Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mendengar Memori Kelam Anak-Anak Gaza

Mendengar Memori Kelam Anak-Anak Gaza Kredit Foto: NPR/Fatma Tanis
Warta Ekonomi, Gaza -

Tanggal 16 Mei 2021 adalah hari kelam bagi Suzy Iskhontana, anak perempuan berusia tujuh tahun yang tinggal di Jalur Gaza. Pada hari itu, dia kehilangan ibu, dua saudara laki-laki, dan dua saudara perempuannya akibat serangan Israel. 

Suzy dan ayahnya berhasil selamat. Namun maut nyaris menghampiri keduanya. Sebab mereka tertimbun reruntuhan bangunan selama berjam-jam.Peristiwa itu tentu akan selalu terekam dalam memori Suzy. Kejadian tersebut pun membuatnya seolah enggan untuk terpisah barang sejenak dengan ayahnya. Sehari-hari, Suzy selalu mendekap ayahnya erat. 

Baca Juga: Terjadi Ledakkan di Gaza, Tewaskan Seorang Rakyat Palestina dan Lukai Puluhan

"Anak-anak saya yang meninggal dan istri saya, mereka sekarang berada di tempat aman dan tidak ada kekhawatiran tentang mereka. Tapi ketakutan saya yang lebih besar adalah untuk Suzy," kata ayah Suzy, Riad Ishkontana.

Pengalaman demikian banyak dialami keluarga-keluarga di Gaza. Keluarga Abu Muawad, misalnya, tak dapat merayakan Idul Fitri tahun ini dengan sukacita akibat gempuran Israel. Serangan udara menghantam tanpa peringatan. 

Abu Muawad dan keluarganya sempat melarikan diri sebelum kediamannya luluh lantak oleh serangan Israel. Anak Abu Muawad, Maya, sempat terpisah. Diselimuti ketakutan, Maya menghampiri ambulans. Di dalamnya, dia melihat seorang sekarat dan anak lelaki yang terluka parah.

Enam jam setelah kejadian tersebut, Maya bersatu kembali dengan keluarganya. Sebelum mengalami peristiwa itu, Maya dikenal sebagai anak yang percaya diri dan mandiri. Saat ini, dia lebih memperlihatkan sisi kerapuhan.

"Jika dia (Maya) meminta sesuatu kepada kakaknya dan tidak mendapatkannya, dia hanya menangis, berteriak. Itu bukan putri saya sebelumnya. Itu bukan Maya," kata Abu Muawad. 

Elien Al-Madhoun adalah anak Gaza lain yang turut menyaksikan ganasnya serangan Israel. Bocah berusia enam tahun itu histeris saat lingkungan rumahnya menjadi target serangan udara Israel pada Mei lalu.

Sebanyak sembilan orang tewas di lingkungan tersebut. "Ketika sembilan rumah benar-benar hancur bersebelahan dan putri saya melihat ini, dia tidak dapat memahami apa yang terjadi," kata ayah Elien, Ahmed Rabah al-Madhoun.

Ahmed mengungkapkan, dia tidak tahu apa yang akan terjadi pada putrinya di masa mendatang. Ahmed pun iri pada orang-orang yang telah meninggal akibat serangan Israel. "Di sini kami hanya menunggu giliran. Anak-anak kami, ibu dan ayah kami. Di sini kami menunggu giliran," ujarnya.

Direktur Jenderal Program Kesehatan Mentak Komunitas Gaza Dr. Yasser Abu Jamei mengatakan, anak-anak Gaza yang telah mengalami serangan Israel mengalami trauma dan terganggu psikisnya. Mereka mudah tersinggung, takut sendirian, dan menderita teror malam.

Pendampingan yang dibutuhkan oleh anak-anak tersebut juga tak dapat dipenuhi. Di Gaza, hanya ada satu psikiater berlisensi untuk satu juta anak. Untuk pulih, anak-anak perlu merasakan peristiwa traumatis yang mereka alami sudah berakhir dan kehidupan normal kembali.

Saat ini sekolah-sekolah di Gaza masih ditutup akibat pertempuran dan pandemi Covid-19. Hal itu membuat mereka tak memiliki kesibukan selain menyusuri jalan yang telah porak-poranda akibat serangan Israel. 

Pada 10-21 Mei lalu, Israel menggempur Gaza. Aksi itu dilancarkan sebagai respons atau balasan atas serangan roket kelompok Hamas. Ketegangan di Masjid Al Aqsa menjadi alasan Hamas meluncurkan serangan ke Israel. 

Sedikitnya 270 warga Gaza, 66 di antaranya adalah anak-anak, tewas selama agresi Israel. Sementara warga yang mengalami luka-luka dilaporkan mencapai lebih dari 1.900 orang.

Menurut Kementerian Perumahan Gaza, pertempuran yang berlangsung pada 10-21 Mei lalu juga telah menghancurkan 1.500 unit rumah. Sebanyak 1.500 unit rumah lainnya rusak dan tak dapat diperbaiki. Sementara 17 ribu bangunan lainnya mengalami kerusakan sebagian. Seorang pejabat di Kementerian Perumahan Gaza menyebut biaya pembangunan kembali dapat mencapai 150 juta dolar AS. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: