Sebagai petahana di bisnis minuman dalam kemasan, Teh Botol Sosro terlena. Ketika Teh Pucuk Harum keluar dengan tagline "Teh Terbaik Ada di Pucuknya" pasar petahana pun tergerus. Apa langkah yang mesti dilakukan dengan terus membanjirnya pemain di bisnis ini?
Semakin banyaknya pemain minuman dalam kemasan, seperti teh botol, tidak dipungkiri mulai menggerus pangsa pasar market leader yang selama ini diperankan oleh Teh Botol Sosro. Mulai tergerusnya dominasi pasar sang pemimpin dapat dilihat dari brand share yang tinggal sekitar 50% dan terus menunjukkan penurunan dalam setiap waktu.
Dalam sebuah survei mengenai merek teh botol saat ini, Sosro dengan brand share yang dimiliki memang masih menjadi top of mind di kalangan masyarakat. Namun merek-merek lain, seperti Teh Pucuk, Nu Green Tea, Teh Gelas, Teh Javana, dan lainnya mulai dikenal oleh masyarakat. Sebagai pendatang dan penantang, teh berbagai merek tersebut menyerang sang petahana dari berbagai sisi, mulai dari harga, kemasan, hingga rasa.
Menurut pakar marketing, Yuswohady, brand Sosr sudah menjadi legenda dan memang masih kuat. Untuk mampu menggoyahkan kekuatan sang leader, pendatang baru harus melakukan siasat strategi yang apik. Itu seperti dilakukan oleh Pucuk Harum yang dikenal lewat iklannya: seekor ulat memanjat dahan teh untuk mendapatkan pucuknya. Dalam iklan tersebut, Teh Pucuk mengklaim bahwa teh paling enak adalah di bagian pucuk.
Secara strategi, kampanye itu untuk membalikkan persepsi masyarakat mengenai teh dan membuat masyarakat mau mencicipinya. Dengan produknya, Teh Pucuk juga memperkenalkan rasa yang berbeda dengan rasa manis yang pas. Dalam rasa inipun, Teh Pucuk mengklaim bahwa teh ini memiliki manis yang tidak menempel di tenggorokan.
"Teh Pucuk secara strategi itu komplit, bikin cerita teh di pucuk itu tidak mungkin kebetulan. Terus bicara bahwa tidak menempel di tenggorokan karena pasti surveinya menemukan bahwa Teh Botol Sosro begitu minum haus terus," beber Yuswo.
Sebagai pemain baru, teh dalam botol yang mulai bermunculan mulai tahun 2010 ini juga fokus pada pasar generasi milenial. Karena itu, penentuan rasa juga mengikuti gaya hidup milenial, yang lebih suka rasa manis rendah. Perilaku milenial sangat mobile sehingga lebih suka minuman yang bisa dibawa ke mana pun. Itulah kenapa lebih cocok menggunakan botol plastik.
Generasi milenial, menurut dia, memiliki sifat brand plasticity yang mudah dipengaruhi dan terpengaruh oleh gaya hidup digital. Perilaku digital yang semakin ekstrem akan terjadi pada generasi berikutnya—Gen Z yang merupakan generasi pertama yang full digital—membuat generasi ini semakin cepat dalam berpikir dan melakukan aksi. Itu yang kemudian secara tidak langsung mempengaruhi pola konsumsi yang ingin cepat sehingga produk harus disesuaikan dengan kebutuhan generasi ini.
Menguasai pasar milenial dan di bawahnya tentu akan menguntungkan perusahaan saat ini dan menjadi harapan di masa depan. Pasalnya, generasi yang lahir setelah tahun 1980—1990-an ini tengah menjadi kelompok yang produktif sehingga memiliki daya beli dan pola konsumsi paling besar.
Sementara itu, Teh Botol Sosro sebagai incumbent justru mengalami dilema market leader. Sosro harus mempertahankan pasarnya yang saat ini ada di generasi baby boomers dan generasi X. Kendati masih besar, namun pasar ini akan semakin mengecil seiring dengan jumlahnya yang semakin sedikit juga daya beli serta pola makan yang semakin berkurang.
Untuk ikut merebut pasar milenial, seharusnya Sosro melakukan kampanye bagaimana supaya brand juga tetap dikenal oleh generasi muda. Namun, yang dilakukan Sosro masih saja mempertahankan tagline lama: "Ahlinya Teh" dan "Apapun makanannya, minumnya Teh Botol Sosro".
Iklan yang mengandung positioning teh enak di pucuknya yang dilakukan Teh Pucuk justru lebih mengena. Ini akan dikenang oleh generasi sekarang hingga beberapa tahun ke depan sebagaimana brand Sosro. Tidak hanya Teh Pucuk, beberapa produk teh dalam botol lain juga melakukan hal yang sama, tapi memang tidak besar-besaran. Pasalnya, ketika Teh Pucuk keluar di tahun pertama, produk yang lain baru bermunculan di tahun-tahun berikutnya.
"Sementara, Sosro terlena dengan belanja iklan sangat rendah karena semua di-maintenance. Ketika tahu Teh Pucuk keluar dengan kampanye besar, Sosro baru kaget pasarnya sudah dimakan," ungkap Yuswo.
Apakah Sosro harus melalukan rebranding? Menurut Yuswo, itu sangat berat untuk dilakukan sebab mengubah rasa mengikuti selera milenial tidak mungkin dilakukan. Masalahnya, ini akan membuat Teh Botol Sosro keluar dari aslinya sehingga bukan Teh Botol Sosro lagi, meski mengurangi rasa manis dan membuat kemasan plastik sudah dilakukan.
Yang memungkinkan sebetulnya dengan menciptakan brand baru di bawah Sosro. Namun, hal itu juga berat karena posisinya akan di bawah Teh Pucuk dan merek lain, padahal saat ini posisi pesaing-pesaing menempel Teh Sosro. Sementara kalau sejajar dengan Teh Botol Sosro, sama saja akan semakin menggerus pasar Teh Botol Sosro itu sendiri.
Yuswo melihat teori digital disruption atau milenial disruption dalam situasi ini, yakni konsumen dibilas oleh produk baru. Milenial disruption itu terjadi ketika koneksi milenial dengan brand lama terputus, brand itu akan ditinggalkan. Lalu, ketika suatu generasi mulai terkoneksi dengan brand baru, kejayaan brand itu akan dimulai. Intinya, disruption itu bergerak dari linier ke eksponensial.
Akhirnya, kejayaan brand baru semakin meningkat seiring dengan perkembangan milenial. Bahkan, bisa lebih cepat ketika brand lama tidak melakukan kampanye, sedangkan brand baru terus melakukannya. Maka prioritas utama yang harus dilakukan brand lama sekarang adalah bagaimana melewati "parit" generasi X ke generasi milenial itu. Inilah tantangan yang paling besar bagi brand tua untuk tetap bertahan hidup.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: