Obat dan Vaksin Mahal, Pengembangan Industri Farmasi Dalam Negeri Harus Didorong
Pembangunan kesehatan masyarakat diarahkan pada peningkatan upaya promotif dan preventif, di samping peningkatan akses pelayanan kesehatan bagi masyarayat. Pun demikian, pembangunan masih meghadapi kendala harga yang mahal. Seperti vaksin pneumonia yang sulit dimasukkan oleh pemerintah dalam daftar imunisasi dasar yang digratiskan oleh negara.
Direktur Kesehatan Gizi Masyarakat Kementerian PPN/Bappenas, Pungkas Bahjuri Ali, mengatakan salah satu penyebab mahalnya harga vaksin pneumonia adalah produk tersebut masih sepenuhnya diimpor. Sementara itu, kebutuhan terhadap vaksin tersebut cukup besar lantaran terus meningkatnya jumlah masyarakat yang terpapar penyakit tersebut.
Baca Juga: Kini Ada Yoga Tertawa, Apa Manfaatnya untuk Kesehatan?
"Kita berharap bahan baku obat dapat diproduksi di Indonesia. Selain untuk penyediaan bahan baku yang lebih efisien, juga untuk mendukung pengembangan industri farmasi dalam negeri," ujar Pungkas saat membuka diskusi panel bertajuk Urgensi Optimalisasi Manajemen Pengelolaan Obat dan Vaksi Terkait Efisiensi Anggaran yang digelar Bisnis Indonesia, Selasa (8/10/2019).
Pungkas menambahkan bahwa ketersedian produk farmasi, terutama obat dan vaksin, yang cukup di dalam negeri tentu diharapkan dapat menurunkan pengeluaran pemerintah. Menurutnya, perkembangan teknologi di sektor kesehatan sangat cepat.
"Selama ini, kita masih belum mampu membiayai keseluruhan kebutuhan obat dan vaksin di dalam negeri. Oleh karena itu, kita masih perlu mendatangkannya dari luar negeri. Dalam kondisi demikian, efisiensi harga menjadi pertimbangan yang sangat penting," imbuh Pungkas.
Kebutuhan vaksin terus meningkat karena perlu juga mengenalkan vaksin-vaksin baru. Terutama dengan adanya berbagai jenis penyakit yang sangat efektif dicegah oleh vaksin. Sebagai contoh, untuk menekan angka kematian bayi kita perlu pencegahan pneumonia dan diare. Menurutnya, jika ingin menekan angka kematian bayi secara serius, pemerintah harus mengembangkan vaksin tersebut.
Ekonom kesehatan dari Universitas Padjadjaran Auliya Suwantika menjelaskan Indonesia menempati peringkat ketujuh sebagai negara dengan angka kematian bayi berusia di bawah lima tahun akibat pneumonia. Data memperlihatkan rata-rata kematian akibat penyakit pneumonia terhadap anak di bawah 5 tahun mencapai 25.000 orang per tahunnya. Kematian akibat penyakit pneumonia menyumbang 17% dari total kematian anak di bawah lima tahun.
"Fakta ini harus diperhatikan lantaran Indonesia menjadi salah satu negara dengan angka kematian bayi akibat pneumonia yang tidak memasukkan vaksin pneumonia sebagai wajib imunisasi dasar," tambah Auliya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Sadiah, mengatakan pemerintah sedang mengupayakan agar vaksin pneumonia dapat masuk dalam paket imunisasi dasar dan dapat diakses masyarakat dengan harga yang terjangkau.
"Kita sedang bahas langkah itu dalam sejumlah pertemuan lintas kementerian dan lembaga. Sebab, upaya tersebut membutuhkan regulasi yang pasti, yang bukan hanya dari Kemenkes saja, melainkan juga dari kementerian lain," tutupya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Puri Mei Setyaningrum