Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menggali Kemungkinan-kemungkinan Bangkitnya Autokrat di Timur Tengah saat Pandemi Corona

Menggali Kemungkinan-kemungkinan Bangkitnya Autokrat di Timur Tengah saat Pandemi Corona Para petugas kebersihan memakai masker pelindung menyusul penularan virus korona baru, saat merekam menyapu lantai di Mesjid Raya di kota suci Mekah, Arab Saudi, Selasa (3/3/2020). | Kredit Foto: Reuters/Ganoo Essa

Manajemen krisis sarat represi

Rangkaian kebijakan yang diambil pemerintah di seluruh dunia untuk menghambat laju penyebaran virus sebenarnya serupa satu sama lain. Namun rezim autokrat memahami situasi krisis sebagai peluang membetoni kekuasaan mereka melalui strategi yang represif.

Putra mahkota Arab Saudi misalnya menangkap kaum oposan di barisan sendiri, termasuk saudara kandung terakhir ayahnya sendiri, Pangeran Ahmed, dan juga bekas putra mahkota Pangeran Mohammed bin Nayef.

Salah satu kebijakan pertama yang dilancarkan pemerintah di Riyadh adalah mengisolasi distrik Qatif di provinsi timur yang didominasi warga Syiah. Pada saat yang sama rezim Saudi juga terkesan ingin memanfaatkan wabah sebagai jalan keluar dari “petualangan-petualangan politik di luar negeri.“

Baru-baru ini pemerintah memberlakukan gencatan senjata di Yaman. Meski belum jelas apa yang akan terjadi pasca gencatan senjata berakhir, Arab Saudi sejak lama diketahui berusaha mencari jalan keluar dari perang yang tidak hanya membebani keuangan negara, tetapi juga menyisakan cela pada reputasi pemerintah di dalam negeri. (Belum lagi reputasi internasional yang rusak lantaran bencana kemanusiaan di Yaman.)

Sebaliknya Mesir yang memiliki 100 juta penduduk sedang terpojokkan. Sistem kesehatan yang dibiarkan membusuk selama beberapa dekade kini bersanding tangan dengan struktur pemerintahan dan perekonomian yang lemah dan bergantung dari bantuan Dana Moneter Internasional (IMF).

Pemerintah di Kairo berusaha mengulurkan tangan di masa krisis. Presiden Sisi misalnya mengumumkan kenaikan gaji sebesar 75% bagi dokter dan paket ekonomi senilai 100 miliar Pound Mesir atau kurang lebih Rp. 100 triliun, untuk menstabilkan sektor keuangan dan pariwisata.

Pengumuman paket bantuan ekonomi oleh pemerintah dibarengi klaim bahwa mimpi buruk corona akan berakhir dalam tiga pekan yang jatuh pada 30 Maret silam.

Adapun militer Mesir menempatkan diri sebagai juru selamat bagi rakyat dengan memproduksi masker wajah dan baju pelindung, serta menggelar program disinfeksi di ruang-ruang publik yang mengundang sejumlah besar media-media lokal. Penolakan tidak ditolelir. Laporan imparsial didakwa palsu. Dan wartawan asing diusir.

Konsekuensi jangka panjangnya akan menggoyang pondasi perekonomian Mesir, serupa ketika serangan terror 11 September dan aksi kelompok teroris di dalam negeri memangkas devisa dari sektor pariwisata.

Sebagai perbandingan, Mesir mampu lolos dari jerat krisis keiuangan 2008 tanpa banyak mengalami kemunduran, lantaran perekonomian domestik yang tidak banyak bergantung pada pasar internasional.

Kini situasinya berbeda. Sektor pariwisata Mesir lumpuh total. Bahkan devisa dari buruh migran Mesir yang bekerja di kawasan Teluk menyusut drastis. Sementara pendapatan dari Terusan Suez (2019: 5,8 miliar Dollar AS), salah satu pundi-pundi uang paling penting bagi kas negara, bergantung sepenuhnya pada arus perdagangan dunia.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: