Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Rizal Ramli Jadi Sasaran Buzzer Gara-Gara...

Rizal Ramli Jadi Sasaran Buzzer Gara-Gara... Kredit Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Warta Ekonomi, Jakarta -

Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDE), Smith Alhadar, menilai tidak ada yang salah dari pernyataan Rizal Ramli dalam acara Indonesia Lawyers Club pada Selasa, 21 April 2020. Rizal Ramli menjadi sasaran serangan buzzer karena meminta Presiden Joko Widodo untuk berhenti menjadi antek China.

"Dan kenyataannya, Indonesia di bawah rezim Jokowi yang dikomandai Opung Luhut memang telah menjadi antek atau kaki tangan China," kata Smith kepada wartawan, belum lama ini.

Baca Juga: Alamak!! Rizal Ramli Ngaku Diserang 7.000 BuzzerRp, Sampai Teriak: Tolong...

Padahal, lanjut Smith, pada kenyataannya hampir semua kebijakan ekonomi dan politik rezim berorientasi pada persetujuan dan kepentingan Republik Rakyat China. Ini bertujuan menarik sebesar mungkin investasi China.

"Fakta-fakta keras itulah yang membuat Rizal Ramli menarik kesimpulan Indonesia telah menjadi budak China. Dan mendesak rezim Jokowi membalik haluan untuk tidak lagi berorientasi ke Beijing dan kembali ke jati diri sebagai bangsa yang mandiri dalam menjalankan politik luar negerinya, sebagaimana dirumuskan para founding fathers, politik bebas aktif," ujar Smith.

Pandangan Rizal Ramli itu, menurut Smith, adalah pandangan kebangsaan. Sama sekali jauh dari rasisme. Kenyataannya, mendiang istri Rizal Ramli adalah keturunan Tionghoa dan sangat banyak teman-temannya berasal dari etnis ini. Memang RR dikenal sebagai seorang pluralis yang dapat dilihat dari beragamnya orang di sekelilingnya.

"Anak-anak angkat pun berasal dari golongan Protestan dan Katolik. Tak salah kalau ia menuduh para buzzer itu norak," katanya.

Dia mengatakan yang RR tuding itu bukan etnis Tionghoa tapi negara China yang dipimpin Presiden Xi Jinping. Lagipula, sebutan China bagi WNI keturunan di negeri ini telah dihapus secara resmi pada era SBY untuk digantikan dengan sebutan Tionghoa atas permintaan warga keturunan China di negeri ini.

"Tiap kali orang Indonesia menyebut kata China maka yang dimaksud adalah negara RRC," katanya.

Menurut analisis tersebut yang sejalan dengan pandangan RR, bahwa Indonesia bisa menyodok ke urutan keempat kalau rezim Jokowi mengikuti langkah mereka. Yaitu, mereorientasi politik luar negeri yang tidak lagi pro-China dan melepaskan diri dari jerat ketergantungan pada negeri tirai bambu itu, serta pemimpin negara dikelilingi ekonom-ekonom hebat.

"Tuduhan ini tampaknya disengaja, sebagaimana kebiasaan buzzer menjungkirbalikkan logika, untuk membunuh karakter orang-orang yang kritis terhadap rezim," kata Smith.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: