Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Edan! Ini Kementerian yang Paling Banyak Gunakan Influencer

Edan! Ini Kementerian yang Paling Banyak Gunakan Influencer Kredit Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Warta Ekonomi, Jakarta -

Indonesian Corruption Watch (ICW) mengungkapkan pemerintah telah menghabiskan dana Rp 90,45 miliar untuk belanja jasa influencer. Dana puluhan miliar itu digunakan pemerintah pusat mulai dari 2017 hingga 2020.

Angka tersebut didapat dari hasil penelusuran ICW pada situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) sejumlah kementerian dan lembaga. Pengumpulan data dilakukan pada 14 hingga 18 Agustus 2020 menggunakan kata kunci media sosial atau social media, influencer, key opinion leader, komunikasi dan Youtube.

Baca Juga: Boros di Tengah Pandemi, Jokowi Pakai Jasa Influencer Sampai...

"Terdapat 34 Kementerian, 5 LPNK, dan 2 lembaga penegak hukum yakni, Kejaksaan RI dan Kepolisian RI," kata peneliti ICW Egi Primayogha di Jakarta, Kamis (20/8).

Penelusuran ICW mengutamakan kata kunci Influencer dan Key Opinion Leader. Berdasarkan penulusuran dengan dua kata kunci tersebut, ditemukan 40 paket pengadaan dengan jumlah anggaran belanja mencapai Rp 90,45 miliar. Egy mengatakan, anggaran belanja untuk influencer semakin marak sejak 2017.

Dari total Rp 90,45 miliar, Kementerian Pariwisata diketahui menjadi lembaga negara terbanyak yang melakukan belanja jasa influencer. Sedikitnya ada 22 paket pengadaan dengan total belanja mencapai Rp 77,66 miliar.

Kementrian selanjutnya adalah Pendidikan dan Kebudayaan dengan 12 paket pengadaan dengan total belanja Rp 1,6 miliar. Diikuti oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan empat pengadaan senilai Rp 10,83 miliar, Kementerian Perhubungan ada satu pengadaan senilai Rp 195,8 juta dan Kementerian Pemuda dan Olahraga dengan satu pengadaan senilai Rp 150 juta.

Dia menilai bahwa tren penggunaan influencer dapat membawa pemerintah pada kebiasaan mengambil jalan pintas. Misalnya guna memuluskan sebuah kebijakan publik yang tengah disusun, maka pemerintah menggunakan jasa influencer untuk memengaruhi opini publik.

"Hal ini tidak sehat dalam demokrasi karena berpotensi mengaburkan substansi kebijakan yang tengah disusun dan kemudian berakibat pada tertutupnya ruang percakapan publik," katanya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Bagikan Artikel: