Di antara ratusan BUMN yang ada, Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik (Bulog) punya positioning yang strategis.
Bulog lewat tiga peran utamanya: penyedia produk pangan, penyedia pangan yang berkualitas, serta stabilisasi harga pangan utamanya (beras, daging, tepung/minyak goreng), menjadi tangan kanan presiden dalam menjamin pelayanan negara kepada masyarakat terkait pangan. Apalagi Bulog di masa lalu pernah berfungsi sebagai buffer stock, yang mengamankan di saat kondisi pangan di masyarakat genting.
Namun dalam beberapa tahun belakangan, keberuntungan seperti sedang tidak berpihak pada badan usaha yang satu ini. Kepercayaan masyarakat terhadap segenap produk pangan utama beras luntur. Baik itu rastra maupun e-rastra seakan tidak ada bagusnya di mata masyarakat sehingga tidak pernah dilirik. Ada cacat produksi sedikit saja, habis sudah citra mereka. Pun dengan mitra kelompok tani (Gapoktan) yang lebih erat dengan tengkulak misalnya.
Di era kepemimpinan yang baru saat ini, perusahaan pada tahun ini ingin merebut kembali kepercayaan itu. Adanya kepercayaan masyarakat akan menjamin pengembangan usaha Bulog ke depan bisa berjalan dengan mulus. Istilahnya, jual pangan apapun asal kualitas terjaga, pasti laku.
Beberapa terobosan juga sudah mulai dijalankan. Mulai dari mempererat komunikasi dengan 35 Gapoktan, menyediakan beras premium saset berukuran 200 gram di beberapa provinsi, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Pun secara korporasi, berbagai target sudah ditetapkan semaksimal mungkin.
Tahun ini, Bulog menargetkan penjualan Rp31 triliun, serapan beras dari produksi dalam negeri 2,7 juta ton, serta pengadaan beras komersial sebanyak satu juta ton untuk 2018. Namun, ini hanyalah angka-angka soal untung rugi yang bukan menjadi target utama. Kepercayaan dan kepuasan atas layanan yang baik dari Bulog adalah yang utama.
Seperti apa perjalanan Bulog di bawah kepemimpinan baru saat ini, wartawan Majalah Warta Ekonomi, Yosi Winosa dan Agus Aryanto, berbincang-bincang dengan Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso. Berikut kutipannya.
Sedikit flashback, saat Anda ditunjuk oleh Presiden Jokowi, apa pesan dari beliau?
Siapa pun presidennya, ia selalu ingin memiliki orang-orang yang mampu membantu beliau dalam menyelenggarakan negara dengan baik. Tentunya, beliau butuh orang-orang yang memiliki komitmen untuk negara dan bangsa ini sesuai dengan bidangnya masing-masing. Pesannya yaitu: saya ingin Bulog baik, Bulog berperan, dan punya manfaat buat negara.
Sekarang saya hanya perlu berusaha mewujudkan keinginan presiden tadi. Yang menilai nanti bagaimana? Saya serahkan kembali ke presiden dan masyarakat. Tetapi saya punya komitmen bahwa saya harus tetap bisa bekerja dan bekerja dengan baik.
Bagaimana gambaran kondisi bisnis pangan saat ini dalam pandangan Anda?
Kalau dari kacamata saya, ada beberapa poin. Pangan itu kan sudah menjadi kebutuhan pokok. Nah, inilah yang menurut saya, seyogyanya tidak boleh dimainkan untuk urusan bisnis dan dikuasai atau dikendalikan oleh negara. Itu sudah mutlak di negara manapun. Supaya apa? Supaya masyarakat mempunyai ketahanan pangan dalam arti kebutuhan pangan masyarakat aman dan bertahan, tidak ada gejolak, kegelisahan, hingga tidak mudah diprovokasi.
Coba lihat China, dengan 1,6 miliar penduduknya dan lahan pertanian terbatas, pangannya dijamin 10 tahun ketahanannya oleh pemerintah. Ya kalau ada sifatnya cari keuntungan, pastikan sekecil-kecilnya, hanya sebagian kecil dari bisnisnya dan bukan dari lini yang andalan.
Soal China tadi, posisi ketahanan pangan kita ada di mana?
Jadi, urutannya (1) ketahanan pangan, (2) swasembada pangan, dan (3) kedaulatan pangan. Kita sudah bisa capai ketahanan pangan, tetapi masih rawan. Kita belum sampai tingkatan kedua (swasembada pangan) karena ketergantungan pangan kita semua dari impor mulai dari kedelai, gula, dan garam. Apalagi sampai tahap kedaulatan pangan, itu artinya pangan kita sudah kelebihan, bisa ekspor. Jaminannya, seumur hidup pangan negara ini good.
Jadi sekarang baru pada tingkat ketahanan pangan, ini saja hanya dua bulan. Bandingkan dengan negara lain yang sudah bertahun-tahun. Inilah yang menjadi kerawanan negara. Seandainya kita diembargo pangannya, selesai kita.
Jelas, bukan? Tak perlu kirim pasukan hebat untuk mengalahkan Indonesia, pangannya dikunci saja sudah bahaya.
Dari sisi pelaku bisnis, kita sama-sama tahu ada istilah mafia pangan dan kebetulan latar belakang Anda adalah kepolisian dan BNN, bagaimana Anda mengidentifikasi hal ini?
Sebenarnya tidak harus berlatar belakang Polri atau TNI untuk bisa mengidentifikasi ini. Yang penting, kita berkomitmen dan bertanggung jawab atas tugas yang diberikan. Jadi, saya hanya menyinergikan atau sebatas melakukan komunikasi dengan Satgas Pangan. Peran Satgas Pangan ini sekarang begitu penting karena merekalah yang mengawasi orang-orang yang mempermainkan urusan pangan ini.
Contoh, saat ada penimbunan atau yang berusaha mencampur pangan dengan hal-hal yang tidak diizinkan, Satgas Pangan yang akan menemukan. Kita harus berkoordinasi dengan Satgas Pangan yang posisinya ada di bawah kendali Kepolisian. TNI juga turut dilibatkan, terutama soal bagaimana bisa mengawal petani agar aman produksinya dan tidak dijerat oleh sistem ijon atau tengkulak.
Terkait swasembada pangan, terutama beras, Mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Rachmat Gobel pernah bilang bahwa yang diperlukan adalah penertiban di sisi hilir. Sebenarnya stok itu ada, namun di hilirnya jadi rumit. Kenapa bisa demikian?
Sebenarnya yang rusak itu tata niaga pangannya, bukan ketersediaan atau ketaktersediaan barang. Barang yang ada sekarang kalau dibagi rata, tercukupi. Stok beras kita saja ada 1,7 juta ton sekarang. Persoalan pertama karena dimainkan tadi, ada kartel-kartel yang menginginkan ini menjadi bahan bisnis maka dikendalikan atau dimainkan oleh oknum sehingga harga berfluktuasi.
Kedua, memang dibikin sistem supaya masyarakat kita selalu merasa gelisah dan was-was sehingga terjadilah penimbunan. Ilustrasinya, sebenarnya saya tidak ada keperluan menimbun beras, tetapi karena ada isu-isu yang dilemparkan terkait krisis pangan maka dibelilah beras dalam jumlah banyak. Oleh karena itu, sembako khususnya beras harus dihemat dan tidak boleh dibisniskan. Ini harus benar-benar dikuasai dan dikendalikan negara. Titik!
Ketika ada rencana impor pangan dan Anda selalu bilang nanti dulu karena harus dipenuhi dari petani lokal, namun pada kenyataannya data yang berbeda menjadi salah satu pemicu impor. Bagaimana ini bisa terjadi?
Oke, sekarang mari bicara data. Salah satu tugas Bulog adalah menjamin ketersediaan barang, kualitas, dan harga. Ketersediaan barang siapa yang buat? Petani sebagai produsen. Berarti kita harus jaga semangat mereka. Kita harus berpihak pada produsen. Nah kalau produsen sudah dijaga, produktivitasnya akan tinggi. Coba jika sekarang kita hantam dengan impor, kira-kira akan mati tidak produsennya? Mereka tidak akan bisa bersaing dengan produk impor.
Di situ lah kita berpihak. Negara harus selalu berpihak pada rakyatnya. Bulog itu institusi negara maka yang harus kami utamakan adalah petani. Sekarang buktinya kita bisa menyerap beras. Produksi kita pun besar.
Nah, bagaimana strategi Bulog menyerap beras petani lokal secara maksimal tadi?
Hubungan saya dengan kelompok petani sudah makin erat. Ada setidaknya tujuh kelompok tani yang sering berkomunikasi dengan saya. Mereka bangga bisa langsung "tembus" ke Dirut. Lalu saya tanya: apa yang bisa saya bantu? Dijawab: daerah saya sudah mau panen nih, pak.
Percakapan pun mengalir sampai ke tipe beras, standardisasi, uji produksi beras petani, dan harga beli Bulog sebesar Rp4.070-Rp4.100. Saya bilang kalau memang ada pihak yang mau membeli (beras mereka) dengan harga Rp5.000 per kg, mereka bisa langsung menjualnya dan tidak harus ke Bulog. Ini bentuk keberpihakan kita ke petani sekaligus untuk membangun trust dengan mereka.
Bagaimana Anda memaknai penugasan Bulog saat ini?
Saat ini, Bulog anggarannya mandiri, dengan dana pinjaman dari bank BUMN dengan bunga komersial. Di sisi lain, kita harus bisa menghasilkan penerimaan negara, selain harus mencari dana untuk operasional sendiri. Sementara di sisi yang lain lagi, ada penugasan yang sifatnya sosial. Peran ganda ini menyulitkan memang.
Seyogyanya, Bulog dengan tiga peran tadi tidak bekerja untuk kepentingan bisnis. Pasalnya, Bulog ini sebagai stabilisator jadi tidak seharusnya cari uang. Bulog mempunyai peran-peran yang tidak bicara soal untung dan rugi gitu. Ini yang sekarang sedang pelan-pelan kami benahi. Kami harus arahkan pada Bulog yang diharapkan masyarakat: menjadi tangan kanannya presiden di bidang sembako.
Posisi itu bakal diraih lewat terobosan, salah satunya beras saset, sebenarnya apa yang melatarbelakangi?
Kita berangkat dari pemikiran Bapak Presiden yang menginginkan bagaimana agar beras itu ada di mana-mana. Tujuannya supaya bisa menghilangkan kegelisahan masyarakat tentang ketidakadaan beras. Beras itu sembako, kebutuhan mutlak. Bandingkan dengan kopi, sampo, atau sabun yang ada di mana-mana, sedangkan beras tidak?
Untuk itu, saya realisasikan keinginan presiden menjawab kegelisahan masyarakat tentang keberadaan beras. Kalau sudah ada beras yang saset, apa iya masih kepikiran nyetok? Tidak perlu.
Nah, ketiadaan beras ini bisa jadi alat teror. Jadi jangan dianggap enteng masalah beras. Jadi kartel-kartel itu nanti tidak bisa lagi main.
Ke depannya akan ada terobosan apalagi?
Kita akan keluarkan 11 atau sembilan produk bahan pokok dalam bentuk saset, di antaranya minyak, gula, dan tepung. Ya, kita ingin bagaimana melayani masyarakat dengan baik.
Kehadiran Bulog harus bisa menyiapkan semua kebutuhan masyarakat sehingga tidak ada lagi masyarakat yang bingung saat gula tidak ada.
Bagaimana menanamkan nilai-nilai ke segenap organisasi Bulog agar visi Anda tercapai?
Bulog kan mempunyai tiga tugas utama: ketersediaan barang, kualitas, dan harga. Semua itu harus dijamin sehingga saya harus memimpin Bulog dengan baik. Saya harus mampu mendorong, memengaruhi semua staf dengan visi saya yang tentang tiga tugas utama tadi. Utamanya, saya harus memberi contoh dan ketauladanan.
Kalau tidak, mana mungkin saya akan bisa membawa kapal ini berlayar. Bagi siapa saja yang tidak mau ikut berlayar ya silakan turun, kalau setengah-setengah terpaksa dia turunnya di lautan. Ini sudah saya sampaikan sejak awal. Prinsip itulah yang saya lakukan sekarang. Saya punya komitmen harus berhasil sebagai pelayan masyarakat yang baik dalam urusan pangan. Jadilah pelayan masyarakat untuk pangan yang terbaik karena Bulog itu singkatan dari Badan Urusan Logistik.
Perut urusannya, jadi jangan arogan. Kita ini adalah pelayan sembako dengan baik, itulah komitmen yang saya sampaikan ke seluruh jajaran saya.
Sebagai sebuah perusahaan, ada target tertentu dari Bulog di tahun 2018?
Secara ekonomi tidak ada target, tetapi yang paling penting adalah bagaimana Bulog bisa mendapatkan trust, itu targetnya. Bagaimana Bulog bisa melayani masyarakat sehingga mereka merasa puas. Pelayan yang baik itu setiap kebutuhan masyarakat harus mampu merespons. Yang saya pikirkan bukan soal untung dan rugi. Namun, kehadiran bulog itu adalah representasi negara, saya adalah pelayan masyarakat di bidang pangan, dan itu harapan dan target saya ke depan.
Hari ini atau kemarin Bulog tidak mendapatkan trust itu dari masyarakat. Bayangkan, saat ini masyarakat enggan membeli beras Bulog karena dianggap kurang berkualitas. Di sini masyarakat tidak salah, Bulog yang salah. Oleh karenanya, saya katakan tidak ada lagi beras yang mutunya rendah dari Bulog. Semua berkualitas, yang tidak berkualitas berhenti disposal, tidak lagi dijual. Itu salah satu upaya menanamkan trust dan kita harus bisa memberikan pelayanan yang baik. Sistem pun diperbaiki, termasuk bagaimana kemudahan masyarakat mendapatan produk sembako, utamanya beras.
Kami buat lapak beras online, beras saset, bahkan kami juga ingin mendapatkan kepercayaan masyarakat petani. Kami jamin kesejahteraan mereka bersama dengan Kementerian Desa, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Koperasi UKM supaya petani benar-benar percaya bahwa negara itu ada.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: