Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bertahan dari Tekanan Tahun Politik

Bertahan dari Tekanan Tahun Politik Kredit Foto: Warta Ekonomi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Lima langkah bertahan menghadapi tahun politik disiapkan PT Summarecon Agung, Tbk. Melalui kelima langkah ini, diharapkan kinerja perusahaan tetap kinclong memasuki fase ketidakpastian. Apa saja kelima langkah tersebut?

Agendanasional di sepanjang tahun ini dan tahun depan dipenuhi dua event besar berupa pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak pada 2018 dan pemilihan presiden (pilpres) pada 2019. Ini membuat seluruh konsentrasi masyarakat tercurah pada dua momen itu sehingga kinerja sektor-sektor di luar politik cenderung menyesuaikan diri, tak kecuali dalam investasi sektor properti.

Kalangan pemodal yang selama ini gemar mengoleksi unit-unit properti untuk dijual lagi saat value-nya sudah meningkat, pada tahun ini tampak cenderung mengurangi agresivitasnya sembari menunggu dan mencermati (wait and see) situasi kondusif di masyarakat.

Selama ini, geliat industri properti Tanah Air selalu ditopang oleh dua kelompok besar, yaitu investor dan pemakai akhir (end user), baik untuk pembelian pertama (first time buyer) maupun lanjutan (upgrader). Kondisi di masyarakat yang cenderung cukup menghangat dengan adanya dua momen politik di atas membuat kontribusi kelompok investor terhadap penjualan properti di sepanjang tahun 2018 ini menyusut. Awalnya kontribusi ini secara rerata berkisar 30%-35% terhadap total penjualan, kini maksimal 15% saja. Sementara, 85% lebih sisanya kini lebih banyak ditopang oleh penjualan dari kalangan end user.

Berubahnya situasi dan kondisi di market ini pun membuat para pelaku bisnis properti nasional terpaksa harus menyesuaikan diri, tak kecuali Summarecon. Secara umum, dua kelompok besar konsumen properti nasional tadi memiliki karakteristik yang khas dan berbeda satu sama lain.

Kalangan investor, misalnya, dinilai sangat sensitif terhadap berbagai inovasi pengembang yang diterapkan terhadap unit produk yang ditawarkan. Misalnya saja terkait luasan lahan, konsep, dan gaya arsitektur bangunan hingga berbagai fasilitas yang dilekatkan pada produk, seperti one gate system dan lain sebagainya. Ini lantaran beragam inovasi tersebut berguna terhadap peningkatan value produk beberapa tahun ke depan dalam kapasitasnya sebagai bentuk investasi.

Lain halnya dengan kelompok konsumen dari kalangan end user yang cenderung tidak terlalu sensitif terhadap poin-poin di atas, melainkan lebih pada komponen harga dan kemudahan dalam pembayarannya. Bahkan demi harga yang kompetitif, kelompok end user yang lebih banyak didominasi kalangan milenial, cenderung merasa tidak masalah bila luasan lahan dari produk yang akan dibelinya lebih sempit dan dengan desain arsitektur yang lebih simpel selama fungsinya sebagai hunian masih terpenuhi. Tanpa faktor-faktor penunjang seperti di atas, secara kebutuhan mereka memang harus membeli unit properti untuk ditinggalinya sendiri, bukan sebagai sarana investasi.

Perbedaan mendasar antara karakteristik konsumen inilah yang kemudian harus menjadi perhatian kalangan pengembang nasional seiring bergesernya peta konsumen properti Tanah Air dengan makin mendominasinya kontribusi dari kalangan end user.

Beberapa strategi khusus diambil demi menyesuaikan diri guna bertahan dari stagnasi yang terjadi selama tahun politik berjalan. Pertama, menggeser fokus perusahaan dari semula lebih concern terhadap produk menjadi kemudahan cara pembayaran. Misalnya upaya memperingan beban uang muka (DP) yang harus disiapkan calon pembeli, mulai dari bisa dicicil hingga 25 kali, lalu meminimalisasi sebatas masih sesuai dengan aturan Bank Indonesia (BI), hingga opsi subsidi dari pihak pengembang. Lalu, pelunasan DP yang lebih longgar bisa dicicil hingga 25 kali sampai layanan cash keras dengan jangka waktu yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan kesanggupan calon pembeli.

Selain mempermudah cara pembayaran, strategi kedua juga berupaya menekan harga jual agar lebih dapat dijangkau kalangan end user. Caranya, dengan memperkecil luasan lahan maupun tipe bangunan sehingga dapat menekan komponen harga jual agar lebih efektif dan efisien. Tak hanya agar lebih terjangkau, strategi ini sekaligus untuk menyesuaikan diri dengan permintaan kalangan milenial yang tak lagi mengedepankan besaran hunian demi bisa melakukan saving untuk kebutuhan lain, seperti pendidikan, hiburan, bahkan traveling. Karena itu, Summarecon Agung secara khusus menggeser bidikan pasarnya lebih ke segmen menengah ke bawah (middle low) dengan harga jual di bawah Rp2 miliar.

Strategi berikutnya adalah mencoba pengembangan proyek baru di wilayah potensial kota besar di luar Jawa. Dalam hal ini, Summarecon tengah bersiap merilis proyek kota mandiri di Makassar yang diberi nama Summarecon Mutiara Makassar tahun ini. Dengan statusnya sebagai kota besar sekaligus salah satu pusat perekonomian di kawasan timur Indonesia, Makassar dianggap memiliki potensi besar untuk pengembangan bisnis properti ke depan.

Terakhir, tak ingin hanya berkutat pada potensi di bisnis hunian, Summarecon tetap mempertahankan kekuatan kinerjanya di bisnis mal sebagai penghasil recurring income perusahaan. Meski diserbu maraknya penjualan online, faktanya kinerja bisnis mal Summarecon relatif tidak terpengaruh dan tetap mampu berkontribusi dengan tingkat pertumbuhan sekitar 6%—7%. Hal ini dapat terjadi lantaran konsep mal Summarecon yang tidak sekadar menjual produk melainkan lebih pada experience.

Dengan keseluruhan strategi tersebut, Summarecon Agung optimistis dapat bertahan dari tekanan tahun politik tahun 2018-2019 ini.

Strategi Summarecon Agung

1. Mengubah fokus inovasi dari semula lebih pada desain produk ke kemudahan cara pembayaran.
2. Memperkecil luasan dan ukuran unit produk demi menekan harga jual agar lebih terjangkau.
3. Menggeser sasaran pasar ke middle low dengan harga jual di bawah Rp2 miliar untuk lebih menjawab kebutuhan kalangan milenial.
4. Mulai membidik pasar kota besar di luar Jawa (Makassar) yang memiliki daya beli cukup baik, namun tingkat persaingannya belum terlalu sengit.
5. Mempertahankan recurring income dari bisnis mal dengan tingkat pertumbuhan konsisten di kisaran 6%-7%.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Taufan Sukma
Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: