Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Utang Pemerintah: Hati-Hati, Bahaya Gali Lubang Tutup Lubang!

Utang Pemerintah: Hati-Hati, Bahaya Gali Lubang Tutup Lubang! Kredit Foto: REUTERS/Edgar Su
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR, Marwan Cik Asan, menyoroti total utang Pemerintah Indonesia sampai dengan akhir tahun 2020 yang telah mencapai Rp5.910,1 triliun; 86,03% merupakan Surat Berharga Negara (SBN) dan sisanya 13,97% berupa pinjaman. Pinjaman didominasi oleh pinjaman luar negeri sebesar 99% dan sisanya 1% pinjaman dalam negeri.

"Dengan rasio utang telah mencapai 38,13 persen, jika utang pemerintah digabungkan dengan utang BUMN, total utang mencapai Rp11.773,83 triliun dengan rasio utang mencapai 74,4 persen," kata Marwan kepada wartawan, Selasa (12/1/2021).

Baca Juga: Tarik Utang Rp1.226,8 Triliun, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Anggota Komisi XI DPR ini mengakui secara umum, posisi utang pemerintah masih dapat dikatakan aman karena berdasarkan Undang-Undang (UU) Keuangan Negara ditetapkan batas utang 60%. Namun, jika digabungkan dengan utang BUMN, rasionya telah melampaui ketentuan UU.

"Meskipun posisi utang pemerintah dikatakan aman, ada beberapa indikator yang perlu menjadi perhatian pemerintah dalam melakukan pengelolaan utang," ujar Marwan.

Pertama, kata Marwan, defisit keseimbangan primer terus meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sudah tidak mempunyai dana yang cukup untuk membayar bunga utang sehingga pembayarannya dilakukan melalui penarikan utang baru. Pada APBN 2020, defisit keseimbangan primer mencapai Rp689,7 triliun. Selanjutnya, pada tahun 2021 diperkirakan mencapai Rp633,1 triliun.

Faktanya, utang yang ditarik sebagian untuk pembayaran bunga utang. Padahal sejatinya, utang digunakan sebagai leverage untuk menopang pertumbuhan ekonomi.

"Jika kondisi ini terus terjadi, keberlanjtukan fiskal pemerintah akan terhambat yang berujung pada kegagalan fiskal pemerintah. Pemerintah perlu segera melakukan perbaikan dan peningkatan penerimaan negara khususnya penerimaan pajak untuk mengimbangi kenaikan belanja negara," terang Sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPR ini.

Kedua, Marwan melanjutkan, porsi beban bunga utang dalam APBN yang makin besar. Dalam APBN 2020, beban bunga utang telah mencapai Rp338,78 triliun atau telah bertambah Rp156 triliun dalam 5 tahun terakhir.

Kondisi ini tentu akan mengurangi ruang fiskal pemerintah untuk melakukan belanja produktif. Porsi beban bunga utang dan pembayaran cicilan pokok telah mencapai 16% dari total belanja negara, dan dipastikan angkanya akan terus meningkat seiring dengan penambahan jumlah utang. "Selain jumlahnya yang makin besar, beban bunga utang dalam belanja pemerintah pusat telah melebihi belanja modal dan belanja barang yang dialokasikan untuk kegiatan produktif," imbuhnya.

Ketiga, kata dia, biaya utang yang makin mahal. Dari sisi imbal hasil, biaya utang Indonesia tergolong mahal. Untuk utang jangka waktu 10 tahun mencapai 6,72% atau lebih tinggi dibandingkan imbal hasil Jepang yang hanya 0,03%, China 2,99%, Thailand 1,29%, dan Malaysia 2,5%.

Hal ini juga diperkuat oleh hasil pemeriksaan BPK dalam IHPS II 2019 yang menyatakan bahwa strategi pengembangan pasar surat berharga negara domestik belum efektif mendukung pencapaian pasar SBN yang dalam, aktif, dan likuid. Dampaknya, imbal hasil atau yield obligasi pemerintah menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara peer.

Keempat, sambungnya, porsi kepemilikan asing dalam SBN pun makin besar. Sepanjang tahun 2020 rata-rata kepemilikan asing dalam SBN telah mencapai 30%. Makin dominannnya asing dalam kepemilikan SBN tidak hanya berdampak positif bagi sumber pebiayaan pemerintah, tetapi juga menjadi ancaman stabilitas nilai tukar rupiah jika sewaktu-waktu terjadi pembalikan arus modal.

Kelima, dia menjelaskan, peningkatan jumlah utang BUMN dan potensi gagal bayar. Data statistik utang publik menunjukkan bahwa sampai dengan kuartal III tahun 2020, jumlah utang BUMN telah mencapai Rp5.966 triliun.

Baca Juga: Jokowi Ketar-ketir Utang Indonesia, Sri Mulyani: RI Lebih Baik

Besaran utang BUMN ini harus menjadi perhatian pemerintah untuk mengantisipasi potensi terjadinya gagal bayar karena menurunnya kinerja operasional BUMN akibat pandemi Covid-19.

Jika dicermati, komposisi utang BUMN didominasi sektor keuangan sebesar 80% dan 20% sektor nonkeuangan. Berkaca dari pengalaman krisis tahun 1997, pemerintah melakukan aksi penyelamatan sektor perbankan dengan melakukan bailout dengan pemberian BLBI, yang sampai saat ini masih menjadi beban APBN.

"Meskipun saat ini pemerintah telah mempunyai serangkaian aturan dan perangkat penyelesaian masalah di sektor keuangan, tetap saja APBN akan menjadi tumpuan pemerintah dalam penyelesaian utang BUMN jika sewaktu-waktu terjadi gagal bayar," bebernya.

Oleh karena itu, Marwan menegaskan, dengan mencermati beberapa potensi risiko yang dihadapi pemerintah dalam pengelolaan utang, pihaknya berharap pemerintah dapat lebih selektif dalam melakukan penarikan utang untuk mewujudkan pemanfaatan utang secara optimal untuk kegiatan produktif. Utang yang diterima diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Penarikan utang dalam jumlah yang sangat besar saat ini akan menjadi beban bagi pemerintah di masa yang akan datang.

"Hasil pemeriksaan BPK dalam IHPS II 2019 juga menemukan bahwa pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif tidak memiliki parameter dan indikator pencapaian. Ini berpotensi memengaruhi kemampuan membayar kembali utang pemerintah pada masa mendatang," pungkas Wakil Ketua Umum Partai Demokrat itu.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: