Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mobil Listrik Entar Dulu, Prioritas Garap LCEV

Mobil Listrik Entar Dulu, Prioritas Garap LCEV Kredit Foto: Agus Aryanto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Industri otomotif Indonesia sudah memiliki peta jalan (roadmap) yang dibangun sejak tahun 2015. Roadmap ini memberi gambaran terkait sektor industri otomotif ke depan. Sejak 1970 hingga 2000-an, sektor otomotif mencoba mengembangkan mesin-mesin konvensional. Pada 2013 ke depan, pemerintah bersama sektor industri otomotif mencoba untuk mengembangkan kendaraan dengan emisi karbon rendah. Dari sini lahir gagasan untuk memproduksi low carbon emission vehicle (LCEV). Momen ini pula yang menandai kelahiran mobil low cost green car (LCGC) atau kendaraan bermotor roda empat hemat energi dan harga terjangkau (KBH2).

Pasca LCG digulirkan, pengembangan kendaraan bermotor mengarah ke berbahan bakar nabati, seperti biosolar dan bioetanol. Sumber pembuatan biosolar dan bioetanol ini bisa dari produk minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO). Pada 2030, setidaknya bahan bakar sudah dicampur dengan bioetanol sebesar 30% (B-30). 

Pabrikan Toyota di Indonesia sudah mengekspor flexi engine bioetanhol ke Brasil dan Thailand. Muara dari roadmap ini akan sampai ke mobil listrik atau battery electric vehicle (BEV). Amerika Serikat pun mengarah ke mobil listrik ini. 

Dari roadmap otomotif itu, pemerintah sudah menargetkan untuk mengurangi gas buang (emisi) melalui kebijakan mobil LCEV dan LCGC. Emisi kendaraan bermotor mengandung gas karbon dioksida (CO2), nitrogen oksida (Nox), karbon monoksida (CO), volatile hydro carbon (VHC), dan partikel lain yang berdampak negatif pada manusia dan lingkungan apabila melebihi ambang konsentrasi tertentu. Untuk itulah negara-negara di kawasan Eropa membuat standar terkait emisi ini. Awalnya, pada era 1992 diperkenalkan standar emisi Euro-1. Emisi yang diperkenankan untuk menekan gas buang petrol Nox sebesar 490 mg/km, diesel Nox 780 mg/km, dan diesel PM 140 mg/km.

Seiring berjalan waktu, standar Euro tadi terus direvisi sampai seri Euro-6 yang di Eropa sudah diberlakukan sejak 2014. Saat ini, Indonesia, Myanmar, dan Kamboja masih berlaku standar Euro2. Untuk itu, pada 2018 Kementerian Perindustrian, Kementerian Energi, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan mengampanyekan standar Euro-4 (petrol Nox 80 mg/km, diesel Nox 250 mg/km, dan diesel PM 25 mg/km). Arah kebijakan pemerintah ke depan akan memberi insentif kepada produsen mobil yang mampu memangkas emisi. Hal ini terkait dengan upaya menjaga kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan hidup. Prinsipnya, semakin rendah emisi semakin besar insentif (PPnBM) bagi kendaraan tersebut. 

Ambil contoh KBH2 atau LCGC dengan insentif nol persen (PPnBM) mampu meningkatkan produksi yang luar biasa sampai bisa meraih 23% dari total share pasar otomotif di dalam negeri. LCGC ini memiliki tingkat konsumsi BBM satu liter berbanding 20 kilometer. Ketika tingkat produksi LCGC meningkat, tingkat komponen dalam negeri (TKDN) pun ikut melonjak hingga mencapai 90% dari yang ditargetkan sebesar 84%. Dengan tingkat produksi LCGC yang tinggi (tercapai skala ekonominya) akan ikut mendorong pertumbuhan industri komponen otomotif di dalam negeri.

Lesson learned dari LCGC, yakni meningkatkan volume produksi dan penjualan mobil sekaligus memperdalam struktur di industri komoponen mulai dari Tier I, Tier II, dan Tier III. Saat ini, ada 22 perusahaan komponen dalam kategori original equipment manufacturer (OEM): 1.500 perusahaan di Tier I, 1.000 perusahaan di Tier II & III, lalu ada sekitar 14 ribu perusahaan workshop authorized. Sedikitnya, ada total 1,2 juta orang yang bekerja di sektor otomotif. 

Pada 2035, pemerintah mematok setidaknya 30% atau 1,2 juta dari 4 juta pangsa pasar mobil di dalam negeri sudah berkategori hemat energi (LCEV) yang ikut membantu menurunkan emisi. Manakala harga bensin mencapai Rp20 ribu per liter, ini akan terus mendorong masyarakat beralih ke mobil dengan emisi rendah, dari 30% menjadi 40%, 50%, dan seterusnya. Dengan kecenderungan seperti ini, pihak produsen otomotif pun secara natural akan beralih memproduksi mobil-mobil yang hemat energi (LCEV), termasuk mobil listrik (EV). 

Di industri mobil listrik dikenal beberapa jenis mobil, yakni hybrid, plugin hybrid electric vehicle (PHEV), dan battery electric vehicles (BEV). Setiap jenis mobil ini memakai energi listrik. Namun sumbernya beragam, mulai dari mesin konvensional yang bertindak sebagai generator, memakai tenaga regeneratif dari pengereman hingga yang seratus persen menyedot tenaga dari baterai (BEV). Jadi, transisi dari mobil berbasis fuel (BBM) diawali dengan memangkas emisi dengan kehadiran LCEV yang di dalamnya lahir mobil LCGC, lalu beranjak ke mobil hibrida dan PHEV dengan rasio pemakaian BBM 1:50 km sebelum sampai ke tahapan mobil listrik berbasis BEV.

Peralihan industri otomotif ini dilakukan secara natural menuju mobil hemat energi (LCEV), lalu menuju BEV guna memberi ruang bagi pabrikan mobil untuk mulai menyiapkan diri ke arah itu. Pasalnya, kalau sekonyong-konyong kita mempercepat proses roadmap menuju ke mobil listrik, dari sekitar dua ribu pabrik komponen otomotif di dalam negeri mungkin akan tersisa 200 perusahaan saja. Itu artinya, ada 1.800 pabrikan yang akan lenyap. Belum pula diperhitungkan berapa besar tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan dan berapa pula pendapatan pemerintah yang akan lenyap. 

Seperti juga di negara maju (Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa), pemanfaatan mobil listrik (BEV) dilakukan secara bertahap. Operasional mobil listrik mulanya lebih diperuntukkan di daerah perkotaan yang fasilitas infrastruktur, seperti pengisian baterai kendaraan, sudah tersedia. Sementara, mobil berbasis BBM, termasuk mobil hibrida dan PHEV, bisa beroperasi di wilayah pinggiran kota. Jadi, prioritas sementara ini—setidaknya sampai 2035—lebih pada mengembangkan LCEV ketimbang menggarap mobil listrik yang masih mahal dari sisi penyediaan komponen baterainya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Agus Aryanto
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: