Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Stok Bulog Tak Mampu Tahan Naiknya Harga Beras

Stok Bulog Tak Mampu Tahan Naiknya Harga Beras Kredit Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Harga beras mencatatkan inflasi di kala sektor bahan makanan mencatatkan deflasi hingga 1,97% pada September kemarin. Kenaikan harga di komoditas ini dinilai merupakan imbas dari minimnya produksi. 

Bahkan inflasi pada beras diproyeksikan terus berlanjut dengan lejitan yang cukup tinggi pada Desember nanti hingga Januari 2020. Stok beras Bulog pun dinilai tidak akan mampu mengamankan permintaan sampai akhir tahun.

Pengamat ekonomi INDEF Rusli Abdulah mengungkapkan, kenaikan harga beras menjadi sulit dikendalikan karena memasuki kuartal akhir yang dimulai dari September, rata-rata produksi beras hanya 1,5 juta ton. Padahal, kebutuhan konsumsi masyarakat tiap bulan mencapai 2,5 juta ton. 

“Ada gap antara supply and demand (permintaan dan penawaran),” ucapnya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (3/10/2019).

Kondisi ini mendorong harga beras jadi mahal. Bahkan jika melihat trennya, ia memprediksi harga beras akan terus meningkat sampai Desember mendatang. Penyebabnya karena pada periode ini tidak ada panen raya.

Baca Juga: Tjipta Lesmana: Swasembada Beras Bukti Kerja Amran

Rusli memperkirakan, stok beras di Bulog hanya akan cukup sampai November tahun ini. Kondisi tipisnya pasokan ini bisa berimbas kepada melambung tingginya harga beras pada Desember dan Januari 2020.

Sebenarnya, kondisi ini bukan hanya terjadi tahun 2019. Siklus semacam ini terjadi juga di tahun-tahun yang lalu. Kondisinya berulang sebab petani umumnya akan menunggu musim penghujan untuk mulai menanam.

Ia pun meminta pemerintah membuat manajemen stok beras yang lebih baik. Dengan begitu kenaikan harga beras diharapkan tidak jadi momok tahunan yang harus dialami masyarakat.

“Harus ada stok beras yang cukup untuk kebutuhan sampai masa panen tiba,” tegasnya.

Pada tahun 2018 kemarin, defisit produksi beras sebenarnya baru terjadi pada Oktober. Pasalnya, produksi beras pada September masih mencapai 2,78 juta ton. Sementara itu, konsumsi beras di saat yang bersamaan sebanyak 2,43 juta ton.

Memasuki kuartal akhir, produksi beras langsung anjlok ke kisaran 1,31 juta ton tiap bulan. Produksi terendah terjadi pada bulan November sebanyak 1,20 juta ton. Hanya saja untuk tahun ini, defisit produksi sudah terjadi semenjak September.

Baca Juga: Produksi Beras Mesti Digenjot, Intensifikasi Semakin Intensif

Pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas menyebutkan, alhasil harga beras yang meningkat ditopang oleh defisit produksi dibandingkan konsumsi bulanan. Konsumsi masyarakat masih bisa diselamatkan karena ditopang oleh stok yang dibentuk dari panen sebelumnya.

“Mulai September itu biasanya sudah minus. Dalam arti yang dipanen dengan konsumsi bulanan kan lebih besar konsumsi bulanan,” ujarnya kepada wartawan, Kamis (3/10).

Menurutnya, produksi pada masa panen raya kedua yang jatuh pada kisaran Agustus-September memang lebih sedikit dibandingkan panen raya pertama yang berlangsung pada Maret-April. Apalagi, pada tahun ini, di mana musim tanam kedua mundur sebulan akibat pergeseran musim.

Tahun ini, lanjutnya, puncak panen terjadi pada April hingga Mei. Kebanyakan petani pun ragu untuk menanam padi pada musim tanam kedua karena sudah memasuki kemarau. Hal tersebut membuat ia meyakini produksi turun dibandingkan tahun sebelumnya.

“Produksi padi 2019 ini saya pastikan lebih rendah dibandingkan 2018. Penurunannya kira-kira setara dengan 2 juta ton beras dibandingkan 2018,” jelasnya.

Baca Juga: Eksportir Tertarik Kembangkan Beras Ketan Hitam Bandung

Senada dengan Rusli, Andreas meminta pemerintah mencermati stok beras ke depan.  Pasalnya, diperkirakan masa paceklik panen baru berakhir pada Maret mendatang.  “Karena apa, harus diselamatkan sampai paling tidak Februari. Maret mungkin sebagian sudah panen, tapi kan tidak bisa langsung ke konsumen,” tandasnya.

Untuk saat ini menurutnya stok yang dimiliki Bulog masih mencukupi. Namun, penghitungan stok secara cermat penting dilakukan agar kebutuhan masyarakat akan bahan pangan pokok tetap terpenuhi.

“Stok Bulog kan juga masih kelewat tinggi, masih 2,3 juta ton. Tapi pemerintah betul-betul harus menghitung cermat, stok sesungguhnya itu berapa. Dan apakah perlu tindakan tertentu terkait dengan cadangan beras,” jabarnya.

Sementara, Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengklaim tak ada masalah dengan stok beras. Amran mengapresiasi kinerja Bulog,  mendengar informasi gudang beras Bulog saat ini penuh dan cukup untuk memenuhi pangan. Dari laporan yang diterimannya dari bulog saat beras terus bertambah bahkan sampai mencapai 2,5 juta ton.

"2,5 juta ton laporan dari dirut bulog, sudah mulai sejak Januari sampai hari ini malah bertamabah dari Januari itu 2jutaan sekarang naik 2,5 kedepan ini panen bisa jadi naik dan kita harus siapkan juga," katanya, di Bogor, Kamis (3/10).

Sebaliknya, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menyatakan hal berbeda soal beras. Harga beras menjadi salah satu yang mencatatkan inflasi. Padahal bulan lalu BPS mencatat, kelompok bahan makanan membentuk deflasi.  Namun dalam sektor bahan makanan, beras menjadi pembeda karena mencatatkan inflasi sebesar 0,12%. 

“Deflasi bahan makanan lebih disebabkan harga berbagai komoditas bumbu-bumbuan, daging ayam ras, dan telur ayam ras,” tuturya di kantor pusat BPS, Jakarta, Selasa (1/10).

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Bagikan Artikel: