Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) berujar, menjadi unicorn atau pun melakukan Initial Public Offering (IPO) bukanlah satu-satunya tujuan dari sebuah marketplace. Oleh karena itu, asosiasi tersebut ingin mengedukasi para pelaku e-commerce Indonesia mengenai hal tersebut.
Ketua idEA Ignasius Untung mengatakan, edukasi tersebut diperlukan agar pelaku e-commerce yang belum mencapai kedua hal tersebut tidak merasa gagal. Sebab, menjadi unicorn dan melakukan IPO bukanlah satu-satunya tolak ukur kesuksesan bisnis mereka.
"Sebenarnya, untuk kami, pelaku e-commerce perlu diedukasi, unicorn dan IPO bukan satu-satunya tujuan. Mengapa? Supaya e-commerce yang belum bisa IPO dan belum menjadi unicorn juga merasa masih ada jalan lain, jadi kalau belum berhasil ke jalan itu bukan berarti mereka gagal," papar Untung, Senin (14/1/2019).
Kemudian, Untung memberikan contoh perusahaan offline yang sukses, meskipun tidak pernah melakukan IPO sebagai gambaran dari maksud perkataannya.
"Ambil contoh dari perusahaan offline, Djarum yang tidak pernah IPO berhasil membuat pendirinya jadi salah satu orang terkaya di Indonesia, yang lakukan IPO malah tidak begitu," ungkapnya.
Unicorn: Bukti Pertumbuhan Industri
Mengenai Kemenkominfo yang menggalakkan startup-startup untuk dapat menjadi unicorn, bahkan decacorn, Untung menilai itu sebagai bukti pertumbuhan industri, termasuk e-commerce. Ia tak mempermasalahkan hal itu, asal jangan menganggap hanya para unicorn sebagai pemain bagus di industri startup.
Untung menuturkan, "Kalau bicara unicorn, Indonesia punya empat, dua dari e-commerce. Lalu, sekarang unicorn akan bertambah satu, itu berarti ada pemain lain yang bertumbuh signifikan. Decacorn juga lebih ke arah naik levelnya para unicorn. Sah-sah saja, tapi jangan dijadikan stereotip, yang bagus cuma mereka, yang lain tidak bagus. Jangan sampai seperti itu."
Ketika ditanya, bila pertumbuhan tersebut dialami pemain tertentu saja, Untung menjawab, jangan menganggap hal itu buruk. Menurutnya, untuk menjadi unicorn itu tidak mudah, terutama bagi e-commerce atau pun startup yang bisnisnya vertikal.
"Apa pun industrinya, kalau kita bicara consumer base-nya mainstream, ya cuma itu-itu saja. Marketplace ini sekarang ada 12 yang besar. Sebesar-besarnya Indonesia sebetulnya tidak butuh sampai 12, akan ada yang gugur. Kalau tidak gugur dan 12 marketplace itu menjadi unicorn semua, ya tidak mungkin juga. Kalau ini dianggap perlombaan, tidak mungkin semuanya menang, pasti ada yang nomor 2, nomor 3," papar Untung.
Unicorn dan decacorn memang berkaitan erat dengan consumer base perusahaan rintisan. Bila consumer base-nya tidak besar, sulit untuk sebuah startup mendapatkan valuasi yang tinggi.
Untung menambahkan, "Jadi, industri yang terlalu spesifik, relatif lebih sulit untuk jadi unicorn. Seperti yang saya bilang tadi, harus diedukasi, unicorn bukan segalanya. Karena kalau unicorn itu segalanya, kasihan yang bisnisnya vertikal. Misal, makeup, kan tidak semua orang pakai makeup, itu artinya kan bisnisnya sudah spesifik."
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Tanayastri Dini Isna
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: