Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Divestasi Freeport, Transaksi yang Kompleks

Divestasi Freeport, Transaksi yang Kompleks Kredit Foto: Freeport Indonesia
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sebelum PT Inalum menandatangani head of agreement (HoA) dengan Freeport McMoran—induk semang PT Freeport Indonesia pada Kamis, 12 Juli 2018, jawaban Budi Gunadi Sadikin (BGS) setiap kali ditanya bagaimana perkembangan proses tersebut selalu diplomatis, "Mohon doanya ya."

Kini, dengan sudah ditandatanganinya HoA tadi, barulah ia berani bicara terbuka terkait rangkaian panjang negosiasi proses transaksi divestasi tersebut. Bos Inalum ini terkesan ekstra hati-hati dalam memberi penjelasan proses transaksi yang menurut mantan Presdir Bank Mandiri ini sebagai proses yang rumit dan jelimet.

Alumni teknik sipil Institut Teknologi Bandung (ITB) 1980 dan ilmu ekonomi Washington University ini sudah menjelaskan proses transaksi tersebut ke sejumlah instansi pemerintah yang patut mengetahui, toh menurut dia banyak yang kurang memahaminya. Ia menyadari proses yang jelimet tersebut akan kurang dipahami sepenuhnya oleh publik.

"Bagi saya, yang penting Freeport bisa kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi," ujar Budi Gunadi Sadikin mengutip harapan Presiden Jokowi terkait proses divestasi ini. Ia menyadari penandatanganan HoA di tahun politik akan dikesankan sebagai "jualan politik" kubu Jokowi. Makanya, serangan bertubi-tubi pun mengalir sejak HoA diteken. Serangan itu mempertanyakan bahwa HoA itu mengikat (binding) atau tidak. Kalau tidak mengikat, ini hanya jualan pepesan kosong yang pada akhirnya Freeport masih akan berkuasa.

Yang lainnya mempertanyakan, kenapa membeli participating interest PT Rio Tinto Indonesia bukan saham Freeport. Muncul lagi tudingan buat apa juga repot-repot ada HoA, toh pada 2022 nanti 51% saham mesti diserahkan ke Pemerintah Indonesia cq Inalum. Untuk menjawab itu semua dan bagaimana profil Inalum ke depan seandainya Freeport sudah di tangan, Budi Gunadi Sadikin menjelaskannya dalam berbagai kesempatan kepada Tim Majalah Warta Ekonomi dan sejumlah media massa. Berikut petikannya:

Bisa dijelaskan kembali bagaimana jalannya proses divestasi saham PT Freeport Indonesia?

Untuk sampai deal head of agreement memang tidak gampang, transaksinya rumit. Kalau gampang, 50 tahun lalu mungkin sudah terjadi. Ini salah satu transaksi tersulit yang pernah saya tangani selama pernah berkarir 25 tahun sebagai bankir. Kenapa? Proses transaksinya melibatkan pihak ketiga, yakni Rio Tinto. Dalam proses transaksinya, ada keterkaitan dengan transaksi saham dan transaksi participating interest hak Rio Tinto sebesar 40% dari produksi tambang Freeport.

Dari transaksi antara Freeport dengan Rio Tinto ini, persoalannya adalah bagaimana transaksi ini dikonversi menjadi saham. Selain itu, transaksi ini pun memiliki dua periode waktu. Periode 2018—2022, lalu periode 2022—2041, jadi kompleksitasnya banyak. Pencapaian dari setiap proses negosiasi hingga dicapainya HoA merupakan milestone. Tambang Grassberg-Freeport merupakan yang terbesar kedua di dunia setelah Eskom di Chile. Kita berharap Grassberg bisa kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Apakah head of agreement ini mengikat atau tidak?

Head of agreement ini binding nggak? Apakah ini sudah final? Jawabannya belum. Semua juga tahu itu belum final. Masih banyak yang perlu ditulis (maksudnya ditindaklanjuti dengan perjanjian selanjutnya). Itu baru dari sisi bisnis dan isu ini adalah nomor empat dari semua isu Freeport terkait divestasi saham.

Bisa dijelaskan letak kompleksitas dari head of agreement?

Freeport merupakan salah satu tambang emas terbesar di dunia. Pada 1967, Freeport menemukan tambang Esberg. Lalu, perusahaan menandatangani kontrak karya pertama selama tiga puluh tahun (1967—1997). Pada 1988, perusahaan menemukan lagi sebuah tambang baru yang namanya Grasberg, cadangannya lebih besar dari Esberg.

Sebelum kontrak karya pertama habis, Freeport mengajukan kontrak karya kedua untuk kurun waktu dua puluh tahun (1991—2021) guna menambang di Grasberg. kontrak karya kedua ini mendapat persetujuan Menteri Energi ketika itu, Ginandjar Kartasasmita, pada 30 Desember 1991. Karena deposit Grasberg itu sangat besar, untuk memproduksinya butuh infrastruktur yang besar pula. Nah, uang milik Freeport ketika itu belum mencukupi. Sekitar 1996, Freeport McMoran—induk semang PT Freeport Indonesia menandatangani participating agreement dengan Rio Tinto Plc.

Dari kesepakatan ijon tambang Grassberg, pihak Rio Tinto mendapatkan jatah 40% dari produksi tambang Grassberg. Dalam perjanjian ijon, bagi hasil ini berlaku perjanjian yang complicated yang namanya metoship yang dibagi 40%:60% sampai 2022. Sesudah 2022, baru dibagi jadi saham 40% Rio Tinto dan 60% Freeport. Di sini Freeport melakukan ijon atas tambang Grasberg.

Perjanjian Freeport McMoran dan Rio Tinto Plc ini lalu diubah menjadi kerja sama lokal antara PT Freeport Indonesia dan PT Rio Tinto Indonesia. Isi kesepakatan sama dengan yang diteken induk semang mereka. Kesepakatan kedua perusahaan itu disetujui pula oleh sejumlah menteri pemerintahan Orde Baru (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan Menteri Keuangan).

Dengan adanya perjanjian participating interest tersebut, langkah yang Anda tempuh?

Dengan latar belakang seperti di atas, diperlukan untuk menjelaskan struktur transaksi dari head of agreement itu seperti apa. Komposisi pemegang saham PT Freeport Indonesia saat ini (90,36%) PT FI dan Inalum (9,64%). Komposisi saham seperti itu kalau dilihat secara equity interest.

Tapi, dengan adanya participating interest, Rio Tinto secara economic interest berhak atas 40% produksi PT FI. Sisanya yang 60%, dibagi antara Inalum (9,64% x 60% produksi) dan PT FI (90,36% x 60% produksi). Seandainya, kita gali emas dapat 100 kg maka 40% itu hak Rio Tinto dan 60% sisanya dibagi antara Inalum dan PT FI sesuai kepemilikan saham.

Dalam perjanjian Freeport dan Rio Tinto diatur lagi yang namanya kondisi produksi di atas level yang sudah disepakati bersama (metal strip) yang berlaku sampai 2022. Baru pada 2023, Rio Tinto akan mendapatkan hak dan kewajibannya secara penuh sebesar 40% dari produksi dan biaya operasi—tanpa terikat dengan perhitungan metal strip—hingga 2041.

(Di awal 2017, pihak Rio Tinto Plc mengumumkan akan keluar dari PT FI, dan sudah menawarkan kepada pihak ketiga. Apabila ini terjadi maka akan semakin sulit bagi Inalum untuk menyatukan komposisi saham kepemilikan di PT FI. Letak kejelimetan bagi hasil merujuk metal strip ini ada pengaturan antara pihak Freeport dan Rio Tinto. Bahwa sampai 2022, kalau produksi di atas level metal strip yang disepakati bersama dibagi untuk Freeport 60% dan Rio Tinto 40%. Kalau di bawah metal strip maka 100% itu hak Freeport. Di sinilah letak jelimetnya kesepakatan participating agreement).

Dengan kondisi seperti itu, Inalum akan memborong hak participating interest Rio Tinto terlebih dahulu?

Tadi sudah dijelaskan bahwa secara equity interest, Inalum punya 9,64% saham dan Freeport 90,36%. Namun, secara economic interest—secara riil nilai ekonomi yang didapat dari tambang Grassberg—sebenarnya Inalum hanya mendapatkan 9,64%x60% setara 5,62% dari produksi tambang. Sementara, Freeport memperoleh 54,38% dan Rio Tinto sebesar 40%.

Jadi secara de jure nanti Inalum dapat 51% saham Freeport, tapi secara de facto—secara economic interest—Inalum hanya mendapatkan 31% saja. Freeport kebagian 29% dan Rio Tinto 40%. Inalum tidak mau kalau secara economic interest dapatnya hanya 31%, kita mau utuh 51%. Untuk itulah kita mesti mengambil hak participating interest Rio Tinto.

Tapi kalau Inalum mengambil alih hak participating interest Rio Tinto, itu kan hanya hak bagi hasil, bukan kepemilikan saham?

Iya, benar. Langkah awal agar Inalum bisa menguasai 51% saham Freeport—baik secara de jure (equity interest) dan de facto (economic interest)—maka hak participating interest Rio Tinto mesti diambil alih.

Pascanantinya Inalum mengambil alih hak participating interest, proses transaksinya seperti apa?

Proses transaksinya ada tiga tahapan. Pertama, Inalum akan membeli 100% saham PT Rio Tinto Indonesia dari Rio Tinto Plc yang berkedudukan di London secara tunai. Dengan pengambilalihan ini, Inalum berhak atas 40% produksi tambang Grasberg. Tapi, secara de jure atau equity interest, Inalum masih pemegang saham minoritas yakni 9,64%.

Setelah hak atas participating interest Rio Tinto dikuasai Inalum, Inalum akan datang ke Freeport Indonesia untuk ditukar menjadi saham senilai 40%. Nanti pihak Freeport akan melakukan right issue saham baru sebesar 40% yang akan ditukar dengan 100% saham Inalum di PT Rio Tinto Indonesia. Ini ada perjanjian antara Freeport dan Rio Tinto, tapi setelah 2022.

Dengan demikian, Inalum mendapat tambahan saham sebesar 40% dari hasil menukar hak participating interest Rio Tinto sehingga total saham yang dimiliki Inalum menjadi 49,64%. Tapi dengan Freeport melakukan right issue maka ada dilusi atas kepemilikan saham baik Inalum maupun Freeport. Dari semula Inalum punya 9,64% terdilusi menjadi 5,62%. Dengan demikian kepemilikan saham Inalum di Freeport sebesar 45,62%. Ini kepemilikan saham yang secara economic interest.

Setelah kita menguasai 45,62%, bukankah masih ada kekurangan kepemilikan saham untuk mencapai 51% selaku majority share holder di Freeport?

Nah, setelah itu Inalum akan membeli saham lagi milik PT Indocopper Investama yang punya 9,36% (secara equity interest) atau ekuivalen 5,62%. Belinya ke siapa saham tersebut? Ke Freeport McMoran secara tunai. Jadi, sehabis semua pokok-pokok transaksi tersebut disepakati yang tertuang dalam head of agreement.

Langkah selanjutnya Inalum akan membuat perjanjian sales and purchase agreement antara Inalum dengan Rio Tinto terkait pembelian hak participating interest. Transaksi ini akan dilakukan secara tunai. Setelah itu, Inalum akan membuat sales and purchasing agreement dengan Freeport McMoran untuk pembelian 100% saham PT Indocopper Investama secara tunai. Lalu, Inalum juga akan membuat perjanjian dengan Freeport terkait menukarkan 40% hak participating interest menjadi 40% saham baru. Ini share swap agreement 1:1.

Bukankah penukaran hak participating interest Rio Tinto menjadi saham baru berlaku pasca-2022?

Di sinilah muncul satu lagi kompleksitas transaksi. Banyak pandangan kenapa tidak nanti saja penukaran hak participating interest itu menjadi saham. Kalau sampai pertukaran saham itu dilakukan pasca-2022, berpotensi akan berubah lagi kesepakatannya. Makanya, Inalum mendesak agar hal ini dilakukan sekarang. Tentu ada reaksi dari pihak Freeport, salah satunya terkait harga jual.

Jadi perhitungannya bagaimana?

Inalum hanya menghitung hasil tambang dan cash flow yang bisa diproduksi sampai akhir masa kontrak (2022). Produksi tidak sama dengan cadangan. Dalam valuasi harga ini, kami tidak memperhitungkan cadangan dengan potensi emas yang sangat besar di Blok Kucing Liar—yang menjadi bagian dari Blok A konsesi PT Freeport Indonesia. Sekali lagi, Inalum tidak menghitung cadangan dalam melakukan valuasi harga.

Ada pandangan, kok kesannya Inalum membeli apa yang menjadi haknya sendiri atau membeli "tanah air" sendiri sih?

Inalum membeli saham perusahaan PT Freeport Indonesia, bukan cadangan yang dimiliki Freeport yang mana perusahaan tersebut sudah mendapatkan izin komersial untuk menambang di Grasberg sejak 50 tahun silam. Yang perlu diperjelas, transaksi antara Inalum dan Freeport murni kesepakatan komersial (business to business) sehingga penyelesaiannya pun dilakukan secara komersial juga.

Inalum mesti mengeluarkan dana US$3,85 miliar untuk membeli hak participating interest dan saham Indocopper. Apakah nilai tersebut wajar?

Total cadangan terbukti Grasberg itu senilai US$150 miliar. Dalam kondisi normal pendapatan Freeport Indonesia sebelum pajak (EBITDA) secara tahunan sebesar US$4 miliar. Sementara, laba setelah pajak Freeport senilai US$2 miliar. Inalum mengeluarkan US$3,85 miliar untuk membeli 45,6% saham PT FI#2—ekuivalen harga 100% saham PT Freeport Indonesia senilai US$8,44 miliar. Sebagai pembanding, tawaran pihak Freeport sebesar US$1,6 miliar untuk 10% saham PTFI#1.

Tapi, kenapa valuasi itu sampai 2041?

Valuasi ini diperhitungkan sesuai dengan framework agreement yang telah disepakati antara Freeport dengan Pemerintah Indonesia pada Agustus 2017. Pada framework agreement ini tertera perpanjangan operasi maksimal 2x10 tahun hingga 2041 dengan syarat apabila divestasi 51% saham Freeport sudah dilakukan.

Bisa diceritakan nanti uangnya dari mana?

Kalau untuk membiayai pembelian participating interest Rio Tinto dan saham PT Indocopper Investama, uangnya bersumber dari pembiayaan bank. Banyak bank dalam dan luar negeri yang berminat memberi kredit ke Inalum. Sebagai mantan bankir saya tahu persis hitung-hitunganya.

Best practice perbankan internasional dalam menghitung besaran kredit rumusnya 20 x EBITDA. Nilai EBITDA PT Freeport Indonesia US$4 miliar pada 2018. Dengan demikian besaran kredit yang bisa dikucurkan sebesar US$80 miliar. Namun, kalau bank dalam negeri hanya berani memberi 3 x EBITDA atau senilai US$12 miliar.

Sedangkan Inalum hanya butuh US$3,85 miliar untuk proses divestasi saham Freeport ini. Jadi, angkanya bisa ditutup baik oleh bank dalam negeri atau bank luar negeri.

Untuk membangun smelter juga sumber pembiayaan dari capex perusahaan nantinya?

Iya, bisa dari internal perusahaan. EBITDA Freeport US$4 miliar atau setara Rp56 triliun pada 2018. Perkiraan pada 2019 tinggal Rp1,2 miliar–Rp1,7 miliar, setelah itu akan kembali normal di level US$4 miliar. Untuk membangun pabrik smelter membutuhkan sedikitnya US$2 miliar, jadi bisa ditutup dari dana perusahaan sendiri tanpa perlu pinjaman atau tambahan belanja modal atau capital expenditure (capex).

Yang paling menantang setelah HoA atau seandainya Freeport sudah secara mayoritas di tangan Inalum?

Harapan Pak Presiden Jokowi agar operasi tambang Freeport bisa berjalan dengan kualitas yang sama seperti sebelumnya. Idealnya malah kalau bisa lebih baik lagi.

Harapan lainnya dari Pak Presiden?

Presiden Jokowi juga memberi arahan agar BUMN Tambang melakukan hilirisasi janganlah sumber daya alam Indonesia diekspor atau dijual dalam bentuk "tanah air" (maksudnya, raw material) seperti sekarang. Karena kalau bisa melakukan hilirisasi maka nilai tambah yang bisa diciptakan bisa antara empat hingga tujuh kali lipat. Dengan begitu kontribusi terhadap GDP juga tinggi. Selain itu bisa menciptakan lapangan kerja, mengurangi impor, meningkatkan ekspor guna mengurangi tekanan current account defisit, nilai tukar rupiah realtif stabil. Jadi ada banyak dampak-dampak positif yang bisa terjadi dari hilirasasi ini.

Kalau memang hilirisasi ini menjadi pilihan strategis, apa challenge dari hilirisasi ini?

Sesungguhnya, hilirasi itu berat. Setidaknya ada tiga tantangan besar, yakni butuh modal besar, marginnya relatif lebih kecil, dan hilirisasi butuh energi yang lebih murah. Jadi, kita butuh juga strategi energi yang baik. Itu tantangan terbesar nantinya karena itu multi billion dolar investment dan teknologi juga tidak banyak yang punya jadi kita mesti memilih. Misalnya, speaker-speaker kecil dengan suara yang superdahsyat yang mengambil bahan baku dari tanah jarang yang diproduksi oleh PT Timah. Harga bahan baku ini—tanah jarang—menjadi mahal. Untuk itu, kami terus mencari teknologi hilirisasi yang tepat dan efisien.

Kalau target Inalum masuk Fortune 500?

Begini, tidak mudah memang masuk dalam daftar Fortune 500. Dari Indonesia baru Pertamina yang bisa masuk daftar tersebut. Pasalnya, syarat untuk masuk ke daftar itu mesti mempunyai setidaknya revenue (EBITDA) sebesar US$21 miliar.

Saat ini EBITDA Inalum masih US$1,5 miliar pada 2018, apabila ditambah dengan bagian dari Freeport nantinya bisa menjadi US$3,5 miliar. Makanya, kami terus berupaya mencari cara agar EBITDA bisa meningkat.

Itu pula mengapa langkah downstreaming (hilirisasi) menjadi urgent. Ambil contoh seperti PT Bukit Asam, kalau perusahaan hanya menjual batubara lima ton sebagai batu, EBITDA perusahaan rata-rata Rp1 triliun. Tapi kalau diolah jadi listrik maka EBITDA menjadi Rp2 triliun. Begitu juga ketika PT Aneka Tambang jual bauksit, misalnya saja EBITDA Rp1 triliun, bisa bertambah jadi Rp4 triliun apabila mengolah (downstream) menjadi alumina lalu almunium. Strategi membangun hilirisasi akan ikut mendongkrak EBITDA perusahaan.

Kalau akuisisi?

Itu juga ikut mendongkrak EBITDA. Misalnya, seperti langkah akuisisi Freeport. Dengan langkah akuisisi tersebut, EBITDA Inalum bertambah Rp2 triliun dari semula Rp1,5 triliun menjadi Rp3,5 triliun. Jadi, untuk mengejar target masuk dalam daftar Fortune 500, salah satu cara yakni memakai strategi hilirisasi dan akuisisi meski membutuhkan capital expenditure (capex) yang besar. Nilai tambah dari hilirisasi juga besar sekali.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Heriyanto Lingga
Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: