Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Teh Kemasan: Adu Jitu Strategi Merebut Pasar Milenial

Teh Kemasan: Adu Jitu Strategi Merebut Pasar Milenial Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Indonesia diperkirakan bakal memiliki generasi muda milenial yang masuk kategori affluent middle consumer yang besar pada 2020. Inilah pasar bagi produsen RTD tea di Indonesia. Adu jago strategi dalam menarik minat pasar inilah yang menjadi kunci memenangkan persaingan.

"Apapun makanannya, minumnya Teh Botol." Tagline iklan produk minuman teh siap saji atau ready to drink (RTD) produk Teh Botol Sosro yang diproduksi PT Sinar Sosro Indonesia begitu lekat di telinga konsumen baby boomers di era 1980 hingga 2000. Tiga dekade merajai pasar RTD teh membuat Sosro seperti terlena dalam membaca tanda-tanda perubahan zaman dan selera pasar.

Selama kurun waktu itu pula Teh Botol Sosro mengedukasi pasar RTD teh bahwa kalau minuman teh itu rada sepet-sepet manis. Ketika generasi milenial tumbuh, selera pun bergeser. Bahwa minum RTD teh tidak harus sepet, yang penting manis. Pergeseran pasar inilah yang dibaca PT Mayora Indah Tbk. Perusahaan yang didirikan pada 1977 dan masuk bursa 1990, mengendus peluang di pasar non-baby boomers.

Mayora pun melakukan riset pasar. Dari hasil riset inilah perusahaan melihat ada celah di RTD tea yang selama ini dikuasai Teh Botol Sosro. Melihat peluang ini, perusahaan tidak mau gegabah: strategi jitu disiapkan secara matang. Lahirlah produk Teh Pucuk Harum dengan tagline  Teh terbaik ada di pucuknya. Kemasan pun diperkenalkan dalam wujud botol plastik dengan isi 350 mililiter (ml) atau lebih banyak dari Teh Botol yang berisi 250 ml.

Selain itu, dari hasil riset itu pula pihak Mayora mempelajari betul sisi kelemahan Teh Botol, yakni kalau habis diminum bikin haus. Dari sini meluncur tagline tambahan: "Enggak nempel di tenggorokan". Dan senjata pamungkas Teh Pucuk Harum ketika menawarkan harga yang lebih murah berkisar Rp3.000 per botol. Sementara produk sejenis seperti Teh Botol dilepas di kisaran Rp6.000 per botol.

"Ramuan strategi Mayora itu komplit, mulai dari positioning, tagline baru, rasa, pionir dalam hal kemasan botol plastik yang milenial bisa bawa ke mana-mana," ujar Managing Partner, Inventure, Yuswohady.

Ditambah lagi belanja iklan Teh Pucuk terbesar untuk RTD tea di antara produk-produk sejenis merujuk laporan AC Nielsen, yakni Rp381 miliar (2016) atau hampir empat kali lipat anggaran iklan Teh Botol Sosro yang hanya Rp84 miliar. Dengan berbekal strategi yang komplit seperti itu, dalam kurun lima tahun sejak Teh Pucuk Harum diluncurkan pada 2011, sudah mampu menggoyang petahana Teh Botol Sosro.

"Kalau bicara pangsa pasar, sejujurnya memang tidak ada data yang valid terkait hal ini. Pasalnya, data produksi dan penjualan merupakan rahasia perusahaan. Data yang tersedia paling hanya terkait brand index," kata Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim), Triyono.

AC Nielsen merilis hasil survei pasar terkait top brand pada 2017 dengan temuan menarik. Ada lima top brand index tertinggi, yakni Teh Botol Sosro (32%), Teh Pucuk Harum (22,7%), Teh Gelas (12,7%), Teh Kotak (6,8%), dan Frestea (6,3%). Dari gambaran top of mind atas beberapa merek RTD tea tersebut terlihat bahwa Teh Pucuk Harum secara perlahan menggoyang keperkasaan Teh Botol Sosro.

Keberanian Mayora memperkenalkan Teh Pucuk Harum ke pasar menjadi momentum bagi produsen minuman RTD tea lainnya untuk menjajal peruntungan. Ada pergeseran segmen pasar dari baby boomers yang menjadi pangsa pasar Teh Botol Sosro dan kini sudah menjadi pasar yang menua, beralih ke segmen pasar milenial yang masih terbuka lebar. Karakteristik pasar gen milenial ini sensitif terhadap harga, inovasi rasa, dan packaging yang bisa dibawa ke mana-mana seperti botol plastik. Dari sini pula lahir sejumlah produk baru RTD tea di Indonesia.

Data Asrim, sebagaimana dikatakan Triyono, dari 27 anggota yang menjadi produsen RTD tea, seperti Coca Cola (Frestea), Sosro (Teh Botol Sosro), Danone (Caaya), Unilever (Lipton), Mayora (Pucuk Harum), Nu Tea (ABC), Wings (Javana), Ultra Jaya (Teh Kotak), Teh Gelas (Orang Tua), Indofood (Ichi Ocha), Suntory Garuda Beverage (Mytea & Mount Tea), Ichitan Group Ltd (Ichitan).

Dari sejumlah produsen ini lahirlah inovasi beragam rasa teh, seperti teh hijau, lemon tea, apple tea, teh markisa, teh madu, dan lainnya.

Persaingan RTD tea pun menjadi begitu sesak dengan kedatangan sejumlah pemain baru yang berupaya mengecap manisnya pasar RTD tea di Indonesia. Para produsen RTD tea berupaya merebut pasar generasi milenial yang sedang tumbuh menggeser pasar generasi baby boomers yang sudah menua karena memasuki usia uzur. Dari 265 juta penduduk Indonesia, sekitar 50% atau 133 juta jiwa berusia antara 15—25 tahun, 39% atau 103 juta jiwa berusia antara 26—35 tahun, dan 11% atau 29 juta jiwa berusia di atas 35 tahun.

Dari hasil survei AC Nielsen, mereka yang meminum RTD tea umumnya dari kelompok usia 15—35 tahun. Mereka ini masuk dalam kelompok new middle and affluent consumer (MAC) dengan profil profesi mulai dari pelajar sampai pekerja profesional (blue color). Kelompok MAC ini, dengan kemampuan daya belinya, punya kebiasaan untuk belanja beverage (minuman ringan) termasuk teh kemasan.

Data Asrim memperlihatkan bahwa pertumbuhan RTD tea periode 2006—2013 rata-rata di level 13,3%. Sementara data Euromonitor terkait tingkat penjualan atau compund annual growth rate (CAGR) RTD tea di Indonesia periode 2015—2020 berkisar di level 12,5%. Gambaran inilah yang menjadi "gula-gula" bagi para produsen RTD tea di dalam negeri untuk merebut pangsa pasar kelompok milenial yang terus bertumbuh. Berbagai strategi dikerahkan untuk menarik minat pasar.

Menurut Triyono, dari hasil survei Asrim bersama BPOM di sejumlah kampus perguruan tinggi di dalam negeri, faktor harga dan promosi jadi penentu untuk membeli RTD tea. Boleh dibilang pasar generasi milenial "tipis" dalam urusan loyalitas terhadap satu brand, bahkan senang mencoba tawaran produk baru plus dibumbui sensasi tertentu.

Setiap produsen RTD tea memformulasi strategi masing-masing merujuk kekhasan produk yang ditawarkan. Produsen RTD tea Javana yang diproduksi Wings Group memilih memakai strategi guerrila marketing dengan memakai penyanyi generasi milenial seperti Maudy Ayunda sebagai brand ambassador. Dengan strategi ini, pihak Wings bergerilya di level ground activity dan digital activity dengan mengusung tema "Mana Indonesiamu". Teh Pucuk Harum pun tak mau kalah dengan memanfaatkan figur anak-anak muda milenial dengan tema kampanye "Pucuk Cool Jam".

Event ini wadah bagi kreativitas anak muda di bidang seni (musik dan kegiatan seni lainnya). Gerilya on the ground & digital activity seperti ini terus dilakoni oleh produsen RTD tea yang sengaja memperkenalkan brand produk mereka ke anak-anak muda yang merupakan pangsa pasar utama. Strategi marketing yang terus mencoba merangsek ke segmen anak-anak muda sepertinya menjadi kunci dalam brand image dan product knowledge yang bermuara menjadi potential buyer saat ini dan di masa depan.

"Generasi muda itu tidak terlalu brand loyal. Mereka lebih siap mencoba produk baru. Untuk itulah, inovasi menjadi kunci," ujar Triyono yang juga direktur di PT Coca Cola Indonesia yang memproduksi RTD tea merek Frestea.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Heriyanto Lingga
Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: