Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

6 Kebijakan Jokowi di 2019 yang Bikin Geger

6 Kebijakan Jokowi di 2019 yang Bikin Geger Kredit Foto: Viva

3. Pemindahan Ibu Kota

Presiden Jokowi telah memutuskan ibu kota rencana akan pindah dari Provinsi Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur, yakni sebagian Kabupaten Penajem Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Biaya yang dibutuhkan untuk membangun ibu kota baru mencapai Rp466 triliun.

Jokowi mengatakan, rencana pemindahan ibu kota sudah digagas lama, bahkan sejak era Presiden Soekarno. Alasan dipindah karena beban Jakarta sangat berat sebagai pusat pemerintahan, bisnis, keuangan, perdagangan, jasa, pangkalan udara serta pelabuhan laut yang terbesar di Indonesia.

Selain itu, Jokowi tidak bisa terus-menerus membiarkan beban Jakarta dan Pulau Jawa semakin berat terutama dalam hal kepadatan penduduk, kemacetan lalu lintas, polusi udara. Nah, sahabat Jokowi, yakni Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok selaku mantan Gubernur DKI sempat menolak rencana pemindahan ibu kota negara dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur.

Desain ibu kota baru.

Secara pribadi, Ahok menilai rakyat masih susah sehingga untuk apa menghabikan dana besar hanya gara-gara Jakarta macet, lalu ibu kota pindah. "Jadi kan ini bukan karena ada masalah lalu lari dari masalah, itu pendapat saya. Kalau sini macet ya diatasi dong macetnya. Beli aja bus yang banyak, gratiskan," kata Ahok.

Mantan Menteri Koordinator Perekonomian, Rizal Ramli menyindir rencana pemindahan ibu kota oleh Jokowi. Menurut dia, pelayanan masyarakat masih belum terselesaikan seperti BPJS Kesehatan.

"Untuk bayar BPJS aja enggak sanggup, kok mindahkan Ibu Kota baru. Pak Jokowi sing eling, bayar BPJS dulu. Naikkan dulu pertumbuhan ekonomi hingga di atas 5 persen dulu. Naikkan gaji guru honorer dulu, baru bicara pemindahan ibu kota," ujarnya.

4. Revisi UU KPK dan tolak terbitkan Perppu KPK

Di akhir jabatan periode pertama Jokowi, DPR bersama pemerintah merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Akhirnya, ada tujuh poin yang disetujui dan disahkan dalam revisi UU KPK dalam rapat paripurna DPR.

Tujuh poin itu adalah kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun kekuasaan eksekutif, pembentukan dewan pengawas, pelaksanaan penyadapan melalui izin Dewan Pengawas. Kemudian penerbitan SP3 (penghentian penanganan perkara), koordinasi kelembagaan, mekanisme penggeledahan, penyitaan sampai sistem kepegawaian yang mengharuskan semua personalia KPK berstatus aparatur sipil negara (ASN).

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menyesalkan disahkannya revisi UU KPK. Menurut dia, UU 30/2002 tentang KPK yang baru disahkan tidak sesuai dengan janji Presiden Jokowi yang ingin perkuat lembaga antirasuah itu. Ia menilai UU KPK malah mengebiri kewenangan komisioner KPK. Apalagi, komisioner KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum dalam UU yang baru.

"Beliau (Jokowi) mengatakan bahwa (KPK) akan diperkuat, tetapi kenyataannya komisioner KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum. Jadi kewenangan komisioner seperti saya, saya tidak bisa lagi memerintahkan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. (Kewenangan) Ini hilang," kata Laode.

Sementara Wakil Ketua KPK Saut Situmorang sempat ingin melawan setiap upaya pelemahan pemberantasan korupsi karena menyangkut kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Jokowi sebelumnya mengatakan akan mempertimbangkan menerbitkan Perppu KPK. Namun Jokowi tidak mau menerbitkan Perppu tentang KPK. 

Alasannya, karena menghormati proses judicial review yang tengah berjalan di Mahkamah Konstitusi (MK). Tapi baru-baru ini dia kembali mengatakan bahwa mau melihat lebih dahulu implementasi UU KPK yang baru.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: