Menjelang berakhirnya masa jabatan DPR periode 2015-2019, DPR mengebut pembahasan dan pengesahan revisi undangan-undang (UU) dan rancangan undang-undang (RUU).
Adapun pembahasan RUU yang terkesan "kejar tayang" dan menuai kontroversi di antaranya, revisi UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), revisi UU Pemasyarakatan, dan Rancangan Undang-undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Indonesia Parliamentary Center (IPC) menilai percepatan pembahasan revisi UU sarat kepentingan DPR dan pemerintah.
“Pembahasan dan pengesahan sejumlah RUU secara bersamaan yang beberapa tahun sebelumnya terbengkalai pada akhir periode adalah sebagai wujud nyata konflik kepentingan. Termasuk juga seleksi BPK yang sedang berlangsung saat ini. Di dalamnya terdapat sejumlah nama Anggota DPR 2014-2019 yang berstatus caleg tidak terpilih,” tutur Koordinator IPC, Ahmad Hanafi, di Jakarta, Minggu (22/9/2019).
Baca Juga: RUU KUHP Sangat Menindas. Jika Disahkan, Buset!! Penjara Penuh
Hanafi menjelaskan, konflik kepentingan yang dimaksudnya kepentingan para anggota DPR yang bisa jadi kepentingan pribadi atau kelompok bersama dengan pemerintah.
“Konflik kepentingan, artinya mengambil keuntungan pribadi atau kelompok dari kebijkan pada saat selesai dari jabatan,” terangnya.
Apalagi, sambung dia, penyelesaian pembahasan RUU juga tidak memberikan peluang bagi publik untuk berpartisipasi dalam menyikapi isu-isu yang berkembang dalam RUU.
Hanafi menambahkan, penyusunan RUU pada periode ini bisa dibilang cukup banyak yang bermasalah. IPC mencatat, ada 154 gugatan uji materi yang masuk ke Mahkamah Konstitusi terhadap 25 UU yang disahkan DPR sejak 2015.
“Jika wakil rakyat mendengarkan rakyat, seharusnya kekecewaan yang diekspresikan ke MK dapat tertangani dalam proses pembahasan RUU,” tutur Hanafi.
Baca Juga: Cemas, RUU KUHP Buat Turis Asing di Bali Cemas
Karena itu, Hanafi berpandanga RUU yang mendapat protes dari publik saat ini seharusnya dilimpahkan (carry over) kepada DPR periode 2019-2024 sehingga, bisa dibahas secara komprehensif dengan melibatkan banyak suara masyarakat.
“Kepentingan publik yang lebih besar seharusnya menjadi pertimbangan utama daripada memperoleh suara yang besar pada pemilihan umum,” katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Annisa Nurfitri