Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali menjadi sorotan usai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II-2019 ke publik belum lama ini (5/5/2020).
Dalam laporan itu, BPK membongkar rapor merah OJK, khususnya terkait pengawasan bank. BPK bahkan menyampaikan bahwa pengawasan OJK terhadap beberapa bank tidak sesuai ketentuan.
"Catatan-catatan BPK tersebut saya kira harus dilihat sebagai masukan konstruktif bagi OJK. Namun, hasil audit mengenai informasi individual bank menurut saya tidak tepat disampaikan ke publik. Terutama sekali di tengah kondisi sistem perbankan kita dalam tekanan yang begitu besar akibat Covid-19 saat ini," kata Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah dalam keterangan tertulisnya kepada redaksi Warta Ekonomi, Jumat (8/5/2020).
Baca Juga: OJK Angkat Bicara Soal Kasus Gagal Bayar Rp10 Triliun KSP Indosurya
Menurut pandangannya, masyarakat seharusnya tidak digiring untuk mempersepsikan hasil audit BPK dan menjadikannya sebagai tolak ukur tingkat kesehatan secara keseluruhan bagi bank-bank tertentu.
Persepsi yang salah atas nama bank dimaksud, jelas Piter, dapat memengaruhi kepercayaan masyarakat yang jika ditangkap secara berlebihan dapat menyebabkan efek berantai pada industri perbankan. Akibatnya, akan membahayakan sistem perbankan.
"Sekali lagi justru pada saat ini kita harus berjuang keras menjaga kestabilan sistem perbankan," katanya menggarisbawahi.
Di tengah pandemi Covid-19 yang menghantam semua negara saat ini, perekonomian Indonesia dalam tekanan dan di ambang resesi. Jika salah langkah, Indonesia bisa jatuh ke jurang krisis.
Ekonom ini menjabarkan bahwa, "untuk menghindari resesi terutama krisis ekonomi, kita sangat memerlukan kekompakan yang didukung oleh semangat yang positif. Termasuk di antaranya dalam melihat kondisi perbankan kita saat ini. Kita harus yakin sistem perbankan kita kuat dan akan mampu melalui masa-masa sulit di tengah Covid-19."
Piter bilang kinerja perbankan sampai Maret masih terbilang stabil dan positif. Berdasarkan data publikasi OJK, kredit perbankan tumbuh sebesar 7,95% yoy, DPK tumbuh 9,54% yoy. Lalu, permodalan dan likuiditas masih memadai dengan CAR sebesar 21,77% dan rasio alat likuid atau non-core deposit terpantau di level 112,90%. Profil risiko pun terjaga dengan NPL sebesar 2,77%.
"Stabilitas sistem perbankan ini tidak bisa dilepaskan dari pengawasan bank yang dilakukan secara prudent yang sudah dirintis pascakrisis 1998/1999 oleh Bank Indonesia (BI) dan kemudian diteruskan oleh OJK," ujarnya.
Di tengah pandemi Covid-19 saat ini, Indonesia, lanjut Piter, membutuhkan OJK untuk bisa fokus dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, khususnya sistem perbankan. Dia pun mengingatkan OJK untuk bekerja keras mengurangi tekanan NPL perbankan melalui kebijakan pelonggaran restrukturisasi kredit.
Baca Juga: Tok! BRI Turunkan Bunga Kartu Kredit, Ini Penjelasannya
Dengan adanya kelonggaran restrukturisasi kredit, yang dimulai sejak Maret, bank bisa menghindari terjadinya permasalahan permodalannya mengingat kredit yang direstrukturisasi dikategorikan lancar.
Di sisi lain, restrukturisasi kredit juga akan mengurangi beban likuiditas dunia usaha. Dengan adanya kebijakan ini, dunia usaha akan terbantu untuk bisa bertahan hingga Covid-19 usai.
"Saya sebenarnya enggak mau berpihak, tapi di tengah wabah Covid-19 sekarang ini kita membutuhkan OJK untuk fokus. Jangan ditambah kegaduhan. Akan sangat bahaya kalau sekarang ini masyarakat kehilangan kepercayaan kepada perbankan," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti