- Home
- /
- EkBis
- /
- Agribisnis
Karena Integrasi Sawit-Sapi, Wayan Supadno Ketiban Untung Berkelanjutan Bak Kereta Api
Kredit Foto: Antara/FB Anggoro
Wayan Supadno, mantan perwira TNI Angkatan Darat, kini telah menjelma menjadi petani sawit sukses yang memiliki profit margin tinggi karena telah menerapkan pola integrasi sawit-sapi di lahan perkebunan kelapa sawit miliknya. Dengan pola integrasi tersebut, biaya produksi dapat ditekan.
Kotoran sapi yang diternakkan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik, sedangkan gulma di perkebunan kelapa sawit dapat dijadikan sebagai pakan ternak sehingga biaya herbisida dapat diminimalisasi. Bukan kaleng-kaleng, dari hitungan Wayan diketahui bahwa dengan pola integrasi ini, biaya pokok produksi petani yang sekitar Rp900/kg dapat ditekan menjadi hanya Rp400/kg.
Baca Juga: Pandemi Covid-19 Tak Bikin Goyah, Ekspor Cangkang Sawit Indonesia ke Jepang Makin Bergairah
Wayan mengungkapkan, "Profit harus dinikmati petani sawit. Untuk membasmi gulma itu butuh biaya, padahal gulma bisa menjadi rezeki buat kita (petani). Penting sekali menerapkan perkebunan yang terintegrasi dengan sapi kalau ingin berkelanjutan. Biaya produksi dapat ditekan dan produktivitas meningkat."
Lebih lanjut Wayan mengatakan, "Karena 60 persen biaya pokok produksi itu dikontribusikan dari pemakaian pupuk dan herbisida, ini tidak bisa dimungkiri. Jika 60–65 persen biaya tadi berkurang, pendapatan petani meningkat tajam."
Saran dari Wayan ini bukanlah sebatas teori saja. Ia sudah menerapkan pola integrasi sawit-sapi di kebun sawitnya yang berlokasi di Desa Pasir Panjang, Pangkalanbun, Kalimantan Tengah. Pola ini telah dijalankan semenjak dua tahun lalu dan hingga sekarang ia berhasil mengelola 60 ekor sapi di kebunnya.
Hingga saat ini, usaha perkebunan kelapa sawit Wayan telah tersebar di tiga lokasi, yakni di Pangkalanbun (Kalimantan Tengah), Banyuwangi (Jawa Timur), dan Bogor. Tidak hanya itu, aset yang dimilikinya juga telah mencapai Rp150 miliar.
Sedikit nostalgia, Wayan bercerita awal mulanya mengenal sawit sejak akhir 1995 di Pematang Siantar. "Pertama kali, saya nebus (membeli) lahan 2,5 hektare dari petani transmigrasi. Di Sulawesi, orang tua sempat transmigrasi, tetapi gagal. Lalu, saya ajak orang tua ke Kandis, Riau, membeli lahan kaplingan plasma seharga Rp3,5 juta dengan luas 2 hektare kebun buah pasir dan 0,5 hektare pekarangan rumah. Di situ saya mengenal sawit. Lho kok enak, kemudian saya beli lagi 3 kapling. Terus berkembang dari 40 hektare menjadi 700 hektare," tuturnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: