Kewajiban yang dibebankan kepada importir untuk menanam bawang putih tidak realistis untuk mendukung tercapainya swasembada untuk komoditas tersebut. Kewajiban yang tertuang dalam Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) Nomor 38 Tahun 2017 ini membebani importir yang tidak memiliki kapasitas dalam hal tersebut.
Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi mengatakan, tugas pokok importir dan petani jelas berbeda. Dengan mewajibkan hal tersebut, maka hasilnya tidak akan baik. Selain itu, Indonesia kini dihadapkan pada banyak permasalahan terkait swasembada bawang putih. Misalnya, keterbatasan lahan, alih fungsi lahan, serta kontur tanah dan iklim Indonesia.
"Secara on-farm maupun off-farm, Indonesia tidak mampu mengejar swasembada bawang putih. Pemerintah tidak mampu memberikan solusi yang tepat dan rasional untuk program swasembada bawang putih. Tindakan intervensi seperti justru akan membuat harga semakin tinggi dan merugikan konsumen," jelas Hizkia dalam rilis yang diterima redaksi Warta Ekonomi.
Selain itu, pemerintah sebaiknya tidak memberlakukan sistem kuota karena berpotensi menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Restriksi atau pembatasan berlebihan pada mekanisme impor mengakibatkan harga bawang putih menjadi tinggi. Padahal impor sebagai instrumen untuk menstabilkan harga bawang putih yang tinggi di dalam negeri harus bisa berdampak pada harga.
"Peraturan terkait impor bawang putih sebaiknya dievaluasi pemberlakuannya. Selain itu, kewajiban tanam bawang putih yang dibebankan kepada importir semakin menambah cost of production yang pada akhirnya dibebankan lagi kepada konsumen," jelasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rosmayanti
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: