Istana menyatakan pembatasan akses internet di Papua yang sudah berlangsung sejak sepekan ini merupakan perintah konstitusi. Pemblokiran akses internet di Papua demi membatasi penyebaran berita bohong yang menjadi bahan bakar atas aksi anarkis yang dilakukan warga dan kelompok bersenjata.
"Itu perintah Undang-undang, untuk pemerintah harus lakukan itu, karena penyebaran informasi elektronik itu, dalam UU ITE itu, pemerintah diperintah oleh Undang-undang untuk bisa membatasi data dan agar tidak terjadi penyebaran berita hoaks," kata Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ali Mochtar Ngabalin di Istana Negara, Kamis (29/8).
Baca Juga: Ngabalin: Orang Papua Itu Hatinya Penyejuk dan Penyayang
Baca Juga: Pemerintah Bolak-Balik Bilang Sudah Aman, Rudiantara Kok Masih Blokir Internet di Papua?
Ngabalin menceritakan, ekskalasi massa sejak sepekan lalu hingga saat ini dimulai oleh berita bohong yang menyebut ada pembunuhan terhadap mahasiswa di Sorong, Papua Barat. Tak hanya itu, Ngabalin melanjutkan, di kalangan warga Papua dan Papua Barat juga tersebar kabar bohong terkait adanya lima mahasiswa yang babak belur dalam melakukan aksi.
"Padahal kan sama sekali tidak ada. Jadi sekarang ini isu rasis digeser ke isu seperatis," katanya.
Menghadapi situasi ini, menurut Ngabalin, pemerintah pusat memiliki hak untuk memutuskan kebijakan tanpa terlebih dulu berkoordinasi dengan pihak ketiga. Tenaga Ahli dari Kepala Staf Presiden Moeldoko ini juga menyebutkan pergerakan massa saat ini sudah bergeser ke arah separatis.
"Kita semua menolak itu, rasis, tetapi ketika mereka masuk ke wilayah-wilayah separatis. Masuk ke wilayah yang melibatkan pihak asing, pihak ketiga, untuk bicara, lain lagi ceritanya," katanya.
Ngabalin menambahkan pemerintah pusat, khususnya Presiden Joko Widodo (Jokowi), terus memantau perkembangan kondisi di Papua dan Papua Barat. Tak hanya itu, ujarnya, Presiden juga sedang mengupayakan dialog secara khusus dengan para tokoh adat Papua dan Papua Barat dalam waktu dekat.
"Poinnya dua, pemerintah bekerja dan aparat kepolisian bekerja mencari dalang di balik ini, provokator. Kedua, dari mana orang-orang yang menyalurkan anggaran-anggaran yang begitu bisa untuk memobilisasi massa," kata Ngabalin.
Pembatasan akses internet juga dikeluhkan oleh keluarga pendatang yang kini bekerja di Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua. Mita Ardana (27 tahun), mengaku kesulitas untuk berkomunikasi dengan suaminya yang bekerja di PT Freeport Indonesia.
Sudah sepekan ini, sejak 22 Agustus 2019, anak-anak Mita tidak bisa melihat wajah sang ayah melalui fasilitas panggilan video. "Awalnya skype masih bisa digunakan, namun kini tidak bisa sama sekali. Di sana, internet sama sekali tidak bisa diakses, kecuali email kantor," ujar Mita yang kini tinggal di Yogyakarta.
Mita menambahkan, pembatasan akses internet ini terlihat berlebihan karena sudah berlangsung sepekan lamanya. Apalagi, ujar dia, banyak warga pendatang dari Jawa, Sulawesi, Sumatra, dan daerah lain di Indoneesia yang kini bekerja atau menetap di Papua dan Papua Barat. Mita menilai akses internet selama ini menjadi senjata utama para pendatang untuk berkomunikasi dengan keluarga di kampung halaman.
Seperti diketahui, Kemenkominfo masih belum mengetahui kapan akan membuka blokir akses internet di Papua. Pemblokiran layanan data atau internet di Papua akan berlangsung sampai situasi dan kondisi yang benar-benar normal.
Plt Kepala Biro Humas Kemenkominfo, Ferdinandus Setu mengatakan berdasarkan evaluasi yang dilakukan pihaknya dengan aparat penegak hukum masih beredar informasi hoaks dan rasialisme. Kabar bohong tersebut dikhawatirkan justru akan kembali membuat suasana di Papua kembali panas.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: