Para Remaja Suku Amazon Berjuang Sampai Mati Melawan Deforestasi Hutan Amazon
Ini adalah kebijakan yang membuat Maristela khawatir: "Pemerintahan baru ini membenci penduduk asli, tetapi saya sangat bangga menjadi penduduk asli, dan sebagai perempuan adalah peran kami untuk memperjuangkan tanah kami."
Sepupu Maristela, Juliana Tuiti Arara yang berusia 22 tahun, mengatakan bukan hanya presiden dan rencananya yang membuat mereka khawatir, tapi juga serangan oleh sesama penduduk asli terhadap hutan.
Baca Juga: Gak Main-main, Pemimpin Suku Amazon Berjuang Lawan Perubahan Iklim
"Sangat menyedihkan bagi kami, orang-orang dari luar mengkooptasi penduduk asli untuk menebangi hutan," ia menuturkan sambil menahan air mata.
"Pada tahun-tahun terakhir, kami melihat kerabat kami membunuh pohon-pohon, mereka datang dengan buldoser."
Kedua gadis ini mengatakan telah memperkuat tekad mereka untuk melindungi tanah yang diperjuangkan leluhur mereka.
"'Bertindak' bagi saya adalah kata yang sangat kuat. Kita harus bertindak, kita tidak bisa berhenti dan berdiri dengan tangan bersedekap."
Seberapa jauh mereka akan berjuang untuk tanah mereka? Maristela dan Juliana sama-sama mengatakan "até à morte" (sampai mati).
'Kita semua memiliki hak yang sama untuk menggunakan tanah'
Bukan hanya masyarakat adat yang meyakini bahwa tanah itu milik mereka. Di bagian Brasil yang lain, Carina de Faria, seorang remaja perempuan berusia 16 tahun dan kakak laki-lakinya, Rodrigo, yang berusia 18 tahun, adalah generasi penerus petani.
Mereka menghabiskan waktu menggembalakan ternak, dengan dipimpin oleh ayah mereka, Gerson. Mereka ingin mengikuti jejaknya.
"Semua orang, benar-benar semua orang, membutuhkan tanah," kata Carina.
"Banyak petani membutuhkan tanah untuk menghasilkan bagi diri mereka sendiri dan untuk orang lain, secara global atau lokal. Jadi saya pikir semua orang memiliki hak itu dan harus dibagi secara adil."
Mereka memiliki 100 hektar lahan pertanian, yang dulunya adalah hutan hujan, di mana mereka menanam banyak sayuran mereka sendiri dan memelihara ternak.
Tetapi mereka juga khawatir tentang dampak deforestasi.
"Saya pikir sudah cukup hancur dan apa yang tersisa, harus dibiarkan sendiri," kata Rodrigo.
"Banyak orang yang melakukan penebangan hutan jauh lebih tua, tetapi kami kaum muda menyadari bahwa perubahan iklim sudah terjadi," tambah Carina.
"Anak-anak muda sangat terhubung melalui teknologi sehingga kita harus bekerja bersama. Dan juga tugas pemerintah untuk menemukan solusi bagi semua orang."
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: