Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Wacana Pembentukan Holding BUMN Baterai, Bagaimana Dampak ke Depannya?

Oleh: Rivan Kurniawan, Indonesia Value Investor

Wacana Pembentukan Holding BUMN Baterai, Bagaimana Dampak ke Depannya? Kredit Foto: Instagram Rivan Kurniawan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Beberapa waktu belakangan ini, pemerintah telah mengeluarkan berita untuk membuat holding BUMN di bidang baterai yang disinyalisasi bernama Indonesia Battery Holding atau disingkat IBH. Indonesia memang dikenal sebagai negara yang memiliki sumber cadangan nikel terbesar di dunia, di mana nikel merupakan bahan baku utama dalam produksi baterai. Apabila sebelumnya Indonesia hanya menjadi supplier bahan mentahnya saja, sekarang Indonesia bertekad untuk menjadi produsen produk jadi. Kira-kira, bagaimana dampak ke depannya?

Baca Juga: Menteri BUMN Erick Thohir Tunjuk Direktur Bisnis Penjaminan Baru PT Jamkrindo, Berikut Susunannya...

Kronologi Pembentukan IBH

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sekarang berada di bawah komando Erick Thohir memiliki banyak agenda besar. Salah satunya adalah pembentukan holding BUMN yang akan memproduksi baterai di Indonesia. Nantinya, perusahaan holding IBH ini akan terdiri dari empat anggota BUMN, yakni:

1. MIND ID (atau dikenal dengan nama PT Inalum (Persero)),

2. PT Aneka Tambang Tbk (ANTM),

3. PT Pertamina (Persero),

4. PT PLN (Persero).

Keempat perusahaan holding BUMN ini nantinya akan memiliki porsi kepemilikan masing-masing 25% terhadap IBH, di mana perusahaan holding ini ditargetkan akan terbentuk pada semester I-2021. IBH nantinya akan menjadi perusahaan yang mengurusi supply chain (rantai pasok) dari produksi baterai, dari upstream (bahan baku) sampai ke downstream atau produk jadi, yakni baterai.

Karena proses yang panjang itulah, diperlukannya kerja sama dari empat perusahaan BUMN: 1) ANTM dan MIND ID akan mengurusi bagian upstream, di mana ANTM akan menyuplai bahan baku yang digunakan dalam pembuatan baterai, yakni nikel. 2) Pertamina dan PLN nantinya akan mengurusi downstream, di mana akan dilakukan proses mulai dari produksi baterai sampai ke packaging dan packing baterai.

Nantinya, pemerintah akan mengundang beberapa perusahaan lain yang memiliki keahlian di bagian supply chain tertentu dan akan membentuk perusahaan joint venture. Sejauh ini, sudah ada beberapa perusahaan multinasional yang berkontak dengan pemerintah Indonesia seperti: CATL, LG Chem, hingga Tesla. Diperkirakan, total investasi yang bisa masuk ke Indonesia melalui industri baterai ini dapat mencapai Rp238 triliun.

Shifting in lifestyle: Mobil Bensin menjadi Mobil Listrik

Pemerintah begitu gencar untuk merealisasikan terjadinya ekosistem produksi baterai seiring dengan pertumbuhan penjualan mobil listrik ke depannya. Dilansir dari BloombergNEF, jumlah mobil listrik sekarang hanya berjumlah sekitar ±2.7% dari total kendaraan, di mana sisanya hampir ±98% adalah mobil dengan menggunakan bahan bakar fosil.

Namun, seiring dengan perkembangan dan penetrasi penggunaan mobil listrik, kontribusi mobil listrik akan menjadi ±28% dari total kendaraan pada tahun 2030. Tentu saja, tren peningkatan mobil listrik ini akan diikuti juga dengan peningkatan permintaan dari produk-produk komplementer seperti: pom bensin listrik, spare part untuk mobil listrik, dan komponen yang paling berharga dalam mobil listrik: baterai.

Source : BloombergNEF, diolah

Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) dari Kementerian Perindustrian menjelaskan bahwa baterai merupakan komponen kunci bagi kendaraan listrik, di mana baterai berkontribusi sekitar ±25%-40% dari harga kendaraan listrik. Hal ini akan menjadikan industri baterai, terkhususnya baterai untuk mobil listrik, menjadi salah satu industri yang memiliki prospek cerah ke depannya.

Melihat skala potensi bisnis dan investasi yang masif dari proyek ini, BUMN memiliki tiga tujuan dalam pembentukan ekosistem industri baterai di tahun 2025 mendatang:

1. Menjadi pemain global material hulu baterai

Pemerintah menargetkan Indonesia dapat menjadi produsen nikel sulfat global dengan produksi tahunan sekitar ±50.000–±100.000 ton yang akan digunakan untuk memenuhi permintaan kebutuhan industri dalam negeri dan juga pasar internasional.

Baca Juga: Indonesia Siap Jadi Pemain Utama Industri Baterai Mobil Listrik

2. Menjadi pemain global dalam material katoda baterai

Pemerintah juga menargetkan unutk menjadi produsen precursor dan katoda dengan output target produksi tahunan mencapai ±120.000–±240.000 ton. Katoda merupakan salah satu komponen utama dalam produksi baterai mobil listrik, di mana katoda akan menentukan tingkat kepadatan energi yang akan dikeluarkan oleh mobil listrik. Makin baik dan makin padat baterai kendaraan listrik, maka energi yang dihasilkan juga akan makin banyak. Dengan menjadi pemain global dalam produksi baterai listrik, Indonesia membuka banyak peluang bagi pertumbuhan ekonomi ke depannya.

3. Menjadi pemain hilir regional untuk sel baterai dan pusat manufaktur kendaraan listrik di Asia Tenggara

Bukan fakta yang mengejutkan bahwa pasar Asia, khususnya Asia Tenggara, menawarkan potensi bisnis yang menarik. Asia Tenggara merupakan salah satu Kawasan di Asia yang memiliki tingkat konsumsi tertinggi dan dipenuhi dengan masyarakat yang konsumtif, salah satunya Indonesia.

Pemerintah bertekad untuk menjadikan Indonesia sebagai pemain hilir regional untuk sel baterai, dan bahkan tidak tanggung-tanggung menargetkan Indonesia untuk menjadi pusat manufaktur kendaraan listrik di Indonesia. Kami melihat besar kemungkinan untuk cita-cita ini dapat terjadi, karena 3 hal: 1) Indonesia memiliki sumber daya nikel terbesar di dunia yang merupakan salah satu komponen krusial dalam pembuatan baterai mobil listrik; 2) Biaya upah yang rendah dibandingkan negara-negara maju lainnya; 3) Banyaknya insentif yang dapat diberikan pemerintah untuk investasi yang akan masuk ke Indonesia seperti: fasilitas gratis PPh perusahaan sampai dengan 100% untuk 5-20 tahun ke depan, dan sebagainya.

Emiten yang terdampak

Berbicara mengenai industri nikel di Indonesia, serta mengaitkannya ke perusahaan tercatat di Indonesia, tentu akan mengerucut kepada dua nama saham berikut: 1) PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), dan 2) PT Vale Indonesia Tbk. (INCO). Mari kita bahas satu per satu

1) ANTM

ANTM merupakan salah satu perusahaan tambang yang sahamnya dikuasai oleh pemerintah melalui kepemilikan Inalum (MIND ID) sebesar 65%. Mungkin banyak yang familiar terhadap perusahaan ANTM karena ANTM menjual emas batangan. Namun well, tidak sepenuhnya salah, tetapi ANTM juga memiliki portfolio produk yang lain. 

Portfolio Produk ANTM. Source: Pubex ANTM 1H20

Dapat terlihat pada gambar di atas, selain penjualan emas dan logam mulia yang berkontribusi sebesar 68% terhadap total pendapatan perusahaan, ANTM juga mendapatkan penjualan dari produk nikel, lebih spesifiknya ferronickel dan biji nickel yang berkontribusi sebesar 23% terhadap total pendapatan perusahaan. Selain itu, ANTM juga menjual produk bauksit dan alumina yang berkontribusi sebesar 6% terhadap total pendapatan perusahaan.

Business Process ANTM. Source: Pubex ANTM 1H20

Terkait dengan pembangunan industri baterai, ANTM nampaknya akan terkena dampak secara langsung karena ANTM langsung menyuplai bahan bakunya ke IBH. Jadi, boleh dibilang bahwa nantinya produk nikel ANTM akan berpeluang digunakan untuk menjadi bahan baku dalam proses pembuatan baterai mobil listrik.

Baca Juga: Holding BUMN Baterai Listrik Butuh Investasi hingga Rp 242,380 Triliun

2) INCO

INCO sebenarnya merupakan anak usaha dari salah satu perusahaan nikel terbesar di dunia yang berasal dari Brazil, Vale. Sebelumnya, Vale merupakan pengendali saham INCO dengan kepemilikan ±59%, tetapi sejak tahun lalu, pemerintah melalui Inalum (MIND ID) telah membeli ±20% dari kepemilikan INCO dari dua pemilik saham besar INCO: Vale Canada Limited (VCL) & Sumitomo Metal Minings (SMM).

Berbeda dengan ANTM yang mendiversifikasikan produknya, bisnis model INCO 100% berkolerasi dengan industri nikel. INCO memproduksi nickel-in matte, produk turunan nikel yang mengandung 78% nickel content, 20% sulfur, dan 1% - 2% cobalt. Uniknya, INCO tidak menjual produk ini ke pasar bebas karena INCO memiliki perjanjian "harus beli", di mana VCL dan SMM yang akan menjadi pembeli produk nickel-in matte yang diproduksi INCO. Singkatnya, berapapun nickel in-matte yang diproduksi oleh INCO, akan tetap dibeli VCL dan SMM dengan proporsi masing-masing 80% dan 20%.

Produk Nickel in-matte INCO. Source: Pubex INCO 1H20

Pertanyaannya: apakah INCO terlibat secara langsung terhadap produksi baterai listrik yang diinisiasikan oleh pemerintah? Tidak, untuk sekarang. Dan, apakah INCO akan mendapatkan keuntungan dari produksi baterai listrik? Ya, karena peningkatan produksi baterai listrik berarti bahwa adanya peningkatan penggunaan nikel, di mana peningkatan penggunaan nikel akan meningkatkan harga nikel, dan ujung-ujungnya meningkatkan pendapatan INCO. Kurang lebih begini flow-nya:

Sekilas tentang INCO dan ANTM

Sentimen mobil listrik dan peningkatan produksi baterai listrik dalam beberapa bulan terakhir ini menjadi katalis utama dalam meningkatkan harga saham ANTM dan INCO. Tercatat sejak awal tahun, saham ANTM sudah naik sebesar 245.24% (lebih dari 2-bagger), dan INCO sendiri sudah naik sekitar 80%.

Mari kita lihat valuasinya secara singkat saja menggunakan rasio sederhana seperti P/E dan PBV. Untuk ANTM, sekarang ANTM divaluasikan di P/E 62.54x dan PBV 3.68x, sedangkan untuk INCO sendiri sedang divaluasikan di rasio P/E 41x dan PBV 2.08x. Melihat kondisi penerapan dan implementasi mobil listrik, dan potensi ke depannya, apakah ANTM dan INCO sekarang wajar untuk dihargai seperti ini? You decide...

Kesimpulan

Seiring dengan meningkatnya tren penggunaan mobil listrik di seluruh dunia, Pemerintah Indonesia juga sedang gencar memberitakan tentang pembuatan holding baterai listrik di Indonesia bernama Indonesia Battery Holding (IBH), di mana IBH ini nantinya akan terdiri dari empat perusahaan BUMN, yakni: 1) MIND ID (atau dikenal dengan nama PT Inalum (Persero)), 2) PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), 3) PT Pertamina (Persero), dan 4) PT PLN (Persero) yang masing-masing akan menguasai 25% dari saham IBH. IBH dibuat dengan tujuan agar Indonesia dapat menjadi leading player di industri mobil listrik, baik dalam urusan memproduksi baterai listrik ataupun memproduksi mobil listrik dalam jangka panjang.

Ada dua emiten yang dapat dikaitkan secara langsung terkait katalis ini, yakni: 1) ANTM, dan 2) INCO, di mana ANTM akan terlibat secara langsung dalam ekosistem pembuatan baterai listrik sebagai penyuplai bahan baku nikel di upstream, dan INCO yang akan terkena dampak positif yang seiring dengan peningkatan produksi baterai nikel, akan meningkatkan permintaan nikel, dan meningkatkan harga nikel.

Sekarang ANTM divaluasikan di P/E 62.54x dan PBV 3.68x, sedangkan untuk INCO sedang divaluasikan di rasio P/E 41x dan PBV 2.08x. Dalam memutuskan berinvestasi di kedua saham ini, jangan hanya melihat valuasi saja, masih banyak metris penting lain seperti profitabilitas, kesehatan keuangan, dan lain sebagainya yang juga tidak kalah penting untuk menjadi pertimbangan dalam investasi. Melihat kondisi penerapan dan implementasi mobil listrik, dan potensi ke depannya, apakah ANTM dan INCO sekarang wajar untuk dihargai seperti sekarang? You decide...

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: