Top Four minyak nabati yakni minyak kelapa sawit, minyak kedelai (soybean oil/SBO), minyak bunga matahari (sunflower oil/SFO), dan minyak rapeseed (rapeseed oil/RSO) merupakan empat dari 17 jenis minyak nabati yang ada di dunia. Pada tahun 1965, minyak nabati dunia dikuasai oleh minyak kedelai dengan pangsa sebesar 65 persen. Namun sejak tahun 2006, kedudukan minyak kedelai sebagai raja minyak nabati dunia berhasil digeser oleh minyak kelapa sawit.
Ditambah lagi, Indonesialah yang berhasil merebut posisi penting dalam perekonomian dunia yakni dengan menjadi produsen utama minyak sawit dunia sekaligus menjadi produsen terbesar minyak nabati dunia. Dua gelar sekaligus direbut Indonesia yakni sebagai "raja" minyak sawit dunia (mengalahkan Malaysia) dan "raja" minyak nabati dunia mengalahkan minyak kedelai Amerika Serikat. Untuk pertama kali dalam sejarah ekonomi dunia, produk dari Indonesia membawa revolusi pada pasar minyak nabati dunia.
Baca Juga: Mantul! Ekspor Limbah Bungkil Sawit Melesat Bak Roket
Mengutip laporan Palm Oil Indonesia, tahun 2016, pangsa minyak sawit dalam pasar minyak nabati (utama) dunia mencapai 40 persen, meninggalkan minyak kedelai yang pangsanya menurun menjadi hanya 33 persen. Kini, konsumsi minyak nabati dunia didominasi minyak sawit dan produsen minyak sawit terbesar dunia adalah Indonesia dengan pangsa sebesar 54 persen. Dalam catatan Byerlee (2017) dari Stanford University, kondisi ini disebutkan sebagai revolusi minyak nabati tropis dunia.
Tergusurnya minyak kedelai tersebut bukan disebabkan produksi yang menurun atau luas lahan kedelai yang berkurang. Sebaliknya, luas lahan kedelai naik tajam dari 25,8 juta hektare pada tahun 1965 menjadi 123 juta hektare di tahun 2016. Sementara itu, luas lahan kelapa sawit dunia hanya naik dari 3,6 juta hektare menjadi 20,2 juta hektare dalam periode yang sama. Namun, produktivitas minyak sawit 8-10 kali lipat lebih tinggi dibandingkan produktivitas minyak dari kebun kedelai.
Dengan keunggulan produktivitas tersebut, harga minyak sawit menjadi jauh lebih murah dibandingkan harga minyak kedelai maupun minyak rapeseed. Tidak hanya itu, karakteristik kebun sawit yang berupa pohon yang produktif mampu menghasilkan minyak sampai umur 25-30 tahun membuat pasokan minyak sawit jauh lebih stabil dan tidak terlalu berpengaruh (dibanding minyak nabati lain) akibat perubahan iklim.
Revolusi pasar minyak nabati dunia (produksi dan konsumsi) yang ditandai dengan munculnya minyak sawit sebagai minyak nabati utama dunia (menggantikan minyak kedelai) juga merembet ke pasar produk hilir minyak nabati dunia. Sebagaimana diketahui, minyak nabati digunakan untuk bahan pangan (oleofood), oleokimia (sabun, deterjen, toiletries, bahan kosmetik) dan biodiesel.
Saat ini, hampir 60 persen dari pangan olahan dunia sudah menggunakan minyak sawit. Demikian pula dengan produk-produk oleokimia yang juga telah menggunakan minyak sawit sebagai bahan bakunya. Bahkan, proporsi campuran minyak sawit sebagai bahan baku dalam biodiesel dunia juga makin meningkat.
Dalam laporan Palm Oil Indonesia disebutkan bahwa ke depan, revolusi pasar minyak nabati dunia termasuk pasar produk hilirnya akan terus berlanjut bahkan makin menguat. Produksi minyak sawit dari "raja" minyak sawit dunia yakni Indonesia masih meningkat terutama karena peningkatan produktivitas. Ditambah lagi, bioavtur, biopremium, bioplastik, dan biopelumas dari minyak sawit akan segera hadir di pasar dunia yang juga akan mewarnai revolusi pasar minyak nabati dunia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: