Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Dearest Sawit, Emas Hijau untuk Ekologi yang Sempat Terhimpit

Dearest Sawit, Emas Hijau untuk Ekologi yang Sempat Terhimpit Pekerja mengangkut tandan buah segar kelapa sawit hasil panen di PT Ramajaya Pramukti di Kabupaten Siak, Riau, Rabu (2/10/2019). Masalah perang dagang Amerika Serikat dengan China dan kampanye hitam dari negara-negara Uni Eropa bahwa sawit tidak ramah lingkungan masih menjadi faktor utama yang menyebabkan harga CPO atau minyak sawit mentah fluktuatif di pasar internasional. | Kredit Foto: Antara/FB Anggoro
Warta Ekonomi, Jakarta -

Jika ditinjau di media sosial, isu dan komentar negatif terhadap industri perkebunan kelapa sawit Indonesia masih banyak ditemukan. Sebagian kecil masyarakat masih saja merasa panas saat mendengar dan membahas industri perkelapasawitan di Indonesia sekalipun yang dibeberkan ialah fakta dan data empiris.

Masyarakat golongan ini biasanya terlanjur termakan hoaks sehingga paradigma negatif sudah tertanam dipikirannya. Tudingan terkait kerusakan lingkungan dan deforestasi akibat ekspansi lahan sawit sepertinya masih menjadi isu yang digembar-gemborkan oleh haters sawit untuk melumpuhkan posisi komoditas strategis ini.

Data Statistik Kehutanan mencatat bahwa pada 1985, luas kebun kelapa sawit Indonesia baru mencapai 597.000 hektare dan pada 2000, luas kebun sawit mencapai 4,1 juta hektare. Pada 2000 inilah pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia secara intensif mulai dilakukan.

Baca Juga: Eng-Ing-Eng... Ada Kabar Baik dari Pandemi untuk Oleokimia Sawit

Perlu diingat bahwa selama periode 1950–2013 disebut sebagai era logging (penebangan kayu alam) yang telah menghilangkan sekitar 73,2 juta hektare hutan Indonesia. Kegiatan logging yang masif dan intensif, khususnya di Pulau Suamtera, Kalimantan, dan Sulawesi pada periode tersebut mengakibatkan banyaknya eks-hutan yang mengalami degradasi, berubah menjadi semak belukar dan terlantar.  

Kegiatan logging di daerah-daerah eks-logging tersebut menyisakan ekosistem yang rusak, semak belukar, kantong-kantong kumuh, hingga masyarakat lokal yang miskin dan terbelakang. Tidak heran jika pada akhirnya perekonomian di daerah eks-logging tidak berkembang dan bahkan menjadi kota mati atau kota hantu (ghost town).

Terlihat jelas bahwa kegiatan deforestasi (konversi hutan menjadi non-hutan) melalui kegiatan logging sudah lebih dahulu terjadi jauh sebelum ekspansi perkebunan kelapa sawit dilakukan.

Jika ditelusuri asal usul lahan sawit di Indonesia berdasarkan data citra satelit, ternyata kurang dari 20 persen lahan sawit di Indonesia yang berasal dari konversi hutan eks-logging menjadi kebun sawit.

Sementara sisanya berasal dari konversi lahan sektor lain (yang jauh sebelumnya telah dikonversi menjadi non-hutan seperti lahan transmigrasi dan lahan terlantar/semak belukar). Data tersebut semakin meyakinkan bahwa perkebunan kelapa sawit bukan pemicu utama bahkan secara neto tidak berasal secara langsung dari hutan.

Berbeda dengan kegiatan logging yang mendegradasi ekonomi dan ekologi, perkebunan kelapa sawit hadir sebagai jawaban untuk menghijaukan kembali ekonomi dan ekologi Indonesia, khususnya daerah eks-logging.

Dengan kata lain, apabila kegiatan logging di masa lampau menyisakan emisi karbondioksida dari pemanfaatan kayu yang besar, mematikan proses produksi oksigen, serta mengurangi biomassa hutan, perkebunan kelapa sawit justru melakukan hal sebaliknya.

Jika kegiatan logging mengakibatkan sumber daya daerah terkuras, menciptakan kemiskinan hingga mematikan ekonomi daerah, perkebunan kelapa sawit justru mereinvestasikan modal, menciptakan pendapatan, menurunkan kemiskinan, mendekatkan sumber-sumber ekonomi bagi masyarakat lokal, dan menggerakkan serta mengembangkan perekonomian daerah dan nasional.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: