Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Tengah Badai Corona

Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Tengah Badai Corona Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pada akhir 2019, muncul penyakit baru di Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China (RRC), yang dinamakan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), yang mempunyai masa inkubasi atau rentang waktu antara terjadinya infeksi dan munculnya gejala 1-14 hari dengan rata-rata lima hari.

Penyakit ini telah menyebabkan kematian di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Penularan penyakit ini terjadi jika seseorang menghirup percikan air liur yg dikeluarkan oleh penderita Covid-19 saat bersin atau batuk.

Di samping itu, penularan juga dapat terjadi jika seseorang memegang benda yang telah terkontaminasi percikan air liur penderita Covid-19, lalu memegang hidung atau mulut tanpa mencuci tangan terlebih dahulu.

Baca Juga: Tangkal Corona, WHO Rekomendasikan Bahan Jenis Ini Jadi Masker

Penularan Covid-19 ini sangat cepat dan lebih mudah menyebar dari manusia ke manusia. Sampai saat ini, belum ada obat yang terbukti efektif dalam mengatasi Covid-19. Serangan virus ini seperti perang geriliya karena makhluk halus (mikro) tidak tampak oleh kasat mata, tapi korban yang berjatuhan tak kenal status sosial.

Untuk mencegah penyebaran penyakit ini, pemerintah telah mengambil kebijakan dan langkah  menjaga jarak sosial (sosial distance) atau membatasi interaksi sosial, tetap tinggal di rumah (stay home), kebijakan belajar, bekerja, dan beribadah di rumah, dan sekarang tengah menyiapkan karantina kewilayah (lockdown) atau membatasi perpindahan orang.

Masalahnya adalah bagaimana negara, dalam hal ini pemerintah, menjamin ketersedian pangan rumah tangga selama masa karantina wilayah, terutama untuk rumah tangga miskin.

Agar kebijkan ini  berhasil, maka Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) wajib mengingatkan pemerintah bahwa secara medis pencegahan dan pengobatan tidaklah cukup, tapi harus diikuti dengan kebijakan mendasar, yaitu bagaimana memperkuat Ketahanan Pangan Rumah Tangga sebagai fokusnya, bukan pada tataran nasional, yang meliputi ketersediaan yangg cukup untuk masa tertentu dan keterjangkauan (harga yangg layak), terutama untuk rumah tangga miskin berjumlah 9,22% (BPS, September 2019), yang tersebar di daerah perkotaan 6,56% atau 9,86 juta dan daerah pedesaan 12,60% atau 14,93 juta yang mayoritas bekerja di sektor pertanian.

Untuk itu, kebijakan realokasi APBN secara prioritas haruslah segera memperkuat ketahanan pangan rumah tangga miskin ini agar jutaan nyawa yang berada di garis kemiskinan (Rp 440.538 per kapita per bulan) dapat memenuhi kebutuhan pokoknya (bahan makanan 73,75 % dan non-pangan 26,25 %, standar untuk memenuhi kebutuhan pokok). 

Hal ini sangat krusial untuk mencegah terjadinya krisis politik, kita sudah punya pengalaman sejak Orde Lama dan Orde Baru bahwa krisis politik terjadi didahului krisis ekonomi dan krisis ekonomi didahului dengan krisis pangan. Hal ini jangan lagi terulang di Era Reformasi karena biaya politik sangatlah mahal.  Ketahanan pangan suatu negara sangat penting karena terkait dengan dimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan keamanan.

Di samping itu, kita juga perlu belajar dari pengalaman Uni Soviet, negeri tirai besi, yang bubar tahun 1992 bukan karena rudal, tetapi karena glasnost dan perestroika. Glasnost dan Perestroika ini merupakan kebijakan yang dilakukan pemerintahan Mikail Gorbachev pada pertengahan 1980-an. Kebijakan ini meliputi keterbukaan dalam semua bidang di instusi pemerinahan Uni Soviet, termasuk kebebsan informasi.

Sementara kebijakan perestroika, yaitu reformasi bidang politik dan ekonomi yang dimulai Juni 1987. Kebijakan ini gagal karena di Uni Soviet terjadi krisis pangan. Sebagian besar ladang gandumnya  terserang penyakit bakteri blast dan gagal panen, sehingga rakyat kesulitan mendapat pangan hingga harus mengantre. Akibatnya, terjadi krisis ekonomi yang diikuti dengan krisis politik yang berakhir bubarnya Uni Soviet.

Ketahanan pangan yang kita inginkan sesuai UU Nomor 18 Tahun 2012, agar dari sisi ketersedian (terutama produksi dalam negeri kita utamakan), distribusi dan konsumsinya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Itu artinya, dari sisi penyediaan atau produksi dalam negeri, kita menyelamatkan rumah tangga petani sebagai produsen pangan. Dari aspek distribusi (transportasi), tidak terlalu jauh dan konsumsi pun terjangkau (harga yang layak).

Untuk menghitung berapa ketersedian pangan pokok, dalam hal ini beras, yang harus disediakan pemerintah memang cukup sulit karena kita tidak tahu kapan wabah corona berakhir? Menurut WHO, untuk menemukan vaksin Corona yang efektif, diperlukan waktu 18 bulan. BMKG juga tidak bisa meramalkan kapan wabah ini berakhir karena BMKG belum punya data hasil penelitian mengenai hubungan antara lamanya wabah corona menyerang suatu daerah/kawasan/wilayah dengan perubahan iklim atau cuaca.

Zaman Nabi Yusuf (Quran surah 12, ayat 43), beliau diberikan hikmah mentakwilkan mimpi Raja Mesir yang melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan tujuh ekor sapi betina yang kurus; tujuh tangkai (gandum) yang hijau dan (tujuh tangkai) lainnya yang kering. Beliau menyampaikan kepada Raja Mesir (Quran surah 12, ayat 47) agar kamu bercocok tanam berturut-turut sebagaimana biasa; kemudian apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di tangkainya kecuali sedikit untuk kamu makan.

Kemudian (Quran surah 12, ayat 8) setelah itu akan datang tujuh tahun yang sangat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit) kecuali sedikit dari apa (bibit gandum) yang kamu simpan. Setelah itu akan datang tahun, di mana manusia diberi hujan (dengan cukup).

Selanjutnya, dengan lamanya wabah virus Corona ini dalam suatu wilayah, kalau kita menunggu ditemukannya vaksin yang efektif diperlukan waktu 18 bulan, empat kali panen, berarti kita mengawal masa tanam empat kali berturut-turut agar produksi cukup untuk memberi makan 267 juta penduduk Indonesia.

Baca Juga: Peran Pengusaha dalam Menembus Badai Corona

Tinggal kita menghitung berapa yang dibutuhkan, paling tidak: (1) untuk pengamanan 24,79 juta penduduk miskin selama enam bulan, dengan konsumsi 10 kg per kapita per bulan dikalikan selama enam bulan atau lk 1,5 juta ton. Dengan demikian, pemerintah harus menyediakan angggran APBN  1,5 juta ton x Rp11.000 = Rp16,5 triliun, untuk mengamankan ketahan pangan rumah tangga miskin.

(2) untuk mengawal produksi untuk keperluan 267 juta penduduk x 10 kg per kapita per bulan x 12 bulan, lebih kurang sama dengan 32,5 juta ton. Kalau produktivitas rata-rata kita ambil 5 ton GKG rendeman 60%, diperlukan sawah 10,5 juta ha, atau lk 5,25 juta ha per musim tanam. Rata–rata biaya produksi Rp7,5 juta per ha, maka diperlukan anggaran pengawalan Rp7,5 juta per ha x 5,25 ha atau lk 40 ton per musim tanam.

Terakhir, sebagai bangsa yang mempunyai Pancasila sebagai ideologi dan falsafah, serta way of life bangsa, kita wajib berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setelah ikhtiar insyallah habis gelap terbitlah terang, badai corona insyallah cepat berlalu.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: