Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Putusan Gaya Baru Mahkamah Konstitusi Pasca PSU Pilkada, Yusril Ihza Mahendra Langsung Bereaksi

Putusan Gaya Baru Mahkamah Konstitusi Pasca PSU Pilkada, Yusril Ihza Mahendra Langsung Bereaksi Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pasca Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 dinilai telah terjadi ketidakjelasan hukum pasca PSU. Masalah ini membuat bingung penyelenggara, termasuk para pasangan calon (paslon) yang mengikuti ‘rematch’ Pilkada itu.

Hal itu disampaikan pakar Hukum Tata Negara, Prof Yusril Ihza Mahendra, kemarin. Munculnya ketidakjelasan hukum pasca PSU, ujarnya, disebabkan adanya putusan gaya baru Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menangani sengketa Pilkada. Ini tercermin dari bunyi putusan MK dalam perselisihan hasil Pilkada 2020, dibanding dengan putusan PSU MK pada Pilkada sebelumnya.

Baca Juga: Pemenang Pilkada Kab Badung Diduga Money Politic, Paslon NU Ngadu ke MK

Menurut mantan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) ini, jika Pilkada sebelumnya, MK hanya membuat putusan sela dalam memerintahkan PSU dan KPU melaporkan hasil PSU, lalu MK memutuskan dalam putusan akhir.

Kini, pada Pilkada 2020, MK tidak lagi mengeluarkan putusan sela, tetapi langsung mengeluarkan putusan akhir. Amar putusan akhir MK di sidang sengketa Pilkada 2020, sambung Yusril, antara lain, memerintahkan KPU melaksanakan PSU di beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Lalu, hasil PSU digabungkan dengan hasil pemungutan suarayang tidak dibatalkan, dan diumumkan KPU tanpa harus melapor ke MK lebih dulu. “Ini saya sebut sebagai putusan gaya baru MK, yang beda dengan gaya putusan Pilkada sebelumnya,” jelas Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini.

Menurut Yusril, ada ketidakjelasan hukum akibat putusan gaya baru MK. Pasalnya, pada Pasal 54, khususnya Ayat 4,5,6 dan 7 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2020 masih mengatur hasil PSU dilaporkan ke MK. Kemudian, MK akan memeriksa kembali laporan hasil PSU itu.

Selanjutnya, MK bisa memutuskan mengesahkan hasil PSU, bisa pula memerintahkan PSU sekali lagi. Akibatnya, pihak penyelenggara, termasuk para paslon yang tidak puas atas hasil PSU jadi bingung. Mereka bertanya-tanya, apakah boleh melakukan gugatan hasil PSU ke MK atau tidak.

“Apa yang harus dilakukan KPU di daerah setelah PSU? Langsung merekap dan segera mengumumkan paslon pemenang seperti terjadi di Kabupaten Labuhanbatu atau harus menunggu putusan MK jika ada sengketa di sana,” tanyanya.

Yusril juga mempertanyakan sikap MK dengan adanya putusan gaya barunya sendiri. Apakah MK akan menolak registrasi permohonan perselisihan PSU ini karena tidak ada peraturan yang mengaturnya. Atau di sisi lain, MK akan menolak registrasi permohonan, karena putusan gaya baru PSU itu sudah final dan mengikat.

Kalau itu terjadi, jelasnya, MK berarti membiarkan PSU dilaksanakan dengan kemungkinan pengulangan kecurangan, sama keadaannya dengan pemungutan suara terdahulu yang justru menjadi dasar bagi MK untuk memerintahkan PSU.

“Sebagai lembaga yang bertugas menjaga konstitusi dan demokrasi, seharusnya MK tidak boleh membiarkan hal itu terjadi,” tandasnya.

Diketahui, ada 16 daerah menggelar PSU Pilkada 2020. Di antaranya PSU Boven Digoel, Nabire, Sabu Raijua, Yalimo, PSU Pilkada Kota Banjarmasin. Selain itu, PSU Pilgub Jambi, dan PSU Pilgub Kalimantan Selatan (Kalsel).

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Alfi Dinilhaq

Bagikan Artikel: