Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sst... Ada Cara Baru untuk Ukur Umur Galaksi

Sst... Ada Cara Baru untuk Ukur Umur Galaksi Seorang warga menikmati suasana malam di bawah naungan galaksi Bima Sakti di Mangli, Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rabu (3/7/2019) malam. Pada bulan pertengahan tahun dengan cuaca terang dan bebas polusi, dapat terlihat galaksi Bima Sakti atau 'Milky Way'. | Kredit Foto: Antara/Aloysius Jarot Nugroho
Warta Ekonomi -

Tim ilmuwan yang dipimpin peneliti dari ASTRO-3D, Australia, mendapati bahwa cakram tebal Galaksi Bima Sakti telah berusia 10 miliar tahun. Hal itu diketahui lewat penelitian terbaru yang menggunkan metode asteroseismologi.

Seperti banyak galaksi spiral lainnya di semesta, Galaksi Bima Sakti terdiri dari dua struktur, yakni cakram tipis dan cakram tebal. Cakram tebal yang menyelimuti cakram tipis mengandung sekitar 20 persen bintang Bima Sakti dan dianggap lebih tua. Hal itu mengacu pada komposisi bintang-bintangnya (yang memiliki logam lebih besar) dan sifatnya yang lebih mengembang.

Namun, dalam sebuah studi baru-baru ini, tim yang terdiri dari 38 ilmuwan yang dipimpin oleh para peneliti dari ASTRO-3D meneliti ulang usia cakram tebal tersebut. Menggunakan data dari misi Kepler, mereka lakukan pengukuran gempa di cakram Bimasakti. Walhasil, mereka merevisi perkiraan resmi mengenai usia piringan tebal Bima Sakti menjadi sekitar 10 miliar tahun.

Studi tersebut berjudul The K2-HERMES Survey: age and metallicity of the thick disc yang dimuat dalam Monthly Notices of the Royal Astronomical Society. Tim peneliti dipimpin oleh Dr. Sanjib Sharma dari Institut Astronomi Sydney dan ASTRO-3D.

Untuk menentukan usia piringan tebal, Dr. Sharma dan timnya menggunakan metode yang dikenal sebagai asteroseismologi. Metode ini berupaya mengukur osilasi bintang yang disebabkan oleh gempa bumi di mana kerak bintang mengalami pergeseran mendadak mirip dengan gempa bumi.

Proses ini memungkinkan para peneliti untuk melakukan "galactic-arkeologi", yakni melihat ke masa lalu saat pembentukan Bima Sakti sekitar lebih dari 13 miliar tahun yang lalu.

"Gempa menghasilkan gelombang suara di dalam bintang-bintang yang membuatnya berdering, atau bergetar. Frekuensi yang dihasilkan memberi tahu kami hal-hal tentang properti internal bintang-bintang, termasuk usia mereka. Ini seperti mengidentifikasi biola sebagai Stradivarius dengan mendengarkan suara yang dihasilkannya," kata penulis studi, Profesor Dennis Stello dari Universitas New South Wales, dikutip dari universetoday.com, Senin (9/12/2019).

Sebelumnya, para astronom telah mencatat bahwa pengamatan yang dilakukan oleh misi Kepler tidak sesuai dengan model struktur Bima Sakti. Sebab misi Kepler meramalkan bahwa cakram tebal memiliki lebih banyak bintang bermassa rendah.

Namun, tidak diketahui secara jelas apakah perbedaan ini disebabkan oleh ketidakakuratan dalam model galaksi, atau karena masalah dalam kriteria pemilihan bintang-bintang.

Menggunakan data baru dari misi Kepler, Sharma dan rekan-rekannya menemukan bahwa kesalahan itu ada pada model galaksi. Pada dasarnya, model galaksi sebelumnya mengasumsikan bahwa cakram tebal itu dihuni oleh bintang bermassa rendah dan berlogam rendah.

Menggunakan data misi Kepler untuk melakukan analisis spektroskopi terbaru, Dr. Sharma dan timnya menentukan bahwa komposisi kimia yang dimasukkan ke dalam model yang ada adalah tidak benar. Sehingga menyebabkan perkiraan usia yang tidak akurat. Dengan mempertimbangkan hal ini, Dr. Sharma dan timnya mampu menyelaraskan data asteroseismik dengan apa yang diprediksi oleh model galaksi.

"Temuan ini telah mengungkap sebuah misteri ... Data sebelumnya tentang distribusi usia bintang dalam cakram tidak sesuai dengan model yang dibuat untuk menggambarkannya, tetapi tidak ada yang tahu di mana letak kesalahan dalam data atau model. Sekarang kami cukup yakin telah menemukannya," kata Sherma.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: