Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mengapa Vaksin AstraZeneca Jadi Bahan Pembicaraan Dunia? Ini Jawabannya

Mengapa Vaksin AstraZeneca Jadi Bahan Pembicaraan Dunia? Ini Jawabannya Vaksin virus corona jenis AstraZeneca. | Kredit Foto: Reuters
Warta Ekonomi, Berlin -

Daftar negara yang menangguhkan vaksin corona AstraZeneca makin panjang. Sedikitnya ada 15 negara Eropa, dua negara Asia dan satu negara Afrika yang mengumumkan penghentian sementara vaksinasi dengan vaksin buatan Inggris/Swedia itu.

Semua mengajukan argumen nyaris serupa, sebagai tindakan antisipasi dini dan jaga-jaga. Pemicunya adalah laporan dari Austria dan Denmark, mengenai kasus trombosis alias penggumpalan darah dan emboli para pada sejumlah warganya setelah mendapat vaksinasi AstraZeneca. Bahkan dilaporkan ada kasus kematian, wakau beum terbukti terkait langsung dengan vaksinasi.

Baca Juga: Nepal Selidiki Pangeran yang Bawa Vaksin AstraZeneca ke Gunung Everest

Fakta menunjukkan, vaksin Oxford/AstraZeneca sejauh ini sudah mendapat izin dari badan regulasi obat-obatan di 50 negara. Inggris merupakan negara pertama yang memberi izin penggunaan pada 30 Desember 2020. India, selain Inggris adalah negara yang paling banyak menggunakan vaksinnya, dan sejauh ini teidak melaporkan adaya efek samping serius.

Mengapa muncul masalah?

Sejak vaksin AstraZeneca diregulasi otoritas kesehatan di Eropa, banyak warga yang ragu menerima vaksinnya. Pemicunya berasal dari berbagai hal. Yang terutama adalah laporan kritis dari media yang mempertanyakan efikasinya. Ditambah laporan mengenai kurang ampuhnya vaksin melawan virus mutasi Afrika Selatan.

Selain itu, kurang lengkapnya hasil uji klinis terhadap kelompok usia di atas 60 tahun, di Jerman vaksin AstraZeneca hanya disarankan untuk digunakan terhadap orang di bawah usia 65 tahun. Dan paling anyar adalah terkait laporan efek samping serius, berupa trombosis dan emboli paru.

Dampak dari pemberitaan negatif sangat terasa di Jerman. Di sejumlah negara bagian dan wilayah Jerman, banyak orang menolak divaksin dengan AstraZeneca. Akibatnya persediaan vaksin tetap menumpuk dalam lemari pendingin. Vaksin AstraZeneca ibaratnya menyandang status vaksin kelas dua di Jerman, di bawah vaksin BioNTech/Pfizer dan Moderna,

Citra negatif AstraZeneca di Uni Eropa makin kencang, setelah silang sengketa dengan Komisi Uni Eropa terkait suplai pesanan vaksin tsb. Akhir Januari lalu AstraZeneca mengumumkan, hanya akan memasok 31 juta dosis vaksin hingga akhir kuartal pertama 2021, dari yang disepakati suplai sekitar 80 juta dosis vaksin untuk 27 negara Uni Eropa. Perusahaan kemudian meralat, bisa memasok 40 juta dosis vaksin, yang artinya tetap hanya separuh dari janji semula.

Belum lagi keributan itu tuntas, muncul isu terbaru, sekitar satu juta dosis vaksin AstraZeneca Batch ABV5300, yang didistribusikan di 17 negara anggota Uni Eropa disebutkan memicu efek samping serius, yang kemudian memaksa sejumlah negara menghentikan sementara vaksinasi massal.

Bagaimana keampuhan vaksin AstraZeneca melawan corona?

Uji klinis yang dilakukan AstraZeneca pada virus corona varian asli, menunjukkan efikasi 76 persen setelah pemberian dosis pertama. Bahkan setelah pemberian dosis kedua dalam jeda 12 minggu, efikasi naik hingga minimal 82 persen.

Vaksin juga bisa mereduksi beban virus, yang membuat penularan Covid-19 juga makin lambat. Berdasar data ini vaksin mendapat izin penggunaan dari lembaga pengawas obata Eropa-EMA dan lebaga serupa di berbagai negara.

Riset keampuhan vaksin AstraZeneca terhadap virus varian mutasi Inggris yang disebut varian B117 yang dilakukan di Inggris, melaporkan efikasinya sekitar 75%. Efikasi sedikit di bawah keampuhan terhadap virus asli, tapi masih tergolong sangat bagus.

Namun riset keampuhan vaksinnya terhadap varian mutasi Afrika Selatan B1351 menunjukkan hasil yang jauh lebih rendah. Riset pada 2000 resonden di Afrika Selatan menunjukkan, vaksin hanya memberikan perlindungan minimal terhadap Covid-19 yang dipicu varian B135. Ini memicu pemerintah Afrika Selatan membuat keputusan, menghentikan penggunaan vaksin AstraZeneca.

Penyebabnya adalah vaksin AstraZeneca yang sudah berizin dibuat dari vektor virus, yang memicu antibodi melawan Protein Spike dari varian virus corona awal. Menghadapi virus yang melakuan mutasi, antibodi tidak mengenali sepenuhnya dan memerangi varian bersangkutan.

Apa kata WHO?

Organisasi Kesehatan Dunia WHO dalam pernyataan 10 Februari lalu menyarankan, tetap memanfaatkan vaksin AstraZeneca, juga jika di negara bersangkutan tercatat penyebaran varian virus mutasi. Pasalnya, vaksin tetap memberikan perlindungan melawan bagian virus yang tidak mengalami mutasi.

WHO menyarankan, untuk sementara vaksin bisa digunakan untuk personal berusia di atas 18 tahun. Juga untuk mereka yang tergolong komorbid, yang menghadapi risiko tinggi mengalami gejala sakit berat jika terinfeksi Covid-19.

Juga WHO menyarankan vaksinasnya bagi yang mengidap penyakit autoimun dan yang sistem pertahanan tubuhnya lemah karena berbagai penyebab. Tapi juga disarankan untuk melakukan konsuktasi dengan dokter sebelum mendapat vaksinasinya.

Selain itu, vaksin AstraZeneca sebetulnya punya banyak keunggulan dibanding vaksin yang sudah berizin lainnya. WHO menjagokan vaksin ini untuk program COVAX, yakni inisiatif global untul vaksin murah untuk negara-negara anggota dengan pembagian kuota secara adil.

Faktor pertimbangan WHO, selain harga vaksin AstraZeneca per dosisnya sangat murah, yakni hanya sekitar 15% dari harga vaksin BioNTech atau Moderna, logistiknya juga jauh lebih sederhana.

Berbeda dengan vaksin berbasis RNA yang harus disimpan dalam suhu superdingin hingga minus 70°C, vaksin AstraZeneca bisa disimpan pada suhu kulkas biasa hingga enam bulan. Dengan itu transportasi dan logistik vaksin bisa dilakukan di negara-negara yang tidak punya kapasitas instalasi superdingin.

Juga menyinggung efek samping, para pakar kesehatan menyebut, semua vaksin berizin punya efek samping yang lazim. Terkait laporan efek samping serius vaksin AstraZeneca, WHO dan EMA menyatakan akan terus melakukan kajian dan mengumumkan laporannya kepada publik.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: