Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Eh Buset! Lagi-Lagi Anak Buah AHY Senggol Partai Bu Megawati, Terus Teriak: Demokrat Tidak...

Eh Buset! Lagi-Lagi Anak Buah AHY Senggol Partai Bu Megawati, Terus Teriak: Demokrat Tidak... Kredit Foto: Antara/Aprillio Akbar
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bapillu) Partai Demokrat, Andi Arief, ikut merespons pernyataan Ketua DPP PDIP, Djarot Saifulah Hidayat terkait pembatalan RUU Pemilu.

Ia menyebut PDIP memiliki inisiatif untuk membahas revisi UU Pilkada dan Pemilu. Kemudian, PDIP juga mendorong untuk menutup pembahasan RUU Pemilu. Baca Juga: Geram Dituding, Marzuki Alie ke Andi Arief: Hentikanlah Fitnah!

"PDIP termasuk partai yang punya inisiatif membahas revisi RUU pilkada dan Pemilu. Partai ini juga yang akhirnya mendorong untuk menutup pembahasan RUU itu. Alasannya agar fokus penanganan Covid," katanya kepada wartawan, Kamis (11/2/2021).

Lanjutnya, ia menyebut bahwa PDIP mendorong Pilkada 2020 tetap digelar meski di tengah pandemi Covid-19.

"Padahal, pertama, di saat banyak protes Pilkada 2020 karena COVID, justru jajaran pengurus seperti Mas Djarot, Hasto, bahkan Mendagri, memaksakan pilkada. Kita tahu bahwa memang inkumben saat itu banyak dijabat PDIP," ujarnya. Baca Juga: Demokrat Makin Nggak Karuan, Setelah PKB dan Nasdem, Partai Bu Mega Kena Senggol Juga

Sementara itu, Anak buah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mendorong Pilkada 2022 digelar, karena ada beberapa alasan Pilkada 2022 dan 2023 layak digelar.

"Kedua, Presiden Jokowi menjamin setahun vaksin selesai, kalau selesai kan artinya 2022 dan 2023 layak pilkada. Ketiga, Menteri Airlangga dan SMI (Sri Mulyani) menjamin ekonomi Indonesia tumbuh 5-6% tahun ini. Kalau sudah tumbuh tahun ini artinya pilkada layak 2022 dan 2023," ucapnya.

"Jangan salahkan munculnya spekulasi 271 Pilkada 2022 dan 2023 yang tidak dilakukan itu akan dimanfaatkan PDIP dan partai-partai lain berebut atau bagi-bagi PJ (pelaksana) dari birokrasi. Akan terjadi politisasi ASN. Spekulasi lain menjegal Anies dan menyiapkan putranya Gibran yang masih menjabat sampai 2024 untuk pilkada berbarengan," sebut Andi.

Ia mengatakan bahwa partainya tidak berburu kekuasaan, namun banyak masukan bahwa Pemilu serentak 2024 bisa berbahaya.

"Posisi Demokrat bukan berburu kekuasaan, tetapi banyaknya masukan betapa berbahayanya jika pelaksanaan serentak 2024. Belajar dari Pemilu 2019, banyak yang wafat kelelahan dan lain-lain. Karena itu penting dipisah. Partai Demokrat juga menganggap bahwa power kepala daerah bukan dari pemilihan rakyat akan lemah. Akan timbul masalah legitimasi apalagi sampai ada yang 2 tahun PJ atau penjabat," katanya.

"Saya kira yang gila kuasa itu justru PDIP, banyak dalih dan argumen hanya untuk kuasa," imbuhnya.

Diketahui sebelumnya, Anak buah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Djarot Saifulah Hidayat, menilai jika Pilkada digelar pada 2024 maka pemerintah bisa fokus mengatasi pandemi Covid-19. Hal itu menanggapi Politikus Partai Demokrat yang mengaitkan pembatalan RUU Pemilu dengan kemungkinan Jokowi siapkan Gibran Rakabuming maju Pilgub DKI Jakarta.

"Justru pendapatnya terbalik. Kita tetap konsisten untuk melaksanakan Pilkada Serentak sesuai dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 agar semua energi bangsa ini benar-benar dicurahkan untuk mengatasi pandemi dan pemulihan ekonomi rakyat," kata Djarot kepada wartawan, Kamis (11/2).

"Apakah ada faktor baru yang membuat pemerintah merubah kebijakan politik pilkada dengan menundanya ke tahun 2024? Mungkinkah keputusan ini dilatari oleh kemungkinan Presiden Jokowi mempersiapkan keberangkatan Gibran dari Solo ke Jakarta? Karena dirasa terlalu cepat jika Gibran berangkat ke Jakarta tahun 2022. Pertanyaan ini muncul di masyarakat banyak karena terus terang saja saya sendiri pun sulit untuk menemukan penjelasan lain yang lebih masuk akal," ujarnya.

Bukan kali ini saja PDIP disenggol oleh Demokrat. Sebelumnya, Sekjen Partai Demokrat, Teuku Riefky Harsya, kembali menyebut adanya pihak-pihak eksternal yang ingin mengkudeta Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Ia menyebut nama Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko yang dituding menjadi dalang upaya penggulingan AHY.  

Bahkan, ia mengungkapkan fakta bahwa Moeldoko bukan hanya sekedar mendukung kudeta, melainkan aktif akan mengambil alih kepemimpinan Demokrat yang sah.

“Jadi sangat jelas bahwa GPK Demokrat bukan hanya gerakan internal partai, atau hanya permasalahan internal partai semata,” ujarnya, kepada wartawan di Jakarta, Jumat (5/2/2021) kemarin.

Terkait itu pun, ia kemudian menyinggung peristiwa yang pernah dialami Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 1996 silam.  

Saat itu, PDI menghadapi masalah yang sama. Yakni kudeta oleh pihak eksternal. Bahkan, kudeta PDI itu terjadi pada 22 Juni 1996 dalam Kongres Luar Biasa Partai Demokrasi Indonesia (KLB PDI) di Medan.

“Yang berhasil menurunkan dan mengganti Ibu Megawati Soekarnoputri sebagai pimpinan PDI,” tuturnya.

Kemudian, ia menyebut KLB PDI saat itu bukan saja merupakan permasalahan internal PDI atau sekedar konflik antara kubu Megawati dan kubu Suryadi, melainkan adanya campur tangan pihak eksternal.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Bagikan Artikel: