Laju pertumbuhan minuman teh kemasan (ready to drink/RTD) yang moncer menjadi daya tarik produsen lokal dan joint venture untuk adu peruntungan. Peran penggerak industri kini telah beralih dari semula dipegang oleh pasar baby boomer ke pasar generasi milenial. Pasar itulah yang kini jadi rebutan. Teh Botol sebagai pengusaha sejak lama kini mulai kehilangan pasar.
Besarnya pangsa pasar industri minuman teh dalam kemasan atau ready to drink (RTD) tea kian menarik berbagai pemain baru untuk turut mencicipi manisnya industri ini. Menurut Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim), nilai industri ini paling tidak sudah mencapai Rp50 triliun atau sekitar 2 miliaran liter. Pada periode 2005—2017, penjualan RTD tea (dalam juta liter) mampu mencapai rerata 13% dan selalu tumbuh double digit kecuali pada tahun 2010, 2012, 2016, dan 2017.
Berdasarkan porsinya, industri minuman teh dalam kemasan mengambil sekitar 5,7% dari total industri minuman ringan yang ditaksir mencapai 35 miliar liter per tahun. Disusul minuman susu (dairy) (3,1%), minuman jus (3%), minuman karbonasi (2,5%), serta sisanya minuman isotonic, kopi, dan energi. Di posisi pertama ada air minum (galon dan AMDK) yang mengambil porsi hingga 70%. Artinya, minuman teh dalam kemasan menjadi minuman kemasan terlaris di Indonesia setelah air minum.
Ketua Umum Asrim, Triyono Pridjosoesilo, menyatakan industri RTD tea yang hampir selalu tumbuh double digit ini sejalan dengan pertumbuhan industri minuman ringan. Hal ini menunjukkan bahwa industri minuman teh dalam kemasan menjadi kategori menarik bagi investor. Ketimbang harus bersaing di kategori air minum yang notabene dihuni pemain-pemain mapan dan persaingannya tinggi serta margin tipis, investor akan memilih berinvestasi pada kategori berikutnya.
"Kalau mau bersaing di air minum mereka harus membangun jaringan distribusi dan investasi triliunan. Pasar yang besar ini, dengan 263 juta penduduknya, men-trigger perusahaan masuk dan dia akan memilih di mana kira-kira bisa bersaing. Paling tidak pilihannya ada di teh, kopi, atau susu," kata pria yang juga menjadi Public Affair and Communication Director PT Coca Cola Indonesia ini kepada Redaksi Majalah Warta Ekonomi.
Adapun perlambatan yang terjadi di tahun 2010, 2012, dan 2016 lantaran terdampak krisis ekonomi. Pertumbuhan industri ini memang fluktuatif mengikuti arah pertumbuhan ekonomi. Tidak dipungkiri, dari sisi daya beli masyarakat 40% terbawah tergerus, sementara minuman teh dalam kemasan memang bukan produk utama bagi mereka. Sederhananya, mereka akan beralih mengonsumsi teh hangat atau teh tawar saat produk ini tidak terjangkau harganya.
Namun, terjadi anomali di tahun 2016 dan 2017. Saat pertumbuhan ekonomi melaju di atas 5%, pertumbuhan penjualan minuman teh dalam kemasan justru melambat dan negatif. Ini lantaran ada shifting lifestyle. Masyarakat yang semula gemar mengonsumsi minuman teh dalam kemasan, khususnya masyarakat 40% menengah dan 20% teratas, kini lebih suka jalan-jalan, memenuhi kebutuhan paket data, atau menabung misalnya.
Pemain Baru Silih Berganti
Tahun 2011 lalu, taipan lokal, Anthony Salim, memutuskan untuk meminang perusahaan beverage asal Jepang, Asahi, dan lahirlah produk Ichi Ocha sebagai produk pertama joint venture dengan perusahaan asing (Indofood Asahi Sukses Beverage). Meskipun selang beberapa tahun kemudian, tepatnya akhir tahun 2017 mereka harus "bercerai" karena perbedaan arah kebijakan.
"Meski kerja sama dengan Asahi telah berakhir, kami akan terus mempertahankan produk Ichi Ocha. Kami sadar harus terus melakukan inovasi untuk menjawab kebutuhan dan mengikuti tren gaya hidup konsumen ke depan," kata dia usai RUPS Tahunan 2017 beberapa waktu lalu.
Selain Asahi, ada Ichitan (produsen asal Thailand) yang masuk lewat jalur distribusi Alfamart pada 2015 lalu dengan dua varian rasa, lychee green tea dan honey lemon green tea. Ichitan jeli memanfaatkan era ASEAN Free Trade Zone yang membebaskan BM dan pajak impor. Lalu yang terbaru, grup Danone lewat produk Caaya-nya. Belum lagi pemain lain seperti Teh Pucuk Harum (PT Mayora Indah Tbk), Teh Kotak, Mirai Ocha (PT Suntory Garuda Beverage), Teh Gelas (Orang Tua Group), Futami, Caaya (Danone), dan Kiyora (Ultrajaya) yang telah lebih dulu coba mengusik dominasi pemain utama di industri ini, teh botol sosro (PT Sinar Sosro).
"Kalau dari 27 anggota kami, yang main di teh paling cuma Frestea Coca Cola, Teh Botol Sosro, Caaya Danone, Lipton Unilever, Teh Pucuk Harum Mayora, Nu Tea Abc, paling sekitar 6-7 pemain. Akan tetapi, anggota kami merepresentasikan sekitar 70% produk minuman ringan yang ada di pasar," tambah Triyono.
Jika dibedah, para pelaku industri ini terdiferensiasi dalam dua kategori: teh orisinil (Sinar Sosro dan Mayora) dan the flavor. Kategori yang masih besar adalah teh orisinil lantaran taste-nya lebih friendly bagi masyarakat Indonesia secara umum. Berbeda dengan negara lain, seperti Jepang yang sudah terbiasa dengan begitu banyak rasa-rasa lain. Di Jepang, saking inovatifnya, bisa tercipta 40 varian teh dalam satu tahun. Dari sisi bahan baku, data FAO menyebutkan konsumsi teh di Indonesia dalam 10 tahun terakhir masih didominasi teh hitam (tumbuh 6,1% per tahun), lalu diikuti teh hijau (2,3% per tahun).
Mau tidak mau, para pelaku industri bersaing mengadu strategi untuk memenangkan pasar ini. Paling tidak ada tiga area yang menjadi kancah pertarungan mereka, yakni innovation, efficiency, dan affordability. Dalam hal inovasi, pasar minuman teh dalam kemasan di Indonesia sedang mengarah pada tren changing consumer habit, orang gampang bosan dengan satu rasa. Artinya, para pelaku industri lebih dituntut kesiapannya untuk melakukan inovasi. Perusahaan harus lebih versatile dari sisi organisasinya.
Lalu dari sisi efisiensi, beragam langkah bisa dilakukan guna mengendalikan harga produksi. Misalnya menyiasati ingredient dengan penggunaan less sugar atau penggunaan pemanis buatan daun stevia. Ini bisa menekan biaya produksi hingga 25%—30%. Efisiensi juga bisa dilakukan dengan menyiasati packaging dengan mengurangi gramasi plastik, dari semula 600 ml ke 250 ml atau bahkan kemasan gelas. Tidak kalah penting affordability atau keterjangkaun baik dari sisi distribusi maupun harga.
"Kalau dia masuk memperkenalkan produk, harganya harus bisa bersaing dulu. Kalau harga sudah bersaing itu menjadi langkah awal dia bisa mendapat konsumen. Harga ibaratnya entry point. Harga reasonable dan rasa enak, kuncinya itu saja," kata Triyono.
Managing Partner Inventure, Yuswohady, melihat konstelasi pasar teh dalam kemasan digerakkan oleh dua faktor: strategic dan technical. Faktor strategic adahal hal-hal yang mempengaruhi konstelasi bisnis dalam skala yang besar dan biasanya terjadi dalam jangka panjang, seperti rasa teh itu sendiri dan mindset konsumen terhadap rasa tersebut. Adapun faktor technical biasanya tidak terlalu berpengaruh, seperti packaging, marketing dan promo harga.
"Dilemanya menjadi market leader, seperti PT Sinar Sosro, mereka memiliki kesuksesan di masa lalu atau sebuah legacy yang menjebak di mana DNA Sosro sangat identik dengan generasi baby boomer dan x. Sementara kalau bicara daya beli saat ini, konsumen yang memiliki daya beli adalah generasi milenial," kata dia.
Mau tidak mau, PT Sinar Sosro harus berbuat sesuatu untuk bisa melewati parit milenial. Di industri mana pun saat ini, perusahaan yang berada di posisi market leader akan selalu menghadapi tantangan disrupsi. Tidak hanya disrupsi teknologi, tetapi juga disrupsi milenial itu sendiri, mereka siap membilas konsumen generasi sebelumnya.
"Penyakitnya brand incumbent, apalagi yang sudah terlau besar itu biasanya dia mentok di saat yang sama dia menghadapi perlawanan bertubi-tubi dari pemain pendatang. Cita rasa Sosro itu kan di-define tahun 1970-an, yang memang antara rasa manis dan sepetnya pas kala itu. Harus ada suatu langkah menurut saya, mungkin dengan membuat brand baru dengan positioning di bawah kompetitor sekalian. Kalau berhasil akan menang, tetapi kalau gagal justru hilang semuanya. Dilema memang jika brand diubah karena seolah-olah nyawanya hilang, tetapi kalau tidak diubah konsekuensi market share termakan," tambah Yuswo.
Menanggapi ini, Vice Marketing Director Sinar Sosro, Ronny Jatnika, menyatakan belum ada hal signifikan terkait inovasi produk ke depan yang akan dilakukan perusahaan.
"Belum ada hal signifikan yang bisa kami share," kata dia.
Masih Menjanjikan
Meski dihuni oleh begitu banyak pemain, dari sisi opportunity industri minuman teh dalam kemasan masih besar. Industri ini belum mencapai titik jenuh (red ocean) karena dari sisi besaran kuenya masih banyak yang bisa diperbesar. Jika diperhatikan, gap antara kategori air minum dan minuman teh dalam kemasan sendiri selisihnya masih terlalu jauh. Jika di negara lain gap antara air minum dan kategori selanjutnya agak rapat, minuman ringan di Indonesia benar-benar didominasi (70%) oleh air minum.
Faktor berikutnya, jika melihat data calori eintake (frekuensi konsumsi minuman yang rasanya manis) masyarakat perkotaan di Indonesia, minuman manis di luar susu berkontribusi sebesar 6,5% total kalori di mana 5,1% di antaranya disumbang oleh gula. Jika dibedah lagi, umumnya konsumsi teh kebanyakan masih lebih banyak yang sistem seduh termasuk teh celup (33,4%) sisanya RTD tea (9,3%).
Hal ini cukup menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia masih gemar meminum teh. Konsumsi teh per kapita Indonesia saat ini sekitar 1,007 pounds atau di urutan 22 terbesar dunia, yang dipuncaki oleh Turki sebesar 6,961 pounds.
Lalu jika mengacu proyeksi pengeluaran F&B versi produsen minuman siap saji terbesar di ASEAN, F&N, konsumsi F&B per kapita Indonesia mencapai US$653 atau terbesar kelima setelah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Ini adalah Indikator bahwa ketika perekonomian naik, konsumsi F&B termasuk minuman teh dalam kemasan pasti akan naik. Jadi secara makro kuenya pasti akan membesar sepanjang pemerintah bisa menjaga daya beli masyarakat secara keseluruhan baik yang 40% terbawah, 40% menengah, dan 20% teratas.
"Kalau secara makro, dengan pendukuk 263 juta, saat ekonomi tumbuh dan daya beli harusnya ikut tumbuh. Kemudian dari sisi industri, mau bersiang di kategori air tidak susah. Kategori berikutnya apa? Teh kan. Dan secara teknologi juga tidak susah karena berbeda dengan susu yang lebih ada food safety issue yang sangat tinggi. Teh masih bisa hot filling, asseptyc macam-macam lah, jadi opportunity masih besar. Memang tinggal ujungnya adalah inovasi, memahami konsumen secara benar, itu yang lebih berat," kata Triyono.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI), Adhi S. Lukman, melihat perubahan konsumen yang begitu cepat menjadi peluang tersendiri bagi pemain-pemain baru lainnya. Setelah Teh Pucuk Harum berhasil mengubah konstelasi pasar, pemain lain terus berdatangan berusaha memenuhi dinamika gaya hidup dan kebutuhan konsumen utamanya di pasar-pasar utama, seperti Jawa, Sumatera, dan Bali.
Menilik data Nielsen Indonesia, penjualan teh dalam kemasan (dalam liter) selama Juni-Mei 2017 mencapai 5,97 miliar (Rp12,5 triliun) dengan pangsa pasar utama Jawa sebesar 3,94 miliar (Rp8,55 triliun), sisanya non-jawa 2,04 miliar (Rp3,97 triliun). Adapun pada tahun 2018 meski volumenya susut menjadi 5,72 miliar, namun nilainya justru naik menjadi Rp12,6 triliun dengan pangsa pasar utama masih Jawa sebesar 3,8 miliar (Rp8,66 triliun).
"Memang dari sisi market masih besar, setiap tahun ada penambahan 3 atau 4 juta penduduk di Indonesia. Jadi, secara given permintaan minuman, apalagi teh yang sudah dikenal sebagai minuman tradisional, masih tinggi. Lalu ditambah gaya hidup sekarang, rumah tangga di desa-desa pun ternyata sudah tidak lagi seduh teh. Jadi, sebenarnya barrier to entry pasar ini terbilang kecil," kata Adhi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: