Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Erick Thohir Tagih Utang ke Kementerian Sri Mulyani Rp113 Triliun

Erick Thohir Tagih Utang ke Kementerian Sri Mulyani Rp113 Triliun Kredit Foto: Antara
Warta Ekonomi -

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berharap Kementerian Keuangan (Kemenkeu) segera mencairkan utang ke tujuh perusahaan pelat merah senilai Rp113 triliun juga memberikan dana talangan hingga penyertaan modal negara (PMN) tahun 2020.

Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan perusahaan BUMN berkontribusi kepada negara dengan menyetorkan pajak sebesar Rp55,51 triliun di kuartal I-2020.

Termasuk, setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp31,43 triliun. Karenanya, dukungan pemerintah melalui pencairan utang, dana talangan, dan pemberian PMN sangat penting untuk menjaga cash flow perusahaan BUMN yang terimbas pandemi Covid-19.

"Dengan kerendahan hati, utang yang kami tagihkan pada pemerintah sangat amat diperlukan agar BUMN bisa terus menjaga pelayanan kepada publik," ujar Erick di Jakarta, belum lama ini.

Baca Juga: Ketika Erick Thohir Memohon-mohon pada Komisi VI DPR

Menurutnya, penagihan utang dilakukan karena hal itu merupakan kompensasi atas penugasan pemerintah yang dijalankan BUMN dan belum dibayarkan dalam dua hingga tiga bulan terakhir.

Adapun rincian utang tujuh BUMN yakni utang kepada PT PLN (Persero) sebesar Rp48,46 triliun yang merupakan biaya kompensasi dari public service obligation (PSO), subsidi, dan kompensasi tarif listrik yang belum terbayarkan selama tiga tahun terakhir.

Lalu, utang kepada PT Pertamina (Persero) sebesar Rp45 triliun yang juga merupakan PSO subsidi dan kompensasi BBM yang dilakukan perseroan. Utang Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) atas pembebasan lahan pembangunan jalan tol yang telah diakuisisi sejak 2016 kepada BUMN karya sebesar Rp12,16 triliun.

Serta utang kepada PT Pupuk Indonesia (Persero) sebesar Rp6 triliun atas PSO yang dijalankan perseroan dan utang kepada Kimia Farma sebesar Rp1 triliun yang merupakan utang BPJS Kesehatan atas penugasan penanganan Covid-19.

Selain itu, utang kepada Perum Bulog sebesar Rp560 miliar yang juga merupakan PSO dan utang kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) Rp300 miliar atas PSO dan subsidi kereta api perintis.

Atas rincian itu, Komisi VI DPR menyetujui usulan pencairan utang pemerintah pada BUMN. Terkait dengan dana pinjaman, Wakil Ketua Komisi VI DPR Arya Bima meminta agar Menteri BUMN harus menerapkan good corporate governance (GCG) di setiap BUMN. Juga melakukan pengawasan secara berkala atas penggunaan dana pinjaman agar sesuai dengan rencana bisnis yang telah disepakati.

"Komisi VI DPR menyetujui dana pinjaman yang diajukan BUMN dan akan diberikan dalam bentuk MCB (Mandatory Convertible Bond) atau obligasi wajib konversi," katanya.

Ia menuturkan dana talangan dalam bentuk MBC diberikan kepada dua BUMN sebesar Rp11,5 triliun, terdiri atas Rp8,5 triliun untuk PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dan Rp3 triliun untuk PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.

"Alasannya, Garuda dan Krakatau Steel sama-sama memiliki saham publik," ujar Arya.

Ia kemudian menggarisbawahi, dalam penggunaan dana talangan harus sesuai yang disepakati di mana Garuda Indonesia akan menggunakannya sebagai modal kerja, sementara Krakatau Steel akan memberikan relaksasi bagi industri hilir dan industri pengguna.

Di kesempatan yang sama, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menjelaskan skema MCB diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 dan PP 63 Tahun 2019 tentang Investasi Pemerintah. Nantinya, pemerintah akan menempatkan dana di PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) yang akan memberi pinjaman ke Garuda Indonesia dan Krakatau Steel.

"Jadi, ada two step loan. Dan ini belum final, masih proses," jelas Tiko, sapaan akrab Kartika Wirjoatmodjo.

Sebelumnya, skema dana talangan menggunakan MCB diusulkan oleh Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra di mana pemerintah menjadi standby buyer.

"Manajemen harus melakukan upaya semaksimal mungkin untuk bisa memastikan perusahaan ini bisa dijaga kelangsungannya," katanya di Jakarta, Selasa (14/7/2020).

Adapun tenor pinjaman adalah tiga tahun agar perseroan bisa melakukan pembenahan di struktur keuangan terlebih dulu.

"Kami harus memastikan juga punya cost structure dan fundamental revenue yang kuat ke depannya dan memastikan perusahaan ini bisa bersaing dan menghasilkan laba yang memadai," tukasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: