Sebagai figur baru dipucuk sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), hari-hari Lukman Hidayat lebih banyak wara-wiri menghadiri berbagai undangan pertemuan stakeholder, seperti raker dengan Komisi VII DPR, Kementerian BUMN, atau rapat internal dan eksternal seperti dengan vendor. Untuk mencari waktu berbincang-bincang dengan mantan Direktur Pengembangan, Riset, dan Teknologi PT PP (Persero) Tbk ini sungguh perlu kesabaran ekstra karena jadwal yang sudah ditentukan bisa berubah mendadak.
Jebolan teknik sipil Universitas Diponegoro 1990 ini dikenal sebagai figur yang ramah, supel, dan egaliter oleh karyawan PT PP. Bagi pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 11 Desember 1963 ini, bekerja ibarat hobi. Tak heran apabila ia selalu sudah ada di kantor setiap pukul 07.00 pagi. Sebagai orang nomor satu di PT PP, tantangannya bagaimana melanjutkan program transformasi yang digagas Bambang Triwibowo—CEO PT PP periode 2011-2015—yang dilanjutkan Tumiyana (2016-2018).
Berikut petikan percakapan tim Warta Ekonomi dengan Lukman Hidayat di Kantor PT PP di bilangan Pasar Rebo, Jakarta Timur, Minggu, 15 Juli 2018:
Di masa transisi kepemimpinan PT PP saat ini, apa bisa dikatakan Anda sedang melakukan konsolidasi?
Ada penyesuaian terhadap program 2017. Dengan RJPP lima tahun (2017—2021), dari tahun 2016 itu lonjakannya luar biasa. Kami bersemangat ini bisa tercapai karena ada keinginan menjadi perusahaan ASEAN Class. Oleh karenanya, waktu menyusun rencana kami dengan semangat mengejar semua pencapaian itu. Namun dalam perjalanannya khususnya di tahun 2018 (sebagai salah satu tahun politik), sangat memberikan pengaruh pada dunia konstruksi. Banyak sektor swasta yang proyeknya juga di-hold, bahkan dibatalkan. Begitu pun dengan investor, meski tidak semuanya, tapi ada sebagian tengah menunggu saat yang tepat.
Lalu ada siklus krisis ekonomi 10 tahunan, yakni tahun 1998 dan 2008, bisa dilihat bahwa suku bunga di Amerika Serikat mengalami kenaikan, dolar mengalir ke sana. Selain itu, efek perang dagang antara Amerika Serikat dan China, dan kejatuhan saham manufaktur di Bursa Shanghai, menyebabkan ekonomi banyak negara termasuk Indonesia menjadi berat. Alhasil, baik pemerintah maupun BUMN mulai melakukan penyesuaian anggaran, tak terkecuali swasta. Kami sendiri masih memiliki satu semester, Juli—Desember, untuk mencapai target 2018 yang dicanangkan dirut lama. Inilah yang menjadi prioritas saat ini.
Tentunya, saya harus melakukan konsolidasi ke dalam. Sudah bisa terlihat bahwa semua anak perusahaan kami, walaupun dirutnya belum definitif, tetapi sudah ada pejabat sementara (PLT). Ini pertimbangan semua, sudah kami bahas dengan teman-teman di PT PP.
Banyak juga ternyata yang perlu dikonsolidasikan?
Iya, termasuk juga soal quality, safety, health, and environment (QSHE) yang sekarang menjadi hal yang baru. Kami mempunyai biro yang dikelola oleh mantan orang lapangan. Dia sebagai kepala biro di QSHE itu. Setiap tiga bulan kami juga melakukan brainstorming—yang saya juga ikuti—kepada teman-teman di PT PP mulai semester dua ini. Kami lakukan untuk gedung sendiri, infrastruktur sendiri, EPC sendiri, dan anak perusahaan sendiri. Tujuannya agar safety menjadi budaya bagi kami, termasuk budaya K3. Jadi semua ini kami bentuk team work yang baik antara yang baru dengan yang lama. Seperti infra tetap, gedung kami ubah, EPC kami ubah, energi kami ubah, SDM juga kami ubah.
Termasuk komisaris anak perusahaan. Komisaris utamanya kami lakukan perbaikan yang sifatnya untuk GCG (good corporate governance). Misalnya, saya yang dulunya sebagai Komisaris Utama (Komut) di PT PP Properti sengaja menarik diri tidak menjabat komut lagi. Harapannya, supaya bisa saling memberikan kontribusi yang baik, tidak ada konflik kepentingan sehingga GCG bisa jalan. Komisaris harus betul-betul yang mempunyai pemikiran untuk meningkatkan kinerja anak perusahaan.
Bagaimana review terhadap RJPP dari tahun 2016 sampai 2021?
Sebabnya ada pengaruh politik dan pengaruh global. Global itu siklusnya 10 tahunan dan 50 tahunan. Kami review tentu sambil menunggu perkembangan makronya. Harapan kami, parameter-parameter itu semua membaik sehingga bisa dilakukan RJPP ini dan tidak terlalu banyak dilakukan perubahan. Contohnya, EPC gedung swasta yang juga mau di-review. Pasalnya, swasta biasanya cost differential, tapi tidak itu saja, kualitas dan safety juga harus diperhatikan. Kalau sekadar murah terus banyak kecelakaan dan kualitasnya buruk, juga tidak bisa.
Kami juga sudah dua tahun ini spesialisasi. Kami punya wilayah Sumatera, Jakarta, Surabaya, dan Makassar. Wilayah ini dulunya tumbuh hampir bersamaan. Mereka mengerjakan yang general, seperti gedung atau jembatan. Sebetulnya, kami tahu bahwa pertumbuhan gedung, yang umumnya ada di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan. Pasalnya, gedung kecil atau besar perbedaannya tidak linear. Kebutuhan SDM-nya tidak linear. Misalkan proyek Rp10 miliar dengan proyek Rp100 miliar, apakah perbedaan SDM-nya 10 kali? Tentu tidak. Sehingga kalau begitu kami main gedung yang ada di Jakarta.
Dengan spesialisasi, kami bisa meningkatkan kualitas. Kami mendidik SDM agar kemampuan mereka dapat di-sharing baik knowledge maupun dari skill-nya. Itu bisa lebih cepat mendidiknya. Contohnya soal gedung, bagaimana efisiensi dan sebagainya. Saya katakan kepada mereka (kepala divisi dan SPV), rapat-rapat yang sifatnya inovasi dan improvement itu harus diutamakan. EPC itu sebetulnya sudah spesialisasi. Kami bentuk EPC, yang lain masih wilayah, dia sudah spesialis. Jadi kami terinspirasi juga dari EPC, sekarang akhirnya semua menjadi spesialisasi.
Apa target yang akan Anda capai di 2018?
Ujungnya, anak perusahaan bisa untung bersih. Ini bisa kami capai kalau ada proyek yang dijual untuk mendapatkan keuntungan kotor. Itu bisa kami dapat kalau ada yang kami olah. Sekarang kami memang harus banyak melakukan terobosan. Contohnya kalau kami ikut investasi, kami lakukan tidak semuanya di green field (proyek baru). Kami coba cari yang sudah brown field supaya langsung bisa kami masak dan jual kembali. Mudah-mudahan di tahun ini bisa dikerjakan.
Apakah proyek-proyek tersebut menjadi quick wins?
Iya, kami harapkan proyek ini sebagai quick wins-nya. Kami harus melakukan penyesuaian seiring adanya perubahan. Kami dorong saat ini untuk masuk ke EPC. Sekarang ini sudah banyak industri ke Pertamina dan PLN. Selain itu kami dorong untuk masuk ke industri lainnya, seperti PTPN yang sedang bikin pabrik gula dan Petrokimia. Semua itu tentu dengan kerja sama. Ada juga KPBU (Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha), namun KPBU masuknya green field. Harapannya, bisa menambah penjualan sehingga bisa melengkapi keuntungan.
Jadi harapannya kami bisa mengejar target karena semangat di 2016 itu bisa mendapatkan kenaikan yang luar biasa. PT PP termasuk yang boleh dibilang secara spesifik tidak memiliki penugasan, semacam tol atau LRT. Jadi, konsentrasinya semua ini hampir bisa dibilang sama dengan BUMN Karya yang lain.
Dengan adanya spesialisasi tersebut, PT PP tidak bermain lagi di proyek-proyek kecil?
Secara otomatis proyek kecil tidak terseleksi. Saya ambil contoh gedung kecil di Manado, buat apa saya harus kirim 25 orang ke sana kalau nilainya cuma Rp50 miliar. Lebih baik di sini yang nilainya Rp100 miliar, misalnya. Adapun yang Rp100 miliar pun sekarang kami tidak ambil kalau proyek tersebut tidak ada kelanjutannya. Kami telah sepakat hanya ambil proyek di atas Rp150 miliar. Ketentuan dari Kementerian PU sekarang pun menyatakan bahwa BUMN tidak boleh ambil tender proyek-proyek di bawah Rp100 miliar.
Di sisi lain, kecepatan pertumbuhan kami dengan sumber daya manusianya berbeda, lebih lambat SDM-nya. Pertumbuhannya tidak sampai 10%, paling sekitar 7%, sehingga kami harus lakukan seleksi juga. Tetapi kenyataannya, kami tetap ambil proyek yang nilainya bahkan di atas Rp200 miliar.
Kami juga sedang membuat program e-proc yang diharapkan jalan penuh di tahun 2019. Ini artinya, kami ingin mendapatkan harga yang lebih bagus. Mengingat, strategic partnership kami juga ingin membuat PT PP sebagai perusahaan yang terbuka dan bagus kompetensinya.
Kalau sudah proyek di atas Rp300 miliar, apalagi di atas Rp1 triliun atau Rp3 triliun, kami perlu menyusun dan membuat metode sequence of book. Itu harus dilakukan dengan benar supaya efisien, termasuk jumlah orang dan safety-nya. Ke depannya kami berharap bisa masuk ke proyek-proyek besar yang menerapkan aspek teknologi. Proyek yang dimaksud bukan proyek as usual sebab jika terus menangani yang seperti itu, kami bisa ketinggalan dalam urusan inovasi. Termasuk PT PP Properti yang saya tantang untuk mengerjakan proyek di atas lahan satu hektare.
Alhamdulillahnya, mereka sekarang sudah punya lahan di atas 200 hektare di Bandara Kertajati. Mereka pun ada landbank di Transyogi Cibubur dengan lahan yang cukup besar.
Apa strategi lainnya?
Sebetulnya, dengan spesialisasi ini kami dorong semuanya untuk bisa jalan. Agar competitiveness PT PP tinggi maka kami mendorong proyek-proyek yang building dari dalam baik itu investasi maupun dengan sesama BUMN. Kami batasi gedung tidak lebih dari 40% jumlah proyek supaya competitiveness terjaga. Kalau semua proyek kami ada di gedung, begitu proyek lainnya ada, kami tidak bisa lanjut tangani. Portofolio investasi juga kami jaga, jangan sampai investasinya mendahului building-nya.
Oleh karenanya, biarkan hal tadi tumbuh dengan sendirinya. Kami dorong semuanya maju karena sudah spesialisasi. Kami juga siapkan SDM tiap tahun dengan menyekolahkan minimal empat orang. Kami buat program kerja sama dengan Universitas Prasetya Mulya dan Southwills University Australia. Double degree enam bulan di Prasetya Mulya, lalu lanjut enam bulan di Australia. Tujuannya supaya kemampuan SDM kami terus meningkat.
Apa lagi inovasi yang akan dilakukan?
Kami sedang melakukan kajian yang dibantu PwC terkait pengembangan information technology (IT). PwC kemudian merekomendasikan bahwa kami harus membuat sebuah divisi khusus yang mengurusi hal ini. Namun, saya belum bentuk karena terlalu besar nanti divisinya sehingga untuk saat ini saya gabung saja ke dalam divisi SDM. Ke depannya pasti akan ada divisi sendiri.
Bagaimana perkembangan kerja sama 3D printer dengan Apis Cor?
Kami harapkan ke depan alat itu bisa untuk membangun gedung dalam skala yang lebih besar, tiga atau empat lantai. Mungkin cara kerjanya nanti, alat ini bakal ada di tengah kemudian lebarnya 25m atau 30m sehingga bisa dipakai untuk bangun gedung dengan lebar 30mx30m atau 50mx50m. Itu bisa kami lakukan ke depan dengan bantuan alat ini hingga mencapai 4—5 lantai mungkin. Bahkan kalau ternyata teknologinya bagus, boleh jadi besinya bisa ikut dipasang sekalian dengan alat ini.
Kalau saat ini, alat itu untuk proyek seperti apa?
Lebih banyak itu untuk proyek inovasi. Riset yang kami lakukan bekerja sama dengan perguruan tinggi di Jawa, yakni ITB, UI, ITS, UGM, dan Undip. Di satu sisi, kami punya target yang lebih besar, tapi di sisi lain juga alat ini mau kami pakai untuk membangun rumah-rumah dan jalan. Ini masih terus kami pelajari dan diskusikan dengan teman-teman tadi. Di Rusia sendiri alat ini sudah sukses. Bahkan, di Belanda ada yang membuat jembatan penyeberangan pakai itu.
Targetnya tahun depan sudah full implemented?
Katakanlah tahun ini kami uji coba membuat rumah sedang atau gudang-gudang, bikin dua atau tiga kemudian alat ini mobile bisa dipindah-pindah. Kemungkinan pertengahan Agustus nanti kami lakukan percobaannya. Jadi, kalau ada orang Malaysia bertanya mengenai alat ini, suruh dia datang ke Indonesia temui PT PP oleh advisornya.
Nah kami bekerja sama dengan perusahaan lokal di sini, termasuk perusahaan yang punya mortar karena merekalah yang menciptakan materialnya.
Bagaimana pengalaman PT PP dalam bersaing memenangkan proyek besar dengan sesama BUMN maupun swasta?
Kami terakhir bertarung di Kulon Progo. Mereka punya persyaratan yang tinggi untuk bisa mengikuti tender. Belum lagi persyaratan soal metodenya juga luar biasa, beauty contest, requirement pengalaman, dan peralatan yang semuanya luar biasa. Di samping itu, ada beberapa proyek lainnya, seperti proyek dari Terminal AP II runway yang kemarin juga menjadi pertarungan luar biasa dengan BUMN lain, paket nilainya Rp1,5 triliunan. Terus yang terakhir Gedung BNI walaupun nilainya di bawah Rp1 triliun, kompetisinya juga luar biasa. Tak ketinggalan juga di BRI yang paket I.
Apa keunggulan PT PP sehingga mampu memenangkan proyek-proyek tersebut?
Soal gedung dan tim lapangan, PT PP sudah firm-lah. Pelabuhan-pelabuhan besar pernah ditangani PT PP, di antaranya Teluk Bayur, Muara Baru, Surabaya, Belawan, dan Bakauheni-Merak. Sekarang pun kami sudah dapat beberapa paket. Yang belakangan adalah jalan, jembatan, dan irigasi. Nah, jalan dan jembatan sebenarnya dari dulu kami sudah ada, tapi porsi kami belum banyak. Sementara, proyek-proyek besar kami saat ini sudah banyak dan bisa dilihat sendiri bahwa kami mendapat apresiasi dari Kementerian PU untuk Tol Bakauheni-Sidomulyo. Adapun yang di Pandaan-Malang diperkirakan akan selesai awal 2019.
Berapa besar komposisi proyek antara pemerintah dan swasta?
Kalau proyek yang pemerintah itu termasuk kategori BUMN. Sementara swasta di tahun yang seperti ini relatif drop, BUMN lebih banyak.
Apakah ke depan PT PP akan lebih banyak garap proyek swasta?
Menurut saya, Indonesia kuenya masih besar karena kita tertinggal begitu jauh dari negara lain. Seperti halnya kereta-kereta di kota-kota besar: Surabaya, Medan, dan Bandung, yang sebenarnya belum memenuhi kebutuhan kereta layaknya LRT, capsule, atau monorel. Sementara Jakarta ini kan juga sudah mulai, masih ada tahap ll LRT serta MRT, dan itu belum jalan.
Bagaimana arah investasi yang akan dilakukan dengan tetap menimbang kesehatan cashflow?
Kami sedang membuat kajian terkait hal itu. Tim pengembangan kami telah mengategorikan proyek-proyek investasi dalam tiga kelompok: (1) proyek yang sudah pipeline atau istilahnya financial closing-nya sudah ada, sudah ada pembiayaannya, (2) green book, melalui tahapan feasibility study (FS), dan (3) proyek yang blue book dalam arti masih FS. Jadi, kami pakai tiga staging tadi. Termasuk perubahan proyek reguler juga kami telah lakukan seperti itu, walaupun yang dimaksud reguler berbeda pipeline-nya dengan di investasi.
Adakah di antara anak perusahaan yang menjadi unggulan?
Sebetulnya begini, kami mempunyai dua anak perusahaan yang sudah berstatus Tbk (terbuka/terdaftar di BEI). Dua itu yang tentu kami dorong terlebih dulu karena mereka punya saham. Artinya, mereka harus siap selalu kerja agar harga sahamnya bisa terus bagus sebab kalau tidak market cap-nya bisa turun. Itu perusahaan terbuka yang harus kami dorong, untuk bisa mendapatkan pasar yang lebih baik, pasar yang lebih luas, dan lebih berkualitas.
Termasuk juga soal adanya pengembangan bisnis PT PP yang baru?
Kami tengah melakukan kajian bisnis urban dan properti. Urban dan properti sebenarnya memiliki model bisnis yang hampir mirip, hanya precast dan segmennya yang membedakan. Satu sisi kami membangun segmen menengah ke atas, tidak mungkin kawasan itu kami bangun 100% segmen menengah ke atas. Ada pasti 30% atau di bawah itu yang diperuntukkan bagi segmen menengah ke bawah.
Di sisi lain, jika kami bikin kawasan yang 70%-nya untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), secara bisnis untungnya kecil dan mungkin berat sehingga perlu ada yang 30% menengah ke atas. Selain itu, tujuannya agar kawasan yang kami bangun dinamikanya hidup sehingga kami lakukan mix tadi.
Kami turut melakukan kajian terhadap sejumlah presisi-presisi dari alat-alat yang dulu sempat dikelola perusahaan. Beberapa alat sudah maju dan berkembang, tetapi ada pula yang sudah mereka tinggalkan. Kajian ini sendiri dibantu oleh teman-teman dari Universitas Indonesia (UI), mudah-mudahan di akhir Agustus sudah keluar hasil.
Selain itu, kami juga sedang mencoba masuk ke luar negeri. Tawaran ke luar negeri memang ada beberapa, seperti di Filipina dan Vietnam, baik untuk EPC maupun properti. Sebenarnya kami sudah masuk ke Timur Tengah dan Malaysia. Waktu menjabat kepala divisi, saya masuk sebagai kepala divisi yang membawahi proyek-proyek luar negeri.
Sekarang skema itu kami ubah, dulu PT PP mencari duit ke luar negeri, lepas sendirinya gitu. Berbeda dengan perusahaan Jepang dan China yang datang ke sini mengamankan duitnya dia. Kami ke sana bukan seperti dua negara itu. Kami mencoba investasi di negara-negara yang sudah settle, salah satunya Vietnam. Berdasarkan hasil analisis kami, Vietnam dan Laos termasuk prospek yang bagus bisa kami masuki.
Apa lagi bisnis-bisnis yang baru?
Sebetulnya bisnis kami ini rentan politik dan ekonomi. Lantas, proyek yang tidak rentan dengan dua hal itu apa? Kami sedang lakukan riset juga terkait proyek yang pembeli (offtaker)-nya ada. Proyek seperti listrik, meski diterpa krisis moneter, kebutuhan listrik akan tetap. Jadi, mungkin kami akan masuk ke sektor itu. Selain itu ada sektor rumah sakit (RS) dan pendidikan. Orang lain mungkin berpikir bahwa proyek di sektor ini tidak terlalu mahal, tetapi kerja sama yang dilakukan berpotensi longterm, minimal bisa break even point (BEP) atau impas saja di atas 10 tahun.
Contoh sederhananya, Labschool, mereka itu terkenal dan kalau kami kerja sama dengan mereka tentu jadi tuh antre sekolahnya. Sektor leisure atau pariwisata pun kami kembangkan. Kami punya yang di Walini, hotel di Mandalika, pariwisata dan terminal eksekutif di Bakauheni. Di Merak ada tujuh dermaga, Bakauheni juga tujuh dermaga, saling pasangan. Nah, salah satu yang di Merak akan kami jadikan pelabuhan eksekutif.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Heriyanto Lingga
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: