Hindari Kebangkrutan Industri Garmen, Disnakertrans Jabar Siapkan Task Force
Dinas Ketenagakerjaan dan Tramigrasi (Disnakertrans) Jawa Barat akan membentuk satuan tugas (task force) perburuhan untuk menangani masalah ini di Jawa Barat. Task Force ini akan menghimpun berbagai data perburuhan sebagai dasar pertimbangan dalam membuat kebijakan.
Kepala Disnakertrans Jawa Barat Muchamad Ade Afriandi mengatakan, task force ini akan berisi berbagai stakeholder perburuhan di Jawa Barat seperti unsur buruh atau pekerja, pengusaha, dan pemerintah.
"Berbagai persoalan perburuhan ke depan akan cukup kompleks sehingga harus disikapi bersama," kata Ade kepada wartawan, Selasa (2/7/2019).
Baca Juga: Pacu Nilai Tambah, Standardisasi Industri Terus Digenjot
Sebelumnya, persoalan buruh ini sering terjadi. Untuk itu, diharapkan task force ini memberi solusi bagi persoalan-persoalan yang terjadi selama ini.
Ade berharap dalam task force ini semua stakeholder perburuhan membawa data masing-masing dan menyampaikannya bersama-sama untuk mencari solusi berbagai persoalan perburuhan.
Khusus untuk dunia garmen, lanjut Ade, persoalan buruh ini menjadi serius karena tebilang industri padat karya. Banyak kasus, menyangkut tenaga kerja yang harus disikapi karena hal itu akan berdampak pada keberlangsungan industri garment itu sendiri.
Ade menduga masih terjadinya pungutan di sekitar pabrik, saat calon pegawai mau melamar pekerjaan. Pungutan dilakukan oknum ormas ataupun oknum yang mengaku orang kepala desa.
“Kepala desa ini raja kecil. Khusus di daerah Bogor atau Bekasi, mereka menghabiskan sampai miliaran untuk pemilihan. Saat ada praktek seperti ini, bisa dipahami kenapa mereka melakukan seperti itu. Tapi ini harus diselesaikan solusinya,” jelasnya.
Baca Juga: Modal...., Produsen Garmen Ini Bentuk Entitas Anak Baru
Sementara itu, perwakilan PT Fotexco Phan Jan Mie mengatakan, upah yang tinggi membuat industri garmen berada di kondisi yang kritis. Di tahun 2019, pihaknya terpaksa meminta UMK khusus kepada Gubernur Jawa Barat bersama 32 perusahaan lainnya yang bertujuan untuk mempertahankan order dari buyer internasional yang mengancam akan hengkang menarik investasinya jika tak membayar upah sesuai kententuan pemerintah.
"Kondisi ini, katanya, harus dipertahankan karena ada 2.300 karyawan di perusahaannya yang hidupnya mengandalkan pendapatan dari indusri garmen tersebut," ujarnya.
Dia tak mungkin melakukan relokasi pabrik ke daerah lain karena hal itu pun memerlukan waktu yang sangat besar.
Katanya, untuk melakukan relokasi pabrik sangat berat dan memberlukan biaya yang besar. Tahapan birokrasi dan perijinan memerlukan biaya yang besar.
“Sedikitnya ada 36 perijinan yang harus ditempuh, selain itu proses adaptasi karyawan dan perusahaan pun memerlukan waktu 3 bulan. Selama 3 bulan itu tak menghasilkan apa, karena kita terus melakukan pelatihan atau training. Selama itu pula kita belum mendapatkan order dari buyer karena belum siap," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: