Pembahasan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) antara ASEAN plus enam negara yang menunjukkan kemajuan pembahasan signifikan diapresiasi. Kecepatan pembahasan ini tak lepas dari keagresifan Kementerian Perdagangan untuk menyelesaikan perjanjian ekonomi yang komprehensif ini.
RCEP dipercaya nantinya mampu menolong Indonesia jika krisis finansial kembali datang. Lewat perjanjian ini, terdapat peluang menghilangkan hambatan perdagangan baik dari sisi tarif maupun non tarif. Meski, kemungkinan Indonesia menjadi pasar perlu diantisipasi.
Ekonom perdagangan internasional dari Universitas Indonesia (UI), Fithra Faisal melihat saat ini pemerintah memang tengah kencang berupaya menyelesaikan perjanjian dagang dengan banyak negara. Tidak terkecuali, ada upaya untuk bisa menyelesaikan perundingan RCEP secepat mungkin. Dengan RCEP, diyakini mampu membuat ikatan perdagangan regional bisa menembus level 70% dari yang tadinya hanya sekitar 25%.
Baca Juga: Dukung “From Local Go Global”, Kemendag Dorong Daya Saing Produk Lokal
“Usaha kita sudah lebih baik untuk menyelesaikan RCEP ini sehingga ini patut diapresiasi (yang dilakukan Menteri Perdagangan Enggartiasto dan jajarannya-red). Apalagi hanya menyisakan beberapa artikel saja untuk diselesaikan,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (15/10/2019).
Sebagai informasi, RCEP yang diusung 10 negara Asean dan enam negara mitrawicara yakni Jepang, China, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru dan India mencakup 50% populasi dunia. Kerja sama regional ini juga mencakup 30% dari volume perdagangan dunia.
Fithra menilai, Mendag Enggarstiasto Lukita saat ini memang sangat fokus dalam penyelesaian perjanjian dagang. Tidak hanya RCEP, banyak FTA juga yang agresif dikonkretkan oleh Mendag Enggar.
Baca Juga: Tingkatkan Kerja Sama, ASEAN Manfaatkan Konsultasi dengan Negara Mitra Strategis
Sebelumnya, RCEP sempat dikesampingan lantaran adanya TPP atau kemitraan Trans-Pasifik yang dinilai lebih menguntungkan. Namun, hengkangnya Amerika Serikat (AS) dari TPP membuat 16 negara kembali fokus pada pembahasan RCEP.
Kefokusan terhadap RCEP juga ditunjang dari mulai melunaknya China untuk menanggapi perjanjian regional ini. Soalnya dahulu, China terkesan ogah-ogahan membahas RCEP. Namun dengan kondisi ekonominya yang saat ini terpapar perang dagang, mau tak mau juga China gencar berupaya menyelesaikan RCEP guna mengamankan posisinya di regional.
Banyaknya pihak yang terlibat dalam pembahasa RCEP menjadi alasan perundingan terkesan lamban. Pasalnya, banyak kepentingan yang diusung oleh masing-masing negara. Apalagi, RCEP dinilai sebagai perjanjian paling komprehensif dan kompleks yang pernah diusung secara regional dan Indonesia ada di dalamnya.
Fithra menanggapi ini, dengan menyebutkan bahwa , untungnya Indonesia sudah memiliki standar mengenai apa-apa saja yang dikejar dari RCEP. Ini ditunjang keagresifan Indonesia saat ini yang bisa mendekati negara lain juga.
Hal senada juga diungkapkan Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus. Menurutnya, lamanya pembahasan dan negoisasi yang sudah mencapai 6 tahun untuk menuju kesepakatan RCEP adalah wajar karena banyaknya pihak yang terlibat.
Baca Juga: Manfaatkan APEC TiVA, Indonesia Bisa Kurangi Defisit Neraca Perdagangan
Sebagai informasi, para pemimpin Asean sepakat untuk memulai perundingan RCEP pada 2012. Putaran pertama perundingan dilakukan pada Mei 2013. Namun, hingga 2017, berbagai putaran perundingan belum menghasilkan kesepakatan. Setahun kemudian, 16 negara menegaskan komitmen untuk segera menyelesaikan perundingan RCEP.
Perundingan RCEP selama 7 tahun ini juga tak lepas dari peran Dirjen PPI Iman Pambagyo dipercaya menjadi Ketua Komite Perunding RCEP (Trade Negotiating Committee/TNC) dengan posisi Indonesia sebagai ‘country coordinator’. Kepiawaian Iman mengendalikan tim negosiator, mendapatkan apresiasi dan pujian dari 16 negara yang terlibat perundingan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri