tol punya dua opsi: mengelola sendiri atau bermitra. Ketika memilih mitra bisnis, Astra Tol mengedepankan mitra yang memiliki visi sama dan bisa bekerja sama dengan baik. 

Opsi lain, Astra Tol bisa juga menggarap proyek jalan tol sendiri tanpa mitra. Misalnya, ruas jalan tol Jombang—Mojokerto dikelola 100% oleh PT MHI (Astra Tol Jombang— Mojokerto). Pengelolaan seratus persen ini sebuah ketidaksengajaan. Pasalnya, mitra bisnis menyatakan mundur saat proses pengerjaan fisik, mau tak mau perusahaan mesti komitmen dengan kontrak yang sudah ditandatangani untuk merampungkan pekerjaan konstruksi sampai selesai.

Bisnis jalan tol, membutuhkan modal investasi besar yang bilangannya triliunan rupiah. Astra Tol menyisihkan capital expenditure (capex) yang lumayan besar untuk bisnis jalan tol ini. Pada 2017, capex yang disediakan Rp4,5 triliun, dibelanjakan mengelola dua ruas jalan tol, yakni Semarang—Solo dan Tol Cikopo—Palimanan (Cipali), sebagian lagi untuk meyelesaikan ruas tol Jombang—Mojokerto. Proyek tol ruas Serpong—Kunciran sedang dalam proses konstruksi yang diharapkan rampung pada akhir 2018.

Dalam hal alokasi capex dan penempatannya, Astra Tol punya perencanaan yang ketat. Biasanya, pertengahan tahun manajemen perusahaan mengajukan budget ke PT Astra International Tbk selaku holding company. Dalam perencanaan itu, Astra Tol menyampaikan ruas-ruas jalan tol yang sedang diincar dan berapa budget-nya. Dalam praktiknya, apa yang diincar belum tentu diperoleh. Pasalnya, di tengah jalan bisa saja ada satu dan lain sebab, rencana jadi berubah.

Prinsip Astra dalam berbisnis proyek infrastruktur, tidak mau set-off antara timeline pengerjaan dengan kualitas. Manajamen Astra Tol selalu memberi arahan kepada kontraktor bahwa pengerjaan fisik jalan tol jangan dipaksakan. Misalnya, ketika perusahaan menggarap fisik jalan tol ruas Jombang—Mojokerto pada 2016, kondisi alam ketika itu kemarau basah, sepanjang tahun tidak pernah ada kemarau. Mengapa? Membangun jalan tol itu beda dengan membangun gedung yang akan bisa terlihat kalau konstruksinya miring, tetapi jalan tol tidak bisa seperti itu. Ini baru bisa ketahuan ketika sudah dipakai, ternyata kontruksinya kurang kokoh.

Tantangan dalam berbisnis jalan tol itu ada dalam hal mengelola ekspektasi customer. Prinsip yang ditegakkan perusahaan, siapa pun yang melewati jalan tol yang dikelola Astra Tol—entah itu kendaraan pribadi super mewah sampai truk—mereka semua adalah pelanggan. Treatment terhadap semua pelanggan harus sama karena mereka mengeluarkan uang dan patut dihargai. Oleh karena itu, perusahaan setiap tahun mengadakan survei terkait voice of customer dengan menyebar kuesioner, one on one meeting, wawancara, dan focus group discussion. Hal ini dilakukan agar perusahaan mengetahui suara customer seperti apa. Dari sinilah dilakukan perbaikan dan kualitas layanan.

Ketika pertama kali Astra Tol mengelola jalan tol, target pertama yang harus diselesaikan adalah memperbaiki jalan tol agar mulus tanpa ada lubang. Saat jalan sudah baik, customer akan meminta hal beda lagi, yakni informasi lalu lintas di jalan tol. Perusahaan lalu membangun call center, yang setiap bulan diundi dan diberi hadiah. Di setiap lini bisnis yang dikelola, Astra memberlakukan target operational excellent. Misalnya, ruas jalan tol Tangerang—Merak yang dipatok menjadi center of excellent. Ruas tol diharapkan jadi trendsetter dengan diberlakukannya intelligent toll road system. Kami sudah memiliki blueprint terkait hal ini sejak 2015.

Astra Tol punya tiga blueprint, seperti kualitas jalan, transaksi, dan layanan. Jadi layanan itu artinya sepanjang customer-nya ada di jalan tol yang dikelola Astra, kami harus menentukan apa saja yang dibutuhkan. Nah, semua daftar itu harus bisa dikelola dalam satu dashboard intelligent system toll road tadi. Dengan adanya blueprint tersebut, Astra Infra sudah mengantisipasi elektronifikasi jalan tol. Tahun 2018 ini akan diuji coba hybrid free flow, yakni pengemudi bisa mentap kartu e-toll atau langsung jalan dengan memanfaatkan frekuensi tertentu. Free flow ini masih harus disempurnakan lagi.

Untuk uji coba hybrid free flow, Astra Tol memakai alat simulator pertama di Indonesia untuk kebutuhan uji coba proses transaksi elektronik ini. Sebelum kami menggunakan teknologi hydrid free flow ini, simulator dipakai untuk mengetahui prosesnya, berjalan lancar atau masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Apa yang kami lakukan dengan memakai simulator ini mirip dengan perusahaan otomotif yang memiliki test track sendiri untuk uji coba produk mobil terbaru mereka. Alat simulator ini sempat dipakai pula oleh China dan Korea Selatan. 

Saat ini, Astra Tol telah berpartisipasi sepanjang 353 kilometer jalan tol dari target 500 kilometer. Masih ada, 147 kilometer lagi yang sedang dilirik. Ruas jalan tol yang mau dibangun memang banyak, tetapi kami juga harus cermat melihat ruas jalan tol mana yang mau dipilih. Astra Tol akan mencermati proyek tol itu dan kontribusinya ke Astra.

Dalam memilih ruas jalan tol yang akan dibeli, kami (di Astra) diajarkan untuk memiliki business sense. Dalam mengelola bisnis, kami ditanamkan selayaknya kami memiliki bisnis itu sendiri. 

Jadi, dalam memilih ruas jalan tol yang akan dilirik, faktor feeling ikut bermain, selain tentu referensi dari feasibility study yang mendalam. Mengapa begitu? Bisnis jalan tol itu jangka panjang yang perlu napas panjang pula. Bisa dibayangkan, pelaku bisnis jalan tol itu baru akan mengetahui bahwa ruas jalan tol yang dikelolanya bagus atau tidak setelah jalan itu lima tahun beroperasi. Dengan demikian, pemilihan ruas jalan tol yang akan diambil tidak boleh keliru karena angka investasinya triliunan rupiah.

Faktor traffic menjadi salah satu unsur penting lain dalam memilih jalan tol yang akan dibangun atau dibeli. Ambil contoh ketika Astra Infra membeli ruas tol Cipali, tingkat traffic di ruas tol itu bagus dan selanjutnya tinggal bagaimana mengembangkannya saja. Saat ini Astra Tol masih fokus mengelola ruas jalan tol di Jawa. Ini bukan berarti Astra Tol tidak tertarik sama sekali mengembangkan jalan tol di wilayah luar Jawa, tetapi karena ingin fokus saja.

Jadi, dalam berbisnis jalan tol itu, kami di Astra Tol berpikir jauh ke depan. Pasalnya, ini bisnis jangka panjang. Misalnya, ruas jalan tol yang kami kelola, seperti Jombang—Mojokerto yang umurnya masih balita dan masih harus selalu di-top-up. Itulah mengapa berbisnis jalan tol itu napasnya harus panjang. Usai membangun, masih harus membiayai operasional pengelolaan jalan tol tadi. Selama kurun waktu 5—8 tahun kondisi keuangan dipastikan masih minus. Setelah itu barulah bisa secara perlahan menuai revenue yang diharapkan positif dengan masa konsesi antara 30—40 tahun.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: