Pengungsi Rohingya Peringati Hari Genosida di Kamp Bangladesh
Ada sekitar 100.000 pengungsi Rohingya berkumpul di kamp pengungsian di Bangladesh pada Minggu. Hal tersebut dilakukan untuk memperingati dua tahun berawalnya operasi militer brutal di Myanmar yang memaksa lebih dari 730.000 etnis minoritas Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan.
Massa pengungsi berkumpul pada pagi hari di lereng bukit untuk memanjatkan doa bagi kerabat-kerabat mereka yang terbunuh dalam kekerasan di Myanmar. Sementara kerumunan yang lain berbaris di bawah terik matahari yang meneriakkan, "Kami ingin keadilan" dan "Tidak ada lagi genosida". Beberapa pengungsi beberapa mengenakan kemeja putih bertuliskan 'Peringatan Genosida Rohingya'.
Peringatan itu terjadi di tengah ketegangan yang meningkat di beberapa bagian kamp setelah pasukan keamanan menembak mati dua etnis Rohingya pada Sabtu. Pasukan keamanan mengatakan bahwa kedua Rohingya warga itu terlibat dalam pembunuhan seorang pejabat partai yang berkuasa.
Sekitar satu juta orang tinggal di kamp-kamp di Bangladesh selatan di pemukiman pengungsi terbesar di dunia. Sebagian besar dari mereka telah melarikan diri dari kekerasan pada 2017 yang menurut PBB dieksekusi dengan “niat genosidal”.
Para pengungsi mengatakan pasukan keamanan Myanmar dan warga sipil Budha melakukan pembunuhan massal dan pemerkosaan selama berminggu-minggu "operasi pembersihan". Myanmar membantah tuduhan itu dan mengatakan mereka melakukan operasi yang sah terhadap pemberontak Rohingya yang menyerang pos polisi.
“Kami merindukan rumah kami, kerabat kami, orang-orang terkasih kami yang terbunuh di Myanmar,” jelas Chekufa, pemimpin Jaringan Pemberdayaan dan Advokasi Wanita Rohingya sebagaimana dilansir Reuters, Senin (26/8/2019).
Rencana dalam memulangkan 3.450 Rohingya yang telah diizinkan masuk oleh Myanmar gagal dilakukan pada Kamis pekan lalu setelah tidak ada yang warga Rohingya yang setuju untuk pulang. Di Myanmar, Rohingya dianggap rendah sebagai imigran ilegal dari Bangladesh, ditolak kewarganegaraannya, dan dikenakan pembatasan ketat pada kebebasan bergerak.
Walaupun kondisinya suram di kamp-kamp Bangladesh, para pengungsi takut kembali ke rumah tanpa jaminan kewarganegaraan dan keamanan.
"Kami sangat berterima kasih kepada pemerintah Bangladesh, tetapi kami tinggal di sini bukan seperti manusia tetapi seperti binatang, hanya makan dan tidur," kata Chekufa.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Abdul Halim Trian Fikri
Tag Terkait: