Pilpres di Ambang Konflik, Skenario Kiamat yang Ditakutkan Rakyat AS Terwujud?
Sinta Penyami Storms, anggota dewan kepemimpinan Asian Americans and Pacific Islanders untuk Partai Demokrat, mengatakan ia merasa gugup bercampur optimis.
"Saat ini, kita masih nervous, tapi sangat optimis karena surat suara dari pos, yang katanya sekitar satu juta belum dihitung, jadi untuk saat ini, walau agak gugup, masih sangat optimis Biden memenangkan pemilihan ini."
Seorang pendukung Trump, Emmanuel Tandean, pendeta di Gereja New Life Praise Centre, Philadelphia, mengaku mengikuti hasil pemilihan sejak malam sampai pagi dengan perasaan bercampur optimis dan cemas.
"Ya, sempat nervous, optimis dan kembali nervous ... karena masih tidak jelas," katanya.
"Sudah terlanjur"
Akan tetapi kerusakan sudah terlanjur terjadi, kata wartawan BBC di Amerika Utara, Anthony Zurcher.
"Terlepas Trump pada akhirnya menang atau kalah, ia telah mempermasalahkan pemilihan ini, karena ia mempertanyakan mesin demokrasi Amerika itu sendiri," kata Zurcher.
Pandemi virus corona menyebabkan lonjakan dalam jumlah pemilih AS yang memilih untuk memberikan suara mereka lebih awal lewat pos, yang memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk menghitung surat suara.
Di beberapa negara bagian, penghitungan surat suara mungkin perlu waktu berhari-hari.
Anthony Zurcher berkata pemilu AS kini memasuki "skenario kiamat yang ditakuti banyak warga Amerika, ketika presiden Amerika Serikat sendiri - dari Gedung Putih - memperkeruh penghitungan suara."
Lindy Backues, profesor madya di Eastern University, Amerika Serikat, pernah tinggal di Indonesia tahun 1989-2007
Saya rasa yang sangat kita perlukan adalah seorang pemimpin yang bisa membawa perdamaian dan bisa memulihkan hubungan yang agak kacau antara dua belah pihak:
1. Orang pedesaan yang cenderung mendukung Trump yang merasa selama ini direndahkan statusnya. Keluhan-keluhan dari mereka harus didengarkan. Tidak berarti semua keluhan mereka benar karena menurut saya, mereka juga ada masalah rasisme. Mereka lebih cenderung menganggap Amerika ini sebagai negara kulit putih. Itu salah. Dan salah konsep, karena Amerika sudah lebih dari 200 tahun yang lalu tidak didirikan sebagai itu. Tapi mereka menganggapnya begitu.
Mereka harus melepaskan cengkeramannya di mana ini bukan milik mereka lagi. Mereka harus rendah hati. Tapi mereka juga harus didengarkan. Mereka selama ini di desa-desa, seperti di Indonesia juga, merasa tidak didengarkan, seperti 'orang kota sok tahu'.
2. Sedangkan orang di kota yang lebih cenderung warna-warni, orang dari mana-mana, dari kulit hitam, kulit putih, imigran, dari luar, dan di Philadelphia tempat saya tinggal ini banyak orang Indonesia lagi, mereka juga tidak didengarkan suaranya.
Orang di Washington ( Gedung Putih, Senat) harus merendahkan diri, mereka harus lebih peduli baik kepada orang kota yang terkucilkan maupun orang desa yang terkucilkan. Dan saya rasa yang harus dihasilkan di Amerika ini adalah lebih banyak rendah hati, di mana nasionalisme itu bukan vokal dan menganggap diri kita sendiri paling baik di dunia, tetapi memang kita hanya satu negara di muka Bumi dan kita juga belajar bagaimana untuk jadi lebih baik. Nah, kita perlu ada presiden seperti itu.
Trump telah mengatakan ia akan menolak untuk mengakui kekalahan jika ia kalah dalam pemilihan.
Dalam beberapa pekan terakhir, ini telah menyebabkan perdebatan yang sangat tidak biasa mengenai apakah angkatan bersenjata, dinas rahasia atau polisi akan dipanggil untuk secara paksa menurunkan presiden AS yang dibarikade di dalam Gedung Putih.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: