Gegara UU Baru, Aktivitas Politik Pelajar Hong Kong Dikebiri
Tahun lalu, ribuan pelajar berunjuk rasa menentang Rancangan Undang Undang (RUU) ekstradisi dan terlibat bentrok dengan petugas keamanan. Sedikitnya 1.600 pelajar ditangkap karena melakukan aksi kekerasan.
Melalui peristiwa itu, pemerintah Hong Kong melarang pelajar terlibat dalam aksi unjuk rasa, terutama yang berkaitan dengan perlawanan terhadap sistem pemerintahan China. Tugas itu kini diemban petugas keamanan nasional yang disahkan awal bulan ini.
Baca Juga: UU Keamanan Berlaku, Aktivis Pro Demokrasi Tinggalkan Hong Kong
Kantor Keamanan Nasional China yang dibuka di Hong Kong belakangan ini memiliki akses legal untuk menindak warga Hong Kong yang melakukan tindakan merugikan, penghasutan, perpecahan, dan ujaran kebencian terhadap pemerintah Hong Kong ataupun China.
Para petugas keamanan menyatakan hanya akan menindak mereka yang bersikap radikal dan keras kepala. Menurut pemerintah China dan Hong Kong, UU keamanan baru ditujukan untuk menstabilkan kondisi kawasan. Namun menurut aktivis, UU itu mengekang kebebasan.
Kedaulatan Hong Kong diserahkan Inggris kepada China pada 1997. Saat itu, kedua belah pihak sepakat untuk memberlakukan satu negara dua sistem setidaknya dalam 50 tahun. Namun, UU baru mencoreng beberapa nilai kesepakatan tersebut.
Protes pengesahan UU itu berlangsung sampai sekarang. Di beberapa sekolah, para siswa juga turut mendukung aksi pengunjuk rasa dengan menyanyikan lagu Glory to Hong Kong dan menolak menyanyikan lagu kebangsaan China.
Menteri Pendidikan Kevim Yeung kini mendesak seluruh lembaga sekolah untuk menindak aksi seperti itu.
"Lagu Glory to Hong Kong sangat berkaitan dengan insiden politik dan sosial, kekerasan, dan tindakan ilegal yang terjadi selama beberapa bulan," kata Yeung, dikutip Reuters.
"Pihak sekolah tidak boleh membiarkan siswanya memainkan, menyanyikan, atau menyiarkannya dari sekolah," tambahnya.
Pemerintah Hong Kong juga melarang pelajar terlibat aksi perlawanan terhadap pemerintah dalam berbagai bentuk, mulai kombinasi simbol hingga ungkapan politik. Pekan lalu, buku-buku prodemokrasi diberangus dari perpustakaan umum.
Sementara itu, Hong Kong berpeluang memiliki nasib yang sama dengan Tibet setelah Undang-undang keamanan diamandemen sehingga menyebabkan semua aktivitas independen akan dikriminalisasi. Hal itu diungkapkan tokoh Tibet Lobsang Sangay.
Sangay mengatakan, China berupaya memperkuat kekuasaannya di Hong Kong dan menghalangi penduduk lokal memproklamasikan diri merdeka. Sama seperti Hong Kong, Tibet juga sebelumnya merupakan kawasan istimewa sebelum dikekang konstitusi pada 1951.
"China pernah memberikan janji akan menjunjung tinggi keinginan dan kewenangan rakyat Tibet di bawah kesepakatan 17 poin yang ditandatangani tujuh dekade lalu," kata Sangay, dikutip CNN.
"Kenyataannya sebaliknya, China justru menerapkan aturan yang mengekang kebebasan rakyat mantan kerajaan Himalaya itu," tambahnya.
Sangay menambahkan, pendudukan China di wilayah Tibet ditaklukkan secara tersistem. Hal ini mirip dengan kondisi sekarang di Hong Kong. Meski UU keamanan terbaru diperuntukkan bagi kriminal, sebagian besar isi UU itu ialah tentang pemberantasan separatisme.
"Jika Anda membaca sejarah, program satu negara dua sistem juga pernah dijanjikan kepada rakyat Tibet. Namun, pasca-perjanjian, setiap isi dari 17 poin telah dilanggar," kata Sangay.
"Seperti itu pula dengan Hong Kong saat ini. Semua aturan dasar dan perjanjian telah dilanggar," tambahnya.
Sangay yang juga merupakan lulusan Harvard University dan kini mengasingkan diri ke India menilai UU keamanan terbaru juga akan membatasi kebebasan berekspresi. Setiap karya seni yang dianggap mengandung perlawanan terhadap sistem negara, kemungkinan akan diberedel.
Tokoh besar Dalai Lama juga kabur setelah kerusuhan anti-kekuasaan China bergejolak pada 1959. Menurut Sangay, rakyat Hong Kong memiliki hak dasar kemanusiaan dan demokrasi. Sayangnya, UU keamanan terbaru sudah diimplementasikan.
Sangay bersama para pengikutnya melarikan diri menuju Himalaya kawasan India. Sebagai bentuk pencarian dukungan India dan perlawanan terhadap China, para pemberontak Tibet meminta India untuk tidak mempercayai klaim China di Himalaya.
Pasukan penjaga perbatasan China dan India telah terlibat bentrok di Ladakh, bulan lalu. Sebanyak 20 tentara India dilaporkan tewas dalam baku hantam tersebut. Pemerintah India juga menyatakan, tentara China merusak infrastruktur dan tenda tentara India.
China dan India telah menghadapi sengketa wilayah di Himalaya. Konflik tersebut sudah terjadi sejak lebih dari enam dekade lalu. Kedua pihak pernah terlibat berbagai bentrokan, termasuk kerusuhan antarpenjaga perbatasan sejak 1962.
"Tak ada pihak yang ingin terlibat dalam perang. Kami juga tidak ingin berperang. Kami justru menginginkan perdamaian di kawasan," kata Sangay.
"Namun, China ingin menjadi negara nomor satu di Asia dan dunia. Mereka tidak mungkin mengalah atau mundur karena tak ingin kehilangan kehormatan."
Sangay juga menuduh aplikasi sosial buatan China sarat dengan penyadapan intelijen. Dia menilai keputusan India untuk memblokade 57 aplikasi buatan China sangat tepat. Sebab, aplikasi tersebut dapat mengancam keamanan negara.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: