Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Nasib 5 Perusahaan Milik Sandiaga Uno: Yang Untung Ada, Yang Buntung Juga Ada!

Nasib 5 Perusahaan Milik Sandiaga Uno: Yang Untung Ada, Yang Buntung Juga Ada! Kredit Foto: Instagram @sandiuno
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sandiaga Salahuddin Uno memulai kiprahnya sebagai politikus sejak mencalonkan diri menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta bersama dengan Anies Baswedan. Jauh sebelum terjun ke dunia politik, Sandiaga Uno telah lama berkecimpung di dunia bisnis dan bahkan menjadi salah satu pebisnis yang sukses dari kalangan milenial.

Baca Juga: 6 Perusahaan Grup Astra Milik Konglomerat William Soeryadjaya: Cuma Satu yang Kebal Pandemi

Saratoga adalah salah satu contoh keberhasilan Sandiaga Uno di dunia bisnis. Bersama dengan Edwin Soeryadjaya, Sandiaga mendirikan Saratoga pada tahun 1997 silam. Menariknya, Saratoga ternyata bukan satu-satunya perusahaan milik Sandiaga karena masih ada sejumlah perusahaan terbuka lainnya yang juga dimiliki oleh Sandiaga itu.

Lantas, perusahaan apa sajakah itu dan bagaimana kinerja keuangan masing-masing emiten sepanjang semester pertama tahun 2020? Mampukah semuanya menang melawan Covid-19, simak ulasan berikut ini.

1. Saratoga Investama Sedaya

PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG) harus menelan pil pahit sepanjang paruh pertama tahun 2020. Pasalnya, di tengah pandemi Covid-19, Saratoga menanggung rugi bersih sebesar Rp2,09 triliun per Juni 2020. Capaian tersebut sangat bertolak belakang dengan Juni 2019 lalu, di mana Saratoga berhasil untung sebesar Rp3,19 triliun.

Baca Juga: Nasib Perusahaan Milik Konglomerat Sri Prakash Lohia, Miliarder ke-4 RI: Indorama Synthetics

Merujuk ke laporan keuangan perusahaan, kinerja semester I 2020 yang berbalik menjadi negatif disebabkan oleh kerugian bersih atas investasi di saham dan efek ekuitas lainnya yang menembus Rp2,81 triliun. Padahal, pada tahun sebelumnya, Saratoga tercatat untung hingga Rp2 triliun. 

Bukan cuma itu, pendapatan perusahaan dari dividen, bunga, dan investasi juga merosot tajam, yakni dari yang sebelumnya Rp1,61 triliun per Juni 2019 menjadi hanya Rp646,07 miliar per Juni 2020. Pendapatan lainya juga ikut terkoreksi secara tahun ke tahun, yaitu dari Rp25,59 miliar menjadi hanya Rp2,70 miliar.

Jika dibedah, kerugian terbesar atas investasi saham dan ekuitas bersumber dari saham sumber daya alam yang angkanya menembus Rp1,46 triliun, di mana tahun sebelumnya tercatat untung sebesar Rp1,72 triliun. Kerugian terbesar berikutnya adalah dari saham infrastruktur, yakni menembus Rp950,59 miliar, sedangkan tahun lalu untung sebesar Rp272,22 miliar.

Investasi saham di produk konsumen juga tercatat rugi, yakni dari rugi Rp109,34 miliar pada Juni 2019 menjadi rugi Rp343,05 pada Juni 2020. Meskipun begitu, Saratoga masih mencatatkan keuntungan atas investasi efek lainnya sebesar Rp30,74 miliar, turun dari keuntungan tahun lalu yang mencapai Rp123,01 miliar.

Kinerja keuangan kian tertekan ketika beban usaha membengkak dari Rp88,07 miliar pada semester pertama tahun 2019 menjadi Rp107,89 miliar pada semester pertama tahun 2020. Ditambah lagi, jika tahun lalu Saratoga mengantongi keuntungan selisih kurs sebesar Rp49,10 miliar, keadaan pada awal tahun ini berbalik menjadi rugi sebesar Rp54,32 miliar.

2. Tower Bersama Infrastructure

Kinerja PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) menjadi yang paling bersinar di antara perusahaan milik Sandiaga lainnya. Bagaimana tidak, di tengah pandemi Covid-19, TBIG berhasil mendongkrak signifikan laba bersih hingga 33,58%. Jika Juni 2019 lalu laba bersih TBIG hanya Rp382,14 miliar, angkanya bertumbuh menjadi Rp510,48 pada Juni 2020.

Lonjakan keuntungan bersih itu tidak terlepas dari positifnya pendapatan perusahaan sepanjang enam bulan pertama tahun ini. Dilansir dari laporan keuangan perusahaan, pendapatan TBIG naik 13,16% dari Rp2,28 triliun per Juni tahun lalu menjadi Rp2,58 triliun per Juni tahun ini.

Kontribusi pendapatan dari Telkomsel menjadi yang terbesar, yakni hingga 39,76% dari total pendapatan. Secara tahun ke tahun, pendapatan tersebut naik dari Rp1,01 triliun menjadi Rp1,02 triliun. Pendapatan dari Indosat juga bertumbuh dari Rp494,13 miliar menjadi Rp550,88 miliar atau setara dengan 21,37% dari total pendapatan perusahaan. Kontributor berikutnya adalah pendapatan dari Hutchison 3 Indonesia sebesar Rp370,16 miliar dan dari Smartfren Telecom yang mencapai Rp172,36 miliar pada semester I 2020.

CEO TBIG, Hardi Wijaya Liong, mengungkapkan bahwa sepanjang periode semester I 2020, perusahaan berhasil mencetak pertumbuhan organik yang positif. Hal itu tercermin dari bertambahnya penyewaan kotor sebesar 2.517 tenant. Angka tersebut terdiri atas 370 sites telekomunikasi dan 2.147 kolokasi. Jika ditotal, TBIG membukukan penyewaan sebanyak 31.039 dengan jumlah sites telekomunikasi sebanyak 15.893.

"Seiring dengan pelanggan telekomunikasi kami yang berfokus pada densifikasi dan perluasan jaringan 4G mereka, kami mendapat permintaan kolokasi yang kuat, di mana meningkatkan rasio kolokasi (tenancy ratio) menjadi 1,96," jelas CEO TBIG, Hardi Wijaya Liong, Jakarta, Senin, 28 September 2020.

Lebih lanjut, Hardi menyebut bahwa selama pandemi Covid-19, TBIG senantiasa membantu pelanggan telekomunikasi dalam memperluas jaringan mereka. Sebagai catatan, secara geografis penyebaran jaringan tower TBIG masih didominasi di wilayah Pulau Jawa dan Bali yang angkanya mencapi 57% dari keseluruhan. Penyebaran berikutnya meliputi Sumatra (27%), Kalimantan (7%), dan Indonesia Timur (9%).

"Kami beroperasi sambil mengambil langkah-langkah tambahan untuk memastikan  kami menjaga kesehatan karyawan kami selama  masa-masa yang tidak pasti ini," lanjutnya lagi.

3. Adaro Energy

Sandiaga tercatat memiliki saham di perusahaan pertambangan milik Garibaldi Thohir, yakni PT Adaro Energy Tbk (ADRO). Seperti kebanyakan emiten pertambangan lainnya, kinerja Adaro pada paruh pertama tahun ini terbilang tak maksimal. 

Hal itu tercermin melalui anjloknya laba bersih ADRO sedalam 47,75% dari US$298,86 juta atau setara Rp4,38 triliun pada semester I 2019 menjadi US$155,09 juta atau setara Rp2,27 triliun pada semester I 2020. Penurunan laba bersih tersebut terimbas dari pendapatan perusahaan yang terkoreksi pada paruh pertama tahun ini.

Dilansir dari laporan keuangan perusahaan, Adaro tercatat mengantongi pendapatan sebesar US$1,36 miliar (setara Rp19,99 triliun) pada semester pertama tahun 2020. Capaian tersebut menurun 23% dari semester pertama tahun 2019 yang kala itu mencapai US$1,77 miliar (setara Rp26,01 triliun). 

Dari total pendapatan tersebut, sektor pertambangan menyumbang sebesar US$1,26 miliar atau 23% lebih rendah dari kontribusi tahun lalu yang mencapai US$1,64 miliar. Sumbangsih dari sektor jasa pertambangan juga menurun 28% secara tahunan, yakni dari US$103 juta menjadi US$74 juta. Begitu pun dengan kontribusi pendapatan lainnya yang ikut turun sedalam 27% dari US$37 juta menjadi US$27 juta.

Presiden Direktur dan CEO ADRO, Garibaldi Thohir, mengaku bahwa koreksi pendapatan dan laba perusahaan merupakan imbas dari menurunnya volume penjualan batu bara seiring dengan pemberlakuan lockdown di negara-negara pengimpor batu bara. Dengan kondisi tersebut, permintaan terhadap komoditas batu bara pun ikut menurun pada semester I 2020 ini.

Ia melanjutkan, perlambatan ekonomi global dan penurunan aktivitas industri menjadi tantangan besar bagi ADRO sepanjang enam bulan pertama tahun ini. Meski begitu, ia menilai perusahaan mampu mengupayakan kinerja secara maksimal di tengah tantangan yang ada.

"Kita tidak dapat memungkiri bahwa kinerja Adaro pada 1H20 tidak kebal dari dampak penurunan permintaan batu bara yang terjadi karena wabah Covid-19. Namun, kami tetap memaksimalkan upaya untuk terus berfokus pada keunggulan operasional bisnis inti perusahaan, meningkatkan efisiensi dan produktivitas operasi, menjaga kas, dan mempertahankan posisi keuangan yang solid di tengah situasi sulit yang berdampak terhadap sebagian besar dunia usaha," pungkasnya dalam keterangan resmi, Selasa, 29 September 2020.

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa ADRO akan tetap fokus pada pengendalian biaya dan pemertahanan oprasional yang efisien terhadap rantai pasokan batu bara yang dimiliki perusahaan. Hal itu salah satunya tercermin dari beban pokok pendapatan yang angkanya membaik 14% dari US$1,21 miliar pada tahun 2019 menjadi US$1,04 miliar pada tahun 2020.

"Walaupun masih harus menghadapi tantangan ini untuk beberapa saat ke depan, kami tetap yakin bahwa fundamental sektor batu bara dan energi di jangka panjang tetap kokoh, terutama karena dukungan aktivitas pembangunan di engara-negara Asia," lanjutnya.

4. Mitra Pinasthika Mustika

Perusahaan berikutnya yang dimiliki oleh Sandiaga Uno adalah PT Mitra Pinasthika Mustika Tbk (MPMX). Di tengah pandemi, MPMX harus menelan pil pahit karena merugi sebesar Rp89,93 miliar pada semester I 2020. Nilai tersebut bertolak belakang dengan semester I 2019 lalu, di mana MPMX mampu mengantongi keuntungan bersih hingga Rp249,98 miliar.

Kinerja keuangan yang berbalik menjadi negatif itu terjadi seiring dengan amblasnya pendapatan MPMX sedalam 31,09% secara ytd. Merujuk ke laporan keuangan perusahaan, pendapatan MPMX semester pertama tahun lalu mencapai Rp8,01 triliun, sedangkan semester pertama tahun ini hanya tercatat sebesar Rp5,53 triliun.

Jika dirincikan, penyumbang terbesar atas pendapatan MPMX pada paruh pertama tahun ini adalah penjualan kendaraan bermotor roda dua dan roda empat beserta suku cadang, yakni mencapai Rp4,90 triliun. Namun, kontribusi itu pun menurun dari tahun lalu yang mencapai Rp7,30 triliun. 

Pendapatan dari penjualan minyak pelumas juga ikut merosot, yaitu dari yang sebelumnya Rp133,95 miliar menjadi hanya Rp76,12 miliar. Begitu pula dengan pendapatan dari sewa kendaraan yang menurun tipis dari Rp464,32 miliar per Juni 2019 menjadi Rp419,54 miliar per Juni 2020. Pada saat yang bersamaan, pendapatan lainnya tercatat naik dari Rp110,48 miliar menjadi Rp129,66 miliar.

Perlu diketahui, MPMX berhasil menekan beban usaha dari yang sebelumnya Rp464,83 miliar pada Juni 2019 menjadi Rp443,59 miliar pada Juni 2020. Pada periode itu juga, beban lainnya ditekan dalam-dalam dari Rp12,33 miliar menjadi Rp4,09 miliar. 

Namun, kinerja keuangan MPMX masih berat ketika beban keuangan membengkak signifikan dari Rp13,03 miliar pada tahun lalu menjadi Rp35,96 pada tahun ini. Selain itu, perusahaan juga harus menanggung rugi entitas asosiasi sebesar Rp202,31 miliar, di mana tahun lalu tercatat untung sebesar Rp12,63 miliar.

5. Provident Agro

Sepanjang semester pertama tahun 2020, PT Provident Agro Tbk (PALM) membukukan laba bersih sebesar Rp17,05 miliar. Jika dibandingkan dengan semester pertama tahun 2019, capaian tersebut terbilang sangat membaik karena kala itu PALM tercatat merugi sedalam Rp40,49 miliar.

Positifnya keuntungan perusahaan disebabkan oleh keberhasilan PALM dalam mendongkrak pendapatan pada paruh pertama tahun ini. Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, PALM membukukan kenaikan pendapatan hingga 24,87% dari Rp97,12 miliar pada Juni 2019 menjadi Rp121,27 miliar pada Juni 2020.

Jika dilihat lebih rinci, baik pendapatan dari minyak kelapa sawit maupun inti sawit sama-sama mengalami lonjakan. Per Juni 2020, pendapatan dari minyak kelapa sawit tumbuh dari Rp87,76 miliar menjadi Rp110,47 miliar. Sementara itu, pendapatan dari inti sawit melonjak, yakni yang sebelumnya Rp9,36 miliar bertambah menjadi Rp10,80 miliar.

Bukan cuma mendongkrak pendapatan, perusahaan juga berhasil menekan beban usaha dari Rp39,27 miliar pada semester I 2019 menjadi Rp19,56 miliar pada semester I 2020. Beban lainnya juga ikut turun, yakni dari Rp18,11 miliar menjadi Rp6,40 miliar.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Lestari Ningsih
Editor: Lestari Ningsih

Bagikan Artikel: