Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ambang Masuk Parlemen 7% Digaungkan, Demokrat: Persoalannya...

Ambang Masuk Parlemen 7% Digaungkan, Demokrat: Persoalannya... Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Wacana menerapkan ambang masuk parlemen atau parliamentary threshold (PT) 7% pada Pemilu 2024 mulai mengemuka. Wacana PT 7% mencuat beberapa waktu lalu.

Wacana itu muncul dari Partai Nasdem dan Partai Golkar. Golkar berargumen bahwa PT sebesar itu untuk memperkuat konsolidasi demokrasi di DPR, bukan untuk menyingkirkan partai papan tengah.

Baca Juga: Khofifah Vs Risma, Demokrat: Saran Kami, Selamatkan Rakyat!

Sekadar informasi, Pemilu 2019 mematok PT 4%. Dari hasil pemilu tersebut, sembilan partai memenuhi syarat masuk parlemen, yakni PDIP, Gerindra, Golkar, Partai Demokrat, Partai Nasdem, PKB, PKS, PAN, PPP. Sementara, Hanura diharus tersingkir karena suaranya tidak memenuhi syarat tersebut.

Menanggapi wacana penerapan PT 7%, Partai Demokrat menyatakan tidak masalah. Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat, Andi Arif, mengungkapkan bahwa wacana itu bukan sesuatu yang mengkhawatirkan bagi partainya. Apalagi, sejak Pemilu 2004 hingga 2019, suara Demokrat berkisar 7%-20%.

Andi menilai penerapan PT sebesar itu justru akan memengaruhi eksistensi partai berbasis Islam di parlemen nantinya. Menurut dia, higga kini ceruk suara partai Islam sebesar 30% belum berubah.

"Soal ide PT 7% DPR bagi partai Demokrat tak masalah, sejak 2004-2019 7-20% juara. Persoalannya adalah ceruk partai berbasis agama itu 30 persen belum berubah. Sangat mungkin terjadi dua partai Islam hilang. Pluralisme itu memberi tempat dengan kemudahan, bukan membunuhnya. Demokrat tidak merasa khawatir," kata Andi melalui aku Twitternya, @AndiArief_, Minggu (31/5/2020).

Wacana menaikkan PT 7% juga menjadi sorotan lembaga kepemiluan. Beberapa waktu lalu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai bahwa untuk menyederhanakan sistem kepartaian tidak hanya bisa dilakukan dengan menaikkan ambang batas.

Ambang batas, menurutnya, memang bisa secara cepat mengurangi jumlah partai yang bisa masuk Parlemen. Namun, juga bisa membawa dampak kurang baik bagi penyelenggaraan pemilu.

"Makin tinggi ambang batas, partai makin sulit untuk bisa dapat kursi dan mengirim wakil-wakilnya masuk Parlemen," tutur Titi pada 13 Maret lalu.

Titi menyebutkan, akibat dari ambang batas yang makin tinggi bisa mengakibatkan pemilu di Indonesia makin disproporsional. Artinya, perolehan suara yang diperoleh partai tidak seimbang dengan perolehan kursinya saat dilakukan konversi suara menjadi kursi. Terlebih, Indonesia masih menganut sistem proporsional.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: