Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, mengisi waktu santainya di akhir pekan lalu dengan membaca buku politik berbahasa Inggris. Judulnya: How Democracies Die atau Bagaimana Demokrasi Mati.
Anies memajang foto saat membaca buku karya dua profesor dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt itu, di akun Twitter @aniesbaswedan. Warganet langsung bereaksi. Ada yang muji-muji. Ada juga yang curiga.
Baca Juga: Viral Anies Baca Buku How Democracies Die, PKS: Khazanah Ilmu Itu Begitu Luas
Dalam foto itu, Anies tampil amat santai. Mengenakan baju koko putih lengan pendek dipadu bawahan sarung cokelat, Anies duduk bersandar di sebuah kursi kayu di ruang baca. Di belakangnya ada kemari kecil, yang diisi buku-buku. Di samping kanannya, sebuah meja kayu panjang, yang kosong. Tak ada kopi, teh, maupun cemilan. Hanya telepon genggam.
Meski penampilannya santai, Anies terlihat amat serius membaca. Matanya fokus, menatap tajam ke lembaran halaman yang dibacanya. Tangan kirinya menjadi penyangga buku, sedangkan tangan kanannya digunakan untuk membuka halaman.
"Selamat pagi semua. Selamat menikmati Minggu pagi," tulis Anies memberi keterangan unggahan fotonya.
Seperti apa isi buku ini, ada beberapa kutipan yang bisa diambil dari buku ini, yang bisa jadi renungan bagi tumbuh kembangnya demokrasi di negeri ini. Beberapa kutipan dalam buku ini adalah:
"Loyalis aktif tidak hanya mendukung presiden, tapi juga membela seluruh keputusan kontroversialnya. Loyalis pasif mundur dari ruang publik saat terjadi skandal, tapi tetap akan berpihak bersama presiden. Loyalis kritis berusaha, paling tidak, bermain dua kaki. Mereka mungkin menjauhkan diri dari perilaku buruk presiden, tapi mereka tidak bereaksi (misal lewat kongres) untuk melemahkan apalagi untuk menghentikan presiden. Di hadapan penyalahgunaan kekuasaan oleh presiden, setiap respons itu akan memungkinkan otoritarian hadir."
"Mereka yang mengkritik penyalahgunaan kekuasaan pemerintah akan dianggap melebih-lebihkan atau mengada-ada. Pengikisan demokrasi seperti tidak dapat terlihat oleh banyak pihak."
"Institusi menjadi senjata politik, digunakan secara paksa oleh mereka yang berkuasa melawan mereka yang tidak. Beginilah cara otokrat terpilih meruntuhkan demokrasi memenuhi dan 'mempersenjatai' peradilan dan badan negara netral lainnya, membeli media dan sektor swasta (atau menekan mereka untuk diam), dan menulis ulang aturan main politik agar membuat arena pertandingan jadi tak adil bagi lawan."
"Paradoks tragis dalam rute elektoral menuju pemerintahan otoritarian adalah bahwa para pembunuh demokrasi menggunakan institusi demokrasi secara bertahap, halus, dan bahkan legal untuk membunuh demokrasi itu sendiri."
Lalu, apa maksud Anies mengunggah foto itu? Sejumlah analis politik mencoba menafsirkan.
Pendiri Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) Hendri Satrio menyatakan, Anies ingin menyampaikan ke publik bahwa dirinya seorang akademisi.
"Buku itu simbol akademisi. Dia ingin menyampaikan, semuanya harus berdasarkan data dan menghormati ilmu pengetahuan," ulas pria yang akrab disapa Hensat ini.
Baca Juga: How Democracies Dies: Langkah Satire Anies Baswedan, tapi...
Hendri memandang, buku yang dibaca Anies bermakna dahsyat. Anies seperti sedang menelaah bagaimana demokrasi di Indonesia saat ini.
"Pesannya, bahwa demokrasi bisa mati. Itu sebuah cerminan atau komunikasi simbol yang luar biasa. Mudah-mudahan hal ini bisa menjadi pemantik diskusi yang lebih sehat dalam ranah demokrasi kita," harap Hensat.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin menduga, ada dua poin yang ingin disampaikan Anies. Pertama, menyindir pihak tertentu. Kedua, mencari jawaban dari buku tersebut perihal kematian demokrasi. Sebab, jika tidak dijaga, demokrasi hanya akan menjadi kenangan.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, ikut menyampaikan analisis. "Kata penulis ini, agar demokrasi tidak mati, politisi sebaiknya tidak membangun electoral base dengan mengeksploitasi apa yang Jeff Flake sebut sebagai sugar high of populism, nativism, and demogaguery," tulisnya di akun @BurhanMuhtadi.
Para warganet pendukung Anies ramai-ramai memuji unggahan Anies itu. Akun @mueeza02 misalnya menyebut, Anies pantas jadi presiden di periode berikutnya. "Selamat pagi Presiden yang akan datang. Semoga senantiasa diberikan kesehatan dan kekuatan dalam menjalankan tugas. Aamiin," cuitnya.
Mantan Sekretaris Kabinet Dipo Alam ikut berkomentar. "Gubernur DKI @aniesbaswedan mantan Menteri @Kemendikbud_RI dan mantan Universitas @paramadina wajar waktu luangnya membaca buku. Bagus! Khusus Bab 7 Tahun Pertama Trump: Rapor Otoriter dan Bab 8: Menyelamatkan Demokrasi buku yang dibaca jempolan. Ayo Membaca!" ajaknya di akun @dipoalam49.
Sedangkan lawan-lawan politik Anies, menggunakan unggahan tersebut untuk alat menyerang. Seperti Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya.
"Pak Gub lagi belajar cara membuat demokrasi mati? Mending urusin pengerukan sungai Pak, mulai hujan mulu," tulisnya di akun @yunartowijaya.
Baca Juga: Langkah JK Disorot Pengamat: Pak JK Mau Jadi King Maker atau Nyapres Bareng Anies?
Tokoh muda Nahdlatul Ulama, Akhmad Sahal menyebut buku yang dibaca Anies tidak ada kaitannya dengan Indonesia.
"Buku ini tentang bagaimana demokrasi AS mati karena Trump merusak dua asas demokrasi: mutual tolerantion dan institutional forbearance. Jadi, bukan tentang pemimpin otoriter yang menindas oposisi. Yang mirip Trump justru Anies, sama-sama pakai politik identitas," tulisnya di akun @sahaL_AS.
Sedangkan Denny Siregar menyindir Anies dengan meminta warganet lain mengedit fotonya mirip mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut.
"Abang-abang, editin gambar gua dong, biar kayak @aniesbaswedan," cuitnya di @Dennysiregar7.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: