Pengalaman sejumlah perusahaan besar keluar dari kemelut krisis yang nyaris membuat perusahaan karam meski belum tenggelam, adalah adanya kepercayaan. Kepercayaan dibangun atas dasar reputasi dan kredibilitas perusahaan. Salah satu indikatornya: tidak pernah ‘ngemplang’ utang.
Ketika harga batu bara anjlok hingga direntang US$25— US$30 per ton pada 2013, hampir semua perusahaan tambang batu bara di Indonesia kelimpungan dan nyaris limbung, termasuk PT Indika Energy Tbk. Laba bersih perusahaan pun minus US$62,5 juta pada tahun itu. Laba minus terus belangsung hingga 2016. Baru pada 2017, kocek perusahaan mampu membukukan laba bersih setelah pajak sebesar US$335,4 juta.
“Baru pada 2015, kami membentuk tim penyelematan perusahaan, dan itu terbilang terlambat dalam merespons krisis,” ujar M. Arsjad Rasjid P. M., Direktur Utama PT Indika Energy Tbk. Langkah pertama yang dilakukan, yakni back to basic: efisiensi, dengan menekan semua biaya yang bisa dilakukan, seperti memangkas hampir 2.000 tenaga kerja dari 11.000 orang. Biaya operasional pun ditekan seoptimal mungkin.
Langkah yang terkesan biasa-biasa saja, tetapi cukup membantu menyehatkan kondisi keuangan perusahaan. Setidaknya, kondisi keuangan mulai positif dan itu mulai terlihat pada 2017. Kondisi keuangan yang positif tersebut, selain dari usaha penghematan, juga dibantu pemulihan harga batu bara ke level US$85 per ton memasuki 2017. Pemulihan harga ini terjadi karena China mulai melakukan impor batu bara untuk suplai pembangkit listrik di sana.
Bermodal Kepercayaan
Selain melakukan efisiensi di tubuh Indika Energy, ada satu langkah krusial Arsjad Rasjid guna menyelematkan perusahaan yang sedang limbung. Ia segera menemui para kreditur di luar negeri terkait obligasi yang diterbitkan perusahaan. Dalam pertemuan dengan para kreditor itulah, ia membeberkan situasi perusahaan apa adanya secara gamblang dan langkah-langkah yang akan diambil untuk menyelamatkan perusahaan. “Kreditur menghargai keterbukaan kami dan niat untuk melakukan langkah-langkah penyelematan perusahaan,” ujar dia.
Ia ingat betul lembaga rating, seperti Moody’s dan Fitch Ratings, menurunkan rating obligasi yang diterbitkan Indika Energy dan anak-anak usahanya. Pada 6 April 2016, Moody’s menurunkan rating obligasi Indo Energy Finance BV dari B3 menjadi Caa1. Penurunan rating dari anak usaha Indika Energy ini untuk obligasi senilai US$171 juta yang jatuh tempo di 2018 dan senilai US$500 juta yang jatuh tempo pada 2023. Hal yang sama dilakukan Fitch Ratings yang menurunkan dari ‘B’ menjadi ‘CCC’ untuk surat utang berdenominasi rupiah dan dolar AS.
Dasar pertimbangan kedua lembaga rating global itu mirip-mirip. Poin utamanya karena faktor harga batu bara yang terus anjlok hingga di bawah US$50 per ton bikin pendapatan perusahaan anjlok yang bermuara pada laba negatif Indika Energy periode 2013—2016. Meski pergerakan harga batu bara mulai stabil di pasar regional, namun hal itu belum memberi gambaran kinerja keuangan perusahaan akan pulih dalam waktu dekat. Kedua lembaga rating itu juga melihat anjloknya kinerja anak-anak usaha Indika Energy yang terkait dengan bisnis batu bara, seperti PT Petrosea Tbk (kontraktor tambang batu bara) dan PT Mitrabahtera Segara Sejati Tbk (transportasi batu bara).
Dengan nukilan gambaran opini Moody’s dan Fitch Ratings tersebut, sudah barang tentu akan menjadi rujukan kreditur global dan lokal terhadap surat utang yang diterbitkan Indika Energy. Dengan rating yang anjlok maka tingkat kupon yang akan dibayar Indika Energy apabila menerbitkan surat utang (obligasi) akan naik karena faktor risiko yang tinggi. Akan tetapi, yang terjadi pada Indika Energy justru anomali. Ketika perusahaan menerbitkan obligasi senilai US$575 juta pada 2 November 2017, justru oversubscribed dua sampai tiga kali dengan tingkat kupon yang rendah yaitu 5,875%.
“Ini menandakan bahwa investor masih percaya pada kami. Di sinilah saya melihat pentingnya menjaga reputasi dan kredibilitas perusahaan,” tandas Arsjad Rasjid. Intinya, jangan pernah meninggalkan komitmen untuk membayar utang. Selain itu, kalau ada masalah di perusahaan segera komunikasikan dengan para investor. Para investor berharap agar perusahaan bicara kepada mereka kalau memang sedang menghadapi masalah. Dengan dialog tersebut, investor akan mengetahui kondisi riil perusahaan dan rencana pemulihan yang sedang diusahakan.
Jaga Nama Baik
Taipan kakap sekelas Ciputra pun sudah pernah merasakan kondisi yang pelik seperti yang dihadapi Indika Energy. Ketika krisis moneter dan ekonomi melanda Indonesia pada 1998/1999, bisnis properti yang merupakan bisnis utama Pak Ci—sapaan akrab Ciputra— terpukul hebat. Selain daya beli masyarakat anjlok, utang valas tiba-tiba melangit. Betapa tidak, misalnya utang valas perusahaan sebesar US$100 juta dengan kurs Rp3.500 per dolar AS ketika itu, tiba-tiba melambung sampai tiga kali lipat manakala nilai tukar rupiah menembus Rp16.000 per dolar AS.
“Saya menyadari kondisi perusahaan sudah karam, hanya belum tenggelam,” kenang Pak Ci mengingat situasi ketika itu. Hampir setiap malam, ia meneteskan air mata menghadapi beratnya tekanan bagaimana menyelamatkan perusahaan. Secara logika, sulit untuk menyelamatkan perusahaan. Langkah awal yang ditempuh Pak Ci, menugaskan semua jajaran direksi untuk menemui kreditur guna memaparkan kondisi perusahaan apa adanya dan mencari solusi terbaik atas penyelesaian utang perusahaan. Pada intinya, perusahaan punya niat baik untuk tetap membayar semua kewajiban tersebut.
Salah satu prinsip Pak Ci dalam menghadapi tekanan dari para kreditur adalah dengan menghadapinya dan tidak lari dari tanggung jawab. Kepada para direksi perusahaan, ia berpesan apabila perusahaan menghadapi kesulitan untuk membayar utang, jangan tunggu sampai dicari dan ditagih, tapi temuilah kreditur dan ungkapkan kondisi perusahaan dan carilah jalan keluar bersama. “Saya lebih baik tidak membangun rumah dulu sebagai developer daripada tidak membayar utang,” tandas Pak Ci dalam bukunya The Passion of My Life yang ditulis Albertine Endah.
Hal senada juga dilakukan Founder Triputra Group, Theodore Permadi Rachmat atau karib disapa Pak Teddy. Mantan CEO PT Astra International periode 1984—1998 dan 2000—2002 ini pernah dua kali nyaris bangkrut dan tinggal ‘kolor’ ketika memilih memulai sebagai pengusaha dan menghadapi kebangkrutan perusahaan. “Reputasi adalah segalanya bahkan melebihi uang dalam jumlah berapa pun sebagai syarat membangun bisnis. Dengan reputasi itu, kita bisa membangun jejaring dan mendapat pinjaman bank, serta mengais kepercayaan konsumen” ujar dia.
Dari pengalaman Arsjad Rasjid (Indika Energy), Pak Ci (Ciputra), dan Pak Teddy (Triputra Group) menghadapi situasi krisis perusahaan yang nyaris karam, ada satu benang merah yang sama, yakni menjaga nama baik dan reputasi perusahaan. Semua itu bermuara pada kepercayaan. Stephen M. R. Covey dalam bukunya The Speed of Trust mengatakan, “When trust goes up, speed goes up and cost goes down.” Omongan itu dibuktikan dengan contoh ketika Warren Buffett menuntaskan akuisisi McLane Distribution dari Walmart prosesnya hanya berlangsung cepat, dua jam saja. Ini bisa terjadi karena semua pihak yang akan bertransaksi saling percaya.
Seperti dikatakan Arsjad Rasjid, kepercayaan itu terbangun dari reputasi dan nama baik. Inilah modal ia memulihkan kondisi Indika Energy sampai mampu membukukan laba positif pada 2017.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Heriyanto Lingga
Editor: Ratih Rahayu
Tag Terkait: