Dalam mengukur kemiskinan di Indonesia Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan konsep kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach), sehingga angka kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS diklaim paling valid. Namun sebagian lagi, tidak mempercayai hal tersebut, seperti baru-baru ini Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengungkapkan hal yang berbeda dengan data BPS.
Ekonom INDEF, Enny Srihartati, menjelaskan BPS adalah satu-satunya lembaga di Indonesia diakui. Sebab BPS merupakan lembaga independen yang mengukur angka kemiskinan di Indonesia yang datanya tidak pernah salah. Bahkan untuk menentukan kategori miskin tersebut, lembaga itu mengeluarkan data dua kali dalam setahun.
"Data yang dikeluarkan BPS dua kali dalam satu tahun, itu kan sudah ada metodologinya sendiri," tegasnya di Jakarta, Sabtu (4/8/2018).
Ia menambahkan, angka kemiskinan juga harus diperhatikan seiring dengan bantuan sosial (bansos) yang diberikan pemerintah sehingga berkurangnya angka kemiskinan. Bahkan menurutnya hal itu berhasil. Akan tetapi setelah program bansos selesai yang harus diwaspadai adalah peningkatan pada angka kemiskinan tersebut, sebab ada beberapa faktor yang mempengaruhi.
"Mulai daya beli yang harus diperbaiki, ekonomi yang ditingkatkan. Agar berkesinambungan, supaya setelah program bansos selesai mereka tidak jatuh miskin lagi," terangnya.
Enny mengatakan, dalam 5 tahun kemiskinan di Indonesia berkurang hingga 2,17 juta orang atau turun 1,4%. Dari penyampaian BPS, penurunan angka kemiskinan per Maret 2018 dikarenakan beberapa faktor, di antaranya inflasi umum periode September 2017-Maret 2018 sebesar 1,92%, rata-rata pengeluaran perkapita/bulan untuk rumah tangga yang berada di 40% lapisan terbawah selama periode itu tumbuh 3,06%.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Irfan Mualim
Editor: Irfan Mualim
Tag Terkait: