Pengusaha lebih suka mencari data sendiri ketimbang mengikuti gonjang-ganjing perdebatan validasi data. Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Petani Centre Entang Sastraatmaja mengenai ketidakpercayaan dari sejumlah pengusaha terhadap data resmi pemerintah yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS).
"Data BPS itu lagu lama ya kalau menurut saya. Sejak beberapa tahun lalu, orang sudah meragukan data yang disampaikan BPS. Misalnya teman-teman pengusaha ya, mereka lebih senang nyari data sendiri daripada menggunakan data yang disampaikan BPS," kata Entang.
Menurut Entang, para pengusaha sudah bosan dengan perbedaan data BPS dan lembaga lain yang tak pernah singkron. Lembaga data yang diakui negara ini bahkan dianggap angin lalu karena sikapnya yang sering berubah-ubah.
"Nah sekarang, menurut saya, sejauh mana lembaga data yang satu-satunya diakui di negara kita ini melakukan semacam pencarian data yang betul-betul baik dan benar," ucapnya.
Keraguan pengusaha, salah satunya dengan melihat survei data di lapangan. Kata Entang, selama ini BPS tidak memiliki aparat sampai ke tingkat desa.
"BPS hanya sampai mantik-mantik di tiap kecamatan. Nah, dari mana BPS dapat data, pasti kan dari orang-orang pertanian atau penyuluh. Jadi, menurut saya, kalau mau revolusi data yang revolusioner lah. Intinya BPS harus punya aparat sampai ke tingkat desa," jelasnya.
Menurut Entang, pemuktahiran data harus kembali dulu ke titik nol. Setelah itu, melakukan pembahasan bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Badan Informasi Geospasial (BIG), dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), serta Kementerian Pertanian.
"Pemuktahiran data itu harus maju ke depan, jangan mundur ke belakang. Nah ke depan yang harus kita set up dengan baik berdasarkan data yang diterapkan BPS, adalah kerja sama dengan ATR, dengan BIG, dengan BPPT. Dan kita anggap itu sebagai titik nol untuk melangkah ke depan," tambahnya.
Polemik data BPS kembali mencuat, setelah Kementerian ATR/BPN merilis prediksi persentase pengurangan lahan sawah dengan berpijak pada data luas lahan sawah BPS yang menggunakan pendekatan baru, Kerangka Sampel Area (KSA). Pengamat kemudian mengaitkan keterangan ini dengan penggunaan anggaran Kementerian Pertanian dengan masih menggunakan data BPS yang lama.
Mengenai data lama BPS yang digunakan Kementan sebelum terbitnya data baru BPS, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Prof Luthfi Fatah mengingatkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) telah mengatakan bahwa data pangan Indonesia keliru sejak 20 tahun lalu.
Kalla menyampaikan hal ini usai Rapat Koordinasi Terbatas mengenai penyempurnaan data pangan dengan pendekatan baru KSA. JK mengakui kekeliruan ini jadi polemik panjang karena ia tidak segera mengevaluasi data tersebut saat menjabat sebagai wapres di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Tudingan kesalahan mengenai data pangan yang dialamatkan pada Kementan era Pemerintahan Jokowi tidak beralasan dan kurang berdasar karena Kementan di bawah kepemimpinan Amran Sulaiman baru berjalan sejak 2014 lalu," ujar Luthfi.
Ia mengimbau semua pihak memahami tugas fungsi masing-masing lembaga dan kementerian sebelum melontarkan pendapat.
"Kementan itu tupoksinya adalah memproduksi pangan dan harus fokus memenuhi produksi. Kementan tidak punya tanggung jawab secara yuridis dan de facto untuk menyusun data pertanian," ujarnya lagi.
Menepis keraguan berbagai kalangan mengenai penggunaan anggaran, Sekretaris Jenderal (Sekjend) Kementan Syukur Irwantoro mengutip hasil laporan penggunaan anggaran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Kementan yang memberikan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) selama dua tahun berturut-turut.
"Dua tahun, yaitu 2016 dan 2017 Kementan mendapatkan predikat WTP dari BPK. Ini artinya BPK menyatakan penggunaan anggaran Kementan," kata Syukur.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman juga menyampaikan, sejak tiga tahun lalu telah menjalin komunikasi dengan KPK.
"Kementan dan KPK sudah bekerja sama untuk mengawasi kinerja pertanian sejak 2015. Kami ingin semua terbebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme," ujar Amran pasti.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Rosmayanti