Perundingan organisasi negara-negara penghasil minyak (OPEC) dengan Rusia berakhir dengan kegagalan dramatis. Aliansi diplomatik antara Riyadh dan Moskow pecah. Harga minyak mentah jatuh ke titik terendah. Keseimbangan kekuasaan di Timur Tengah berubah.
Minyak mentah Brent yang menjadi tolok ukur harga minyak dunia anjlok setelah Rusia menolak untuk tunduk pada kehendak Arab Saudi. Jatuhnya harga minyak menjadi yang terparah dalam satu dekade ini. Riyadh ingin memangkas produksi untuk mengurangi dampak virus corona terhadap permintaan minyak dunia. Namun, Moskow punya ide berbeda.
Baca Juga: Kelahi Rusia vs Saudi Bikin Harga Minyak Dunia Drop, Kenapa Harga BBM Tak Langsung Turun?
"Anggaran Kremlin lebih tahan terhadap harga rendah ketimbang negara Timur Tengah. Rusia juga berpendapat minyak mentah murah akan membantu menghilangkan persaingan dengan AS dan membuat investor melawan perusahaan-perusahaan yang sudah berjuang," kata seseorang yang paham dengan perundingan tersebut, seperti dikutip Bloomberg, Sabtu (7/3/2020).
Hasilnya buruk bagi raksasa energi seperti Exxon Mobil, negara-negara yang bergantung pada minyak dari Amerika Latin hingga Asia Tengah, dan perusahaan seperti BP yang berusaha mengubah diri menjadi produsen minyak yang ramah lingkungan. Meski begitu, harga rendah akan membantu beberapa negara lantaran memberikan stimulus dalam menghadapi virus.
Kegagalan ini menjadi krisis terbesar sejak Arab Saudi, Rusia, dan lebih dari 20 negara lainnya membentuk aliansi OPEC+ pada 2016. Kelompok yang mengendalikan lebih dari setengah produksi minyak dunia ini telah memengaruhi harga minyak dan membentuk geopolitik Timur Tengah. Kelompok ini juga meningkatkan kekuasaan Presiden Vladimir Putin di kawasan tersebut. Namun, dalam setahun terakhir kondisi di wilayah itu mengalami tekanan.
Pasar minyak saat ini menghadapi bahaya. Arab Saudi batal memangkas produksi 1,5 juta barel per hari. Pengurangan pasokan minyak sebesar 2,1 juta barel dari kelompok ini tidak akan berlanjut hingga akhir bulan ini. Pedagang minyak sedang menunggu sinyal apakah Arab Saudi, Rusia, atau negara-negara OPEC+ lainnya yang bebas dari pembatasan kartel benar-benar bisa meningkatkan produksi.
Menteri Energi Rusia, Alexander Novak, mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan Rusia bebas untuk meningkatkan kapasitas menganggur (idle capacity) mulai 1 April. Ketika ditanya wartawan apakah Aramco dapat melakukan hal yang sama, Menteri Energi Saudi, Pangeran Abdulaziz bin Salman, hanya bilang, "Saya akan membuat Anda penasaran."
Terakhir kali negara-negara itu bebas dari belenggu batas produksi OPEC+ yakni pada paruh kedua 2018, Rusia dan Saudi mendongkrak produksi mereka ke rekor tertinggi, menambahkan 1,5 juta barel per hari.
Minyak mentah Brent merosot 9,4 persen untuk penurunan satu hari yang ditutup pada US$45,27 di London, terbesar sejak krisis keuangan 2008. "Virus corona telah merenggut satu korban jiwa: aliansi produsen minyak," kata Roger Diwan, seorang analis di IHS Markit dan veteran pengamat OPEC.
"Menghadapi penurunan permintaan yang dramatis, mereka menyerahkannya pada manajemen pasar. Kami cenderung melihat harga minyak terendah dalam 20 tahun terakhir pada kuartal berikutnya," kata Diwan.
Setelah berhari-hari negosiasi, aliansi tidak banyak menunjukkan hasil. Konferensi pers yang telah dijadwalkan batal. Pernyataan pers sudah dibuat tapi tidak pernah dipublikasikan.
"Pertemuan OPEC+ untuk bulan Juni sepertinya tidak akan dilanjutkan," kata seorang delegasi. Tanggalnya dihapus dari situs web OPEC. Namun, delegasi lain mengatakan, Rusia masih bersedia bergabung dalam perundingan itu.
Para pejabat senior OPEC, dari Sekretaris Jenderal Mohammad Barkindo hingga Menteri Energi Uni Emirat Arab Suhail Al Mazrouei, masih mengharapkan Rusia kembali ke meja perundingan.
"Kami berharap teman-teman kami dari Rusia perlu lebih banyak waktu untuk memikirkannya dan mungkin kembali. Kapan pun mereka ingin bertemu, kita bisa bertemu dalam 10 hari, dalam dua hari. Kapan pun mereka siap, kita bisa bertemu," kata Mazrouei.
Kegagalan pertemuan terjadi di saat yang sulit bagi kedua negara dalam kesepakatan OPEC+. Di Arab Saudi, Putra Mahkota Mohammed bin Salman yang sedang mencoba mengatur kembali ekonomi negaranya akan menghadapi angin sakal yang kuat. Riyadh harus mengambil cadangan kasnya untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya.
Di Rusia, Putin memasuki periode politik yang sulit. Ia menghadapi referendum bulan depan terkait reformasi konstitusi yang memungkinkan terjadi transisi kekuasaan pada 2024 ketika ia harus mundur sebagai presiden. Jatuhnya harga minyak kemungkinan akan diikuti penurunan nilai rubel dan lonjakan inflasi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Lili Lestari
Editor: Puri Mei Setyaningrum