Ahli virologi percaya bahwa kutu Asia yang disebut Haemaphysalis longicornis adalah vektor atau pembawa utama virus. Penyakit ini diketahui menyebar antara Maret dan November. Para peneliti telah menemukan bahwa jumlah total infeksi umumnya mencapai puncaknya antara April dan Juli.
Peternak, pemburu, dan pemilik hewan peliharaan sangat rentan terhadap penyakit ini karena mereka sering bersentuhan dengan hewan yang mungkin membawa kutu Haemaphysalis longicornis.
Para ilmuwan telah menemukan bahwa virus sering ditularkan ke manusia dari hewan seperti kambing, sapi, rusa, dan domba. Meskipun terinfeksi oleh virus, hewan umumnya tidak menunjukkan gejala yang terkait dengan SFTSV.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti China pada 2011, masa inkubasi antara tujuh hingga 13 hari setelah timbulnya penyakit. Pasien yang menderita penyakit ini biasanya mengalami berbagai macam gejala, termasuk demam, kelelahan, kedinginan, sakit kepala, limfadenopati, anoreksia, mual, mialgia, diare, muntah, sakit perut, perdarahan gingiva, kongesti konjungtiva, dan sebagainya.
Beberapa tanda peringatan dini penyakit ini yaitu demam parah, trombositopenia atau jumlah trombosit yang rendah, dan leukositopenia, yaitu jumlah sel darah putih yang rendah. Faktor risiko yang diamati pada kasus yang lebih serius termasuk kegagalan multi-organ, manifestasi hemoragik dan munculnya gejala sistem saraf pusat (SSP).
Virus ini juga menyebar ke negara Asia Timur lainnya, termasuk Jepang dan Korea Selatan (Korsel). Sejak virus pertama kali ditemukan, jumlah kasus telah meningkat secara signifikan.
Pada 2013, sebanyak 36 kasus dilaporkan di Korsel. Jumlah itu meningkat tajam menjadi 270 pada 2017. Sementara itu, China mendaftarkan 71 kasus pada 2010 dan 2.600 pada 2016. Jumlah infeksi yang dilaporkan di Jepang meningkat 50 persen antara 2016 dan 2017, laporan Nature menyatakan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: