Industri baja nasional optimis dapat memenuhi kebutuhan baja dalam negeri dengan meningkatkan kapasitas produksinya sebagai upaya untuk memperkuat daya saing industri baja nasional dan meminimalisasi importasi yang terus membanjiri pasar dalam negeri.
Berdasarkan data yang dikutip The South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI) tahun lalu, jumlah importasi baja di Indonesia mencapai 7,6 juta ton dan di semester I 2019 masih terus mengalami peningkatan. Bahkan, besi dan baja tercatat sebagai komoditas impor terbesar ke-3, yaitu sebesar 6,45% dari total importasi dengan nilai US$10,25 miliar (Badan Pusat Statistik, 2018).
Chairman Asosiasi Besi dan Baja Nasional (The Indonesian Iron and Steel Industry Association/IISIA), Silmy Karim mengungkapkan apresiasi yang tinggi terhadap dukungan pemerintah selama ini pada industri baja nasional.
"Apresiasi tinggi kami sampaikan pada pemerintah yang telah memberikan dukungan dalam mendorong peningkatan daya saing melalui investasi pengembangan fasilitas produksi baja serta mendukung upaya kami menanggulangi membanjirnya baja impor ke pasar dalam negeri, khususnya praktik unfair trade (dumping) melalui penerapan bea masuk anti-dumping (BMAD) dan bea masuk tindakan pengamanan perdagangan (safeguard)," ungkap Silmy dalam keterangannya, Rabu (25/6/2019).
Berkenaan dengan praktik dumping, produsen HR plate nasional tengah melakukan upaya perpanjangan (sunset review) atas pengenaan BMAD HR plate dari China, Singapura, dan Ukraina.
Baca Juga: BSN Telah Menetapkan 11.815 SNI, 36 di Antaranya Baja
Berdasarkan laporan akhir hasil penyelidikan Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI), ketiga negara tersebut terbukti masih melakukan praktik dumping dalam importasi produk HR plate. Karenanya, KADI merekomendasikan perpanjangan atas kasus ini selama lima tahun dengan nilai BMAD atas China sebesar 10,47%, Ukraina 12,33%, dan Singapura 12,50%.
Proses perpanjangan atas pengenaan BMAD tersebut saat ini masih dalam tahap menunggu penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Produsen HR plate Nasional berharap peraturan tersebut segera ditetapkan tanpa pengecualian, termasuk pengenaan BMAD atas plate baja impor yang masuk ke kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas Batam. Kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas Batam menjadi salah satu celah masuknya baja impor, khususnya produk HR plate.
Silmy menyampaikan, plate baja impor yang masuk ke Batam tidak dikenakan BMAD sebagaimana diatur dalam PMK nomor 50/PMK.010/2016 tentang Pengenaan BMAD terhadap Impor Produk Hot Rolled Plate (HRP) dari China, Singapura, dan Ukraina.
Baca Juga: Malaysia Bebaskan Produk Baja RI dari Bea Masuk Anti-Dumping, Siap Ekspor?
Hal tersebut tidak sejalan dengan Explanatory Notes WTO Agreement yang menyatakan bahwa BMAD berlaku di suatu negara termasuk di kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas.
Lebih lanjut menurut Silmy, berdasarkan hukum perdagangan internasional, suatu negara tidak diperkenankan melakukan perlakuan khusus terhadap pengenaan trade remedies, namun harus mengedepankan equal treatment terhadap wilayah lainnya, termasuk Indonesia.
"Batam merupakan wilayah yang termasuk dalam Indonesia dan saat ini ada perlakuan khusus terhadap Batam (tidak dikenakannya BMAD) dan menjadi celah masuknya hasil produksi Batam, seperti halnya kapal, pipa, dan fabricator product ke wilayah Indonesia lain dengan harga murah," papar Silmy.
"Itu mengakibatkan industri galangan kapal di luar Batam dan industri hilir lainnya tidak dapat bersaing dan terancam bangkrut, padahal produsen baja domestik dapat mencukupi pemenuhan permintaan dalam negeri untuk produk HR plate baik secara kualitas maupun kuantitas," tegas Direktur Utama PT Krakatau Steel itu.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: