Berbagai macam sentimen negatif terus menghantam PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk beberapa waktu belakangan ini. Mulai dari isu harga tiket pesawat mahal, dugaan kartel di industri penerbangan, laporan keuangan janggal, hingga yang terbaru adalah ancaman mogok kerja dari karyawan.
Alhasil, sejak awal Maret harga saham Garuda Indonesia terus mengalami penurunan. Memang emiten dengan kode GIAA ini sempat mencatatkan nilai saham tinggi sebesar 630 per saham pada 5 Maret 2019. Namun, sejak saat itu nilai saham perseroan terus turun hingga mencapai angka 466.
Pada Selasa (30/04/2019) saham Garuda merosot ke zona merah setelah terkoreksi 0,85% ke level Rp466 per saham. Melihat dari kinerja pergerakan saham Garuda secara bulanan, mayoritas saham Garuda berakhir di zona merah. Jika diakumulasikan, dalam sebulan terakhir saham Garuda terkoreksi 2,50%.
Baca Juga: Lapkeu Jadi Polemik, Begini Hasil Pertemuan Garuda dan BEI
Salah seorang investor, Bayu, menyebut pasar bisa menghukum Garuda Indonesia hingga harga saham jatuh ke titik terendah. Salah satu sentimen yang berpengaruh adalah dugaan manipulasi laporan keuangan Tahun Buku 2018 yang dilakukan oleh maskapai pelat merah tersebut.
"Harusnya pasar menghukum GIAA agar jadi saham gocap," katanya sebagaimana dikutip oleh Warta Ekonomi di Jakarta, Selasa (30/4/2019).
Sebagaimana diketahui, dua komisaris Garuda Indonesia yakni Chairal Tanjung dan Dony Oskaria menilai ada dugaan manipulasi laporan keuangan perusahaan 2018. Mereka tak setuju dengan pencatatan laporan keuangan perusahaan pada 2018 karena salah satu transaksi sudah diakui sebagai pendapatan.
Keberatan mereka sampaikan terkait kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan. Kerja sama itu dilakukan antara PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia terkait penyediaan koneksi wifi.
Dari situ, perusahaan akan mendapatkan pembayaran dari Mahata Aero Teknologi sebesar US$239.940.000. Pembayaran tersebut, US$28.000.000 di antaranya merupakan bagi hasil Garuda Indonesia dengan PT Sriwijaya Air. Namun, hingga akhir 2018 belum ada pembayaran yang masuk dari Mahata Aero Teknologi. Walau begitu, Garuda Indonesia sudah mengakuinya sebagai pendapatan tahun lalu.
Meski demikian, Akuntan Profesional RNA 99, Deny Poerhadiyanto, menilai tidak ada yang salah dengan laporan keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dalam Tahun Buku 2018. Deny menilai dua komisaris Garuda Indonesia kurang memiliki pemahaman karena laporan keuangan hanya ditinjau dari satu PSAK saja.
"Semestinya komisaris fokus pada pendapatan dan beban operasional. Mereka jangan menyalahkan laporan keuangan karena laporan keuangannya sudah benar," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: